Aku menatap wajah Mas Bayu dengan sangat lama. Aku benar-benar tidak bisa menahan sakit ini. Aku memilih pergi sambil terus menangis. Aku tidak memperdulikan orang-orang yang melihatku. Aku bagaikan anak kecil yang berlari sambil terus menangis. Seakan ada orang yang sedang mencuri permenku. Ya, suamiku bersama perempuan lain. Hatiku nyaris lebam membiru.
Pak Ujang kaget saat aku berada di dalam mobil dan menutup wajahku sambil berteriak histeris. Namun, pak Ujang memilih diam sambil bergegas meninggalkan area rumah sakit. Selama di perjalanan, pak Ujang mencoba menatapku melalui kaca spion.
“Ada apa Non Bulan?”
Aku terdiam. Lidahku mendadak keluh untuk berucap. Aku memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Bayangan Mas Bayu mencium kening perempuan itu seakan jelas terbesit di pikiranku dan membuat air mataku menetes lagi. Aku terluka, benar-benar terluka dengan sikap Mas Bayu.
Sesampai di depan rumah, aku bergegas berlari masuk ke dalam kamar. Aku membaringkan tubuhku di kasur. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa melakukan apapun. Aku mengambil bantal lalu menutup wajahku dengan benda itu. Aku berteriak, aku memaki diriku sendiri.
Rasa sakit ini sungguh amat dalam, lebih sakit saat mendengarkan Mas Bayu mengatakan ingin menikah lagi. Oh Tuhan, mengapa suamiku seperti ini?
Setelah puas menangis, aku mencoba duduk di bibir ranjang sambil memandangi wajahku dari pantulan cermin. Mencoba mencari tahu perempuan yang ada di rumah sakit itu. Apakah dia Zara? Apakah perempuan itu yang akan dinikahi Mas Bayu? Tapi mengapa? Siapa dia? Banyak pertanyaan yang terbesit di pikiranku secara tiba-tiba.
Aku mencoba mencari tas Mas Bayu. Aku membongkar seluruh isi lemari suamiku. Tidak pernah aku melakukan ini. Aku harus mencari banyak hal. Aku terus membongkar lemari Mas Bayu sambil menangis. Hatiku terluka, aku dilanda api cemburu.
Aku sama sekali tidak memperdulikan ponselku yang bergetar. Aku terus membongkar apapun yang ada di lemari Mas Bayu. Bola mataku membulat sempurna saat melihat ada tas berwarna hitam berada di lemari sebelah kiri. Lemari yang berisi alat-alat gambar Mas Bayu.
Aku segera mengambil barang itu. Aku segera mencari apapun di dalamnya. Aku menemukan satu kamera berisi surat-surat yang diselipkan di setiap kantongnya. Tanganku bergetar hebat saat membaca surat itu.
Ada tulisan Mas Bayu dengan beribu kata cinta. Tidak lupa, surat itu menunjuk kepada satu nama. Nama perempuan bernama Zahrani. Perempuan terindah di dalam setiap narasi Mas Bayu.
Aku tidak kuasa melanjutkan membaca surat itu. Seluruh hasrat dan gairah Mas Bayu bahkan tertuangkan di dalam surat cintanya. Mas Bayu mengatakan ingin bercinta bersamanya bahkan setiap hari. Bercinta dengan perempuan lain yang membuatnya jatuh cinta. Tuhan, aku tidak kuasa melanjutkan membaca surat itu.
Aku beralih ke kamera yang berada di dalam tas. Aku mencoba menghidupkannya. Namun sialnya, baterainya tinggal lima persen. Berarti aku harus cepat memeriksa kamera itu.
Dadaku sakit, aku benar-benar tidak kuat lagi. Namun, aku tidak bisa berhenti. Semuanya harus terbongkar. Semuanya harus jelas dan apa maskud Mas Bayu? Air mataku bahkan tidak pernah berhenti mengalir.
Kamera itu perlahan menyala, aku memilih menuju galeri. Pasti banyak hal yang akan aku temukan di dalam sana. Bola mataku terbelalak saat melihat gambar Mas Bayu bersama perempuan lain. Aku memperbesar wajah perempuan yang bersama Mas Bayu di dalam foto.
Aku tidak pernah melihatnya, namun wajahnya sama sekali tidak asing. Mas Bayu mengengam tangannya dengan erat. Jarak mereka sangat dekat. Aku berusaha kuat untuk melihat foto Mas Bayu walaupun hatiku pedih. Aku rasanya seperti mati seketika.
Aku beralih melihat foto yang lain. Air mataku terus mengalir. Kini, aku tidak kuasa melihat foto Mas Bayu tidak memakai pakaian. Suamiku itu memeluk perempuan bernama Zara dari belakang. Perempuan itu hanya memakai lingerie seksi. Nyaris telanjang.
Aku berteriak. Aku memangis sejadi-jadinya. Tidak peduli siapa pun yang mendengarkanku. Tuhan, aku benar-benar sakit dan semuanya mendadak gelap seketika. Aku tidak bisa berkata apapun. Semua tampak jelas. Mas Bayu membohongiku! Mas Bayu menghianatiku!
Apa arti kata sayangnya selama ini? Hanya kebohongan, hanya kebohongan saja yang ada. Aku terus menangis. Hingga, suara ketukan Bibi Sri mengagetkanku.
“Non Bulan, mau makan siang apa?”
“Non belum makan?” sahutnya dari balik pintu. Aku menyeka air mataku secepat mungkin. Aku menyimpan semua barang itu kembali di tempatnya semula. Aku berjalan dan membuka pintu. Aku mencoba tersenyum meskipun hatiku benar-benar sakit.
“Sediakan makan malam nanti yah!”
“Non Bulan menangis yah?” Bibi Sri menatapku dengan cermat. Aku menggeleng secepat mungkin.
“Tadi kelilipan saat bersih-bersih di dalam, Bibi Sri jangan lupa sediakan makanan kesukaan Mas Bayu,” ucapku. Setelah itu Bibi Sri bergegas ke dapur. Aku belum makan siang, namun aku sama sekali tidak lapar. Rasa sakitku membuatku tidak bisa merasakan apapun saat ini.
Aku duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahku. Aku menunduk ke bawah dan merenungkan banyak hal.
Mengapa? Kata itu selalu terbesit di pikiranku. Apa kurangnya aku? Mengapa Mas Bayu tega melakukan itu? Mengapa dia tegas menghianati cintaku?
Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Aku berusaha untuk tenang. Aku berusaha untuk tetap tersenyum dan mencoba untuk mencari bukti yang lebih banyak.
***
“Nggak Bulan, kamu pasti paranoid. Mas Bayu tidak mungkin seperti itu!” ucap Yuni melalui sambungan telepon. Aku sedang duduk di atas balkon sambil menelepon sahabatku Yuni. Aku menggelengkan kepala.
“Tidak Yuni, dia selingkuh. Mas Bayu selingkuh!” tegasku. Suaraku sangat berat karena mencoba menahan tangisan.
“Bulan, kau ingat kan kalo Mas Bayu cinta mati dan …,”
“Itu semua bohong!” potongku segera. Api cemburu ini sudah membakarku. Aku bahkan nyaris tidak bisa berpikir jernih. Andaikan bunuh diri bukan sebuah dosa, mungkin saja aku sudah melakukannya sekarang. Berada di ketinggian dan melemparkan tubuhku ke bawah agar rasa sakit ini tidak begitu menyedihkan.
Namun, aku berusaha untuk berpikir jernih. Tidak, Mas Bayu akan bahagia dan bersama perempuan itu jika aku melakukannya.
“Bulan, kamu tenang dulu!”
“Aku akan mencoba mencari tahu siapa Zahrani itu. Tapi, sepertinya teman kuliah ngak ada tuh namanya Zahrani,” jelas Yuni lagi. Aku semakin kalud. Aku mengacak-acak rambutku frustasi.
“Bulan, jangan menangis lagi!”
“Aku dan kamu akan mencari Zahrani dan kita memperjelas semua ini. Kamu tetap tenang yah, jangan lakukan hal bodoh!” ucap Yuni mencoba menenangkanku. Aku terus menangis melalui sambungan telepon.
Saat pukul lima sore, aku bergegas turun dari atas balkon. Aku berjalan menuju dapur dan melihat Bibi Sri sudah menyediakan makan malam kami.
“Non Bulan tidak sakit kan?”
Aku menggeleng.
“Non Bulan kenapa, tadi kata pak Ujang, Non Bulan menangis,” sambung Bibi Sri. Aku terdiam. Aku memilih duduk di depan meja makan sambil memijit pelipisku yang terasa sakit. Seharian menangis membuatku sakit kepala bahkan ingin muntah.
Suara mobil Mas Bayu terdengar jelas. Aku bergegas menuju ke depan rumah. Aku menyeka air mataku. Aku berusaha untuk bersikap tenang dan tersenyum. Berpura-pura untuk baik-baik saja disaat hati hancur benar-benar menyedihkan.
“Bulan, apa kamu sakit sayang?” tanya Mas Bayu yang kaget melihat wajahku. Rasanya sebutan sayang begitu menjijikan di telingaku saat ini. Aku menggelengkan kepala.
Mas Bayu memelukku lalu mengecup keningku. Bibir yang digunakan untuk menciumku adalah bekas orang lain. Sungguh, sangat pedih memikirkan semua ini.
“Ada apa sayangku? Bulanku? Mengapa wajahmu seperti itu?” tanya Mas Bayu. Mukanya terlihat panik tapi aku tahu, dia berkhianat. Aku tahu bahwa dia melukaiku. Ini kebohongannya.
“Ayo cerita sama mas yah!” Dia menuntunku masuk ke dalam rumah. Aku hanya terus terdiam, jika aku berbicara, air mataku akan tumpah dan aku tidak bisa menahan amarah di dadaku.
“Mas sudah bawahkan bunga mawar, pasti kamu suka sayang,” ucapnya. Aku mencoba tersenyum. Senyum palsu yang berusaha aku buat saat ini.
“Setelah ini, mas ingin cerita serius,” ucap Mas Bayu sambil mengusap wajahku. Setelah mengatakan hal itu, Mas Bayu bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhnya. Aku berjalan menuju dapur dan duduk di meja makan. Menunggunya dan sama sekali tidak berbicara.
“Apa yang akan dikatakannya? Membongkar perselingkuhannya?” batinku.
Bersambung …
Bulan tampaknya malu-malu untuk memunculkan dirinya. Aku ingat saat Mas Bayu memujiku. Katanya, aku bagaikan Bulan purnama di hatinya. Menyinari Mas Bayu saat lelaki itu mengalami keterpurukan.Tapi, apa balasannya kepadaku?Aku masih menunggunya di atas balkon. Semua memori mengenai kebersamaan kami tiba-tiba terputar kembali. Bagaikan kaset kusut yang tidak bernilai. Rumah tangga ini sudah retak dengan kebohongan. Kebohongan Mas Bayu yang berusaha ditutupinya.“Bulan,” sahut Mas Bayu kemudian. Dia berjalan mendekatiku dan duduk di sampingku.“Mas mencarimu, mengapa suka duduk di sini?” Aku menghela napas panjang saat dia duduk di sampingku. Aku ingin mencabik mulutnya saja.“Bulan sayang,” panggilnya. Dia menyentuh kepalaku. Mas Bayu menatapku dengan sangat lama. Aku spontan tertunduk ke bawah. Air mataku mengalir tanpa komando dan membuat Mas Bayu panik.“Kamu masih marah sama mas?”“Mas tidak membohongimu sayang, mas tidak melakukan apapun!” ucap Mas Bayu. Aku menggelengkan kepala
Tanganku dingin, aku merasa tubuhku menegang seketika. Bahkan kakiku tidak bisa menopang massa tubuhku sekarang. Aku hancur, terluka dan semuanya mendadak gelap.Aku terus menangis. Perempuan cantik itu segera melompat dari tubuh Mas Bayu. Tubuh seksinya tidak memakai benang sehelai pun. Aku sangat malu menatapnya. Mas Bayu segera berlari mengambil handuk. Dia berjalan mendekatiku. Wajahnya terlihat terkejut. "Bulan?""Sayang, mengapa kau di sini?" ucapnya. Aku hancur, aku jijik melihat wajah suamiku. Mengapa dia masih bisa bertanya? Seharusnya aku yang bertanya kepadanya. Apa yang dilakukan dengan perempuan itu? Mengapa dia menjama tubuh perempuan lain? Tidak tahu kah bahwa aku merindukan setiap sentuhannya?Sorot mataku tajam melihat Zahrani. Oh rupanya wanita itu!Zahrani menunduk ke bawah dengan cepat. Ya, aku tahu. Dia sangat malu. Dia sangat malu setelah ketahuan beradegan ranjang dengan suami orang lain. Sangat menjijikan! Sangat memalukan!Deru napasku memburuh. Aku hampir ja
Aku mengusap wajahku frustasi. Tangisanku terus mengema di dalam kamar. Aku bingung harus berbuat apa. Sampai pukul lima sore, Mas Bayu belum meneleponku. Ibu mertuaku pun belum juga pulang. Apa dia mengetahui hal ini?“Atau ibu mertuaku bersama perempuan sialan itu?” Aku terus menerka-nerka. Bayangan Mas Bayu sedang bercinta terus terputar di memori otakku. Dadaku terasa sesak hingga aku sulit bernapas. Aku mencoba menghubungi Yuni. Aku butuh teman cerita saat ini. Aku butuh teman untuk menemaniku. “Halo.”“Bulan, ada apa? Mengapa suaramu berbeda?” Yuni panik mendengarkanku. Aku terus menangis di dalam sambungan telepon. Yuni semakin panik. “Bulan, tenang dulu. Ada apa?” serunya lagi. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Memberikan sedikit udara di kerongkonganku yang terasa sesak.“Mas Bayu, dia selingkuh Yuni!” “Bulan, kau percaya Mas Bayu selingkuh?” tukasnya. Hanya isak tangisanku yang menjadi jawabanku. Aku benar-benar sakit. Aku tidak bisa
Aku berusaha untuk tenang selama di dalam mobil. Air mataku terjatuh. Sesampai di rumah, aku melihat mobil Mas Bayu. Rupanya Mas Bayu sudah pulang. Aku berjalan menghampirinya. Mas Bayu tersenyum menatapku. Aku tidak membalas senyumannya. Lelaki itu berpura baik-baik saja padahal aku hampir mati memikirkan semua ini. “Bulan,” panggilnya. “Duduk di sini, ada yang mas mau katakan,” jawabnya kemudian. Aku duduk di depan Mas Bayu. Dia terus menatapku. Sesekali Mas Bayu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dia memandangiku dengan serius. “Maafkan mas.”Kata pertama yang keluar dari mulut manisnya. Sama seperti janji manisnya saat itu. “Mas tidak ingin kamu terluka lebih banyak lagi, Bulan.”“Mas sama sekali tidak bisa menahan godaan ini, mas khilaf.” Mas Bayu menunduk ke bawah. Ku kepal tanganku dengan kuat. Aku berusaha tenang mendengarkan ucapannya. “Mas tidak bisa meninggalkan Zara, sama sepertimu.”“Mas tidak bisa memilih diantara kalian berdua,” jawabnya. Aku
Aku sulit terlelap tidur. Aku terus menangis di bawah tumpukan bantal. Dadaku terasa sesak. Ini adalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang sama sekali tidak aku harapkan.“Bulan, kamu harus berjuang. Jangan pernah maafkan Mas Bayu, dia bercinta dengan perempuan lain!”“Dia bercinta dengan perempuan lain!” Aku berusaha menguatkan diriku sendiri malam ini.Mas Bayu benar-benar kurang ajar. Apa dia tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini? Aku hancur, aku terluka. Aku benar-benar tidak bisa berpikir apapun sekarang. Dadaku terasa sesak bahkan aku sangat sulit untuk bernapas.Dari tadi sore, ibu dan ayah berusaha menghubungiku. Namun, aku belum mengangkat telepon dari mereka. Aku tidak kuasa menjelaskan bagaimana Mas Bayu menghianatiku.Klek~Pintu tiba-tiba terbuka. Aku spontan menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Langkah kaki itu jelas terdengar. Perlahan, Mas Bayu naik di atas tempat tidur.“Bulan?” panggilnya. Aku tidak bersuara. Aku ingin berteriak di depannya namun aku tidak punya tenag
Apa rasanya melihat sang suami sedang bercinta dengan perempuan lain? Bagaikan mimpi buruk. Aku tidak pernah berpikir jika Mas Bayu akan melakukan hal itu. Tapi, kenyataan menyadarkanku. Di depan mataku sendiri, aku melihatnya. Saling mendesah dalam kenikmatan cinta yang semu.Dia berselingkuh. Air mataku terjatuh lagi. Dadaku terasa sesak. Di ruangan serba putih itu, aku terus menangis.Hening.Tidak ada yang menghampiriku. Siapa yang membawahku ke sini? Apa yang terjadi? Otakku bahkan tidak bekerja dengan baik lagi. Aku rasa, sekarang aku sudah gila.“Bulan!” Dari arah pintu, Yuni berlari menghampiriku. Aku membuang pandangan. Aku tidak ingin menatapnya. Dia dan Mas Bayu sama saja. Para penghianat yang menutupi aksi bejat ini.“Aku nggak tahu jika Bayu berselingkuh sejauh ini.”“Aku hanya tahu jika dia menyukai perempuan lain. Aku sudah melarangnya. Aku sudah berusaha untuk menasehatinya. Dia akan datang ke sini.”“Tadi kamu pingsan, secepat mungkin aku bawah ke sini.”Yuni berusaha
Dua hari tidak bertemu Mas Bayu, aku merasa lebih baik seperti ini. Melihatnya membuatku marah.“Bulan, apa kamu sudah siap menyandang status janda?” tanya ibu. Dia tiba-tiba berdiri di depan pintu. Menatapku dengan ekspresi nanar. Penuh tanda tanya di wajahnya.“Aku sudah siap ibu, apa salahnya?” jawabku.Aku mengambil ponsel. Ku lihat ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Mas Bayu. Ah, lelaki itu masih punya nyali untuk menghubungiku saat ini.“Apa tidak malu?”Aku menggelengkan kepala. Untuk saat ini, semua orang akan menertawaiku. Semua orang akan menghinakan statusku. Bahkan saat aku keluar rumah, beberapa tetangga sudah mulai bertanya.“Aku tidak malu, dari pada aku harus bersama Mas Bayu dalam kebohongan. Aku tidak mau!” ucapku segera. Air mataku terjatuh. Namun secepat mungkin aku menyekanya. Aku tidak ingin ibu melihatku menangis. Aku tidak ingin!“Tapi Bulan, kamu masih muda. Semua orang akan bertanya-tanya, bahkan beberapa tetangga sudah bertanya mengenai semua ini.“Aku
Mengakhiri semuanya adalah pilihan terbaik. Aku tidak mampu berdiri dan mengatakan aku kuat menghadapi semua ini. Sejatinya, aku sedang rapuh. Aku hanya berpura-pura kuat.Aku menyendiri di Bogor. Tidak bertemu siapa pun adalah pilihan terbaik. Aku tidak bisa menghadapi semua ini sendiri.Yuni menemaniku. Dia meminta maaf atas perbuatannya. Dari dulu, dia ingin menjelaskan kepadaku mengenai perilaku Mas Bayu yang menyimpang.Ah, semua sudah terjadi. Membentak dan memarahinya itu akan sia-sia saja.“Apa kamu masih marah, Bulan?” tanyanya. Wajahnya sedikit cemas. “Aku hanya kecewa dengan Mas Bayu. Jika kita lihat ke belakang, aku sudah melakukan banyak hal untuknya. Bahkan aku memutuskan untuk tidak bekerja demi dirinya. Aku terlalu berharap kepadanya. Tanpa tahu, dia bermain di belakangku.”Aku menunduk, bola mataku kembali memanas.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Sebaiknya kamu mulai menata hidup."“Iya, tapi aku bingung, harus memulai apa? Aku tidak memiliki keahlian.”Membayangkan a
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya