Dua hari tidak bertemu Mas Bayu, aku merasa lebih baik seperti ini. Melihatnya membuatku marah.“Bulan, apa kamu sudah siap menyandang status janda?” tanya ibu. Dia tiba-tiba berdiri di depan pintu. Menatapku dengan ekspresi nanar. Penuh tanda tanya di wajahnya.“Aku sudah siap ibu, apa salahnya?” jawabku.Aku mengambil ponsel. Ku lihat ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Mas Bayu. Ah, lelaki itu masih punya nyali untuk menghubungiku saat ini.“Apa tidak malu?”Aku menggelengkan kepala. Untuk saat ini, semua orang akan menertawaiku. Semua orang akan menghinakan statusku. Bahkan saat aku keluar rumah, beberapa tetangga sudah mulai bertanya.“Aku tidak malu, dari pada aku harus bersama Mas Bayu dalam kebohongan. Aku tidak mau!” ucapku segera. Air mataku terjatuh. Namun secepat mungkin aku menyekanya. Aku tidak ingin ibu melihatku menangis. Aku tidak ingin!“Tapi Bulan, kamu masih muda. Semua orang akan bertanya-tanya, bahkan beberapa tetangga sudah bertanya mengenai semua ini.“Aku
Mengakhiri semuanya adalah pilihan terbaik. Aku tidak mampu berdiri dan mengatakan aku kuat menghadapi semua ini. Sejatinya, aku sedang rapuh. Aku hanya berpura-pura kuat.Aku menyendiri di Bogor. Tidak bertemu siapa pun adalah pilihan terbaik. Aku tidak bisa menghadapi semua ini sendiri.Yuni menemaniku. Dia meminta maaf atas perbuatannya. Dari dulu, dia ingin menjelaskan kepadaku mengenai perilaku Mas Bayu yang menyimpang.Ah, semua sudah terjadi. Membentak dan memarahinya itu akan sia-sia saja.“Apa kamu masih marah, Bulan?” tanyanya. Wajahnya sedikit cemas. “Aku hanya kecewa dengan Mas Bayu. Jika kita lihat ke belakang, aku sudah melakukan banyak hal untuknya. Bahkan aku memutuskan untuk tidak bekerja demi dirinya. Aku terlalu berharap kepadanya. Tanpa tahu, dia bermain di belakangku.”Aku menunduk, bola mataku kembali memanas.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Sebaiknya kamu mulai menata hidup."“Iya, tapi aku bingung, harus memulai apa? Aku tidak memiliki keahlian.”Membayangkan a
“Bulan?”“Bulan sayang?”Suara itu samar-samar mengema. Aku membuka mataku perlahan. Ibu menatapku dengan serius. Wajahnya terlihat sedih. Aku menyesal telah membuatnya seperti ini. “Bulan, tenangkan dirimu.”“Aku tahu ini sangat menyakitkan, namun kesehatanmu lebih baik dari segalanya. Kamu tidak ingin ayahmu terluka lebih jauh lagi, bukan?” Aku mengangguk. Aku sangat sulit berbicara. Dadaku sesak. Ku pejamkan mataku, butiran bening itu seakan tumpah seketika. Rasanya sangat sakit dan aku dipaksa untuk menikmatinya.“Yuni dan dokter Dimas sudah memeriksamu tadi.”“Ibu cemas, ibu cemas dengan hasilnya.” Ibu terus mengengam tanganku. Dia menangis di depanku. Rasanya sangat berat seperti ini. Mas Bayu harus bertanggung jawab. Dia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukan kepadaku. Yuni segera masuk. Dia menunduk ke bawah. Wajahnya terlihat panik. Aku memandanginya dengan sorot mata tajam. Kuharap dia memberitahukan berita gembira saat ini. Yuni duduk di sampingku. Dia
Tangan kekar itu menarikku secara paksa dan membuat tubuhku terjatuh begitu saja. “Kenapa berdiri di sini?”“Saya berlari dari mobil untuk menarikmu, kamu bisa terjatuh ke bawah!”Aku terus menangis dan tidak peduli apapun yang dikatakan lelaki itu. Dia sangat cerewet.“Aku mau jatuh saja!” rancauku. Aku frustasi. Aku tidak bisa berpikir apapun saat ini. “Terserah jika ingin jatuh di bawah sungai itu, saya tidak masalah tapi jangan bunuh diri dihadapan saya!” Aku bisa merasakan dia memundurkan tubuhnya setelah mengengamku dengan erat.“Pergi saja!” bentakku. Lelaki itu menggeleng. Dia berjalan menuju mobil hitamnya yang diparkir lumayan jauh dari jembatan. “Saya berniat baik, menyelamatkan kamu. Apa ada masalah? Tidak sepatutnya terjun bebas ke situ!” “Aku tidak peduli!” teriakku. Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi. “Terserah!” ucapnya dengan nada yang sangat rendah hampir tidak terdengar di telinganku.Tubuhku ambruk. Aku duduk di depan jembatan sambil menunduk d
“Jika dipersidangan nanti kamu dan Mas Bayu tidak bisa berpisah, bagaimana? Kondisimu sedang hamil.”“Kamu tahu hukumnya kan?” Yuni menatapku dengan serius. Dia bingung dengan kisah hidupku. Sejak kemarin, dia mengatakan jika malam-malamnya tidak seaman dulu. Yuni merasa sedih karena dia yang memperkenalkan Mas Bayu kepadaku. “Ya,” jawabku pelan. “Lalu? Apa rencanamu?” Aku memainkan jemariku sambil menunduk ke bawah. Bingung harus berkata apa. Sejak kemarin aku memikirkan hal ini. Bisa saja Mas Bayu mempersulitku dengan alasan aku sedang hamil dan tidak bisa berpisah dengannya. Aku sudah tidak ada kerjaan dan ke depan aku akan kesulitan dalam bidang ekonomi. Tapi aku masih punya rumah, rumah yang ditempati Mas Bayu dan perempuan itu akan aku jual. Ya, lumayan untuk bisnis atau membuat apa lah, aku belum memikirkannya lebih jauh.“Aku akan pikirkan hal ini. Tapi aku tidak ingin mengundur waktu, Yuni!” Aku menatap Yuni dengan serius.“Iya aku paham Bulan,” serunya sambil mengengam t
“Bayinya baik-baik saja kan?” Aku memandangi Yuni dengan serius. Dia sedang memeriksaku saat ini. Meskipun aku membenci Mas Bayu, Tidak ada alasan untuk membenci bayiku sendiri. “Tekanan darahmu cukup tinggi.” Yuni duduk di sampingku dan menatapku dengan serius. Aku memandanginya dan menunggu jawabannya. Wajahnya tampak cemas. “Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Jaga kesehatanmu dan lupakan mengenai Mas Bayu,” serunya. Aku belum bisa sepenuhnya untuk melupakan sakit ini, rasanya benar-benar sakit.“Mas Reza mengundang kita ke kantornya besok. Dia terlihat tertarik denganmu. Bagaimana?”Yuni menatapku. “Aku masih memikirkan tawaran untuk bekerja dengan Mas Reza, apa tidak berlebihan?” Yuni menggeleng. Dia suka jika aku bersama Mas Reza dan bekerja sama dengan lelaki itu. “Apa lagi yang kau pikirkan, Bulan? Tentu saja tidak berlebihan. Kamu bisa mendapatkan banyak hal jika bekerja. Tidak mengurusi Mas Bayu dan kamu bisa jadi perempuan mandiri!” Yuni mengusap tanganku dan terus mena
“Di mana Yuni?” Saat masuk ke dalam ruangan, aku tidak melihat Yuni lagi. Entah dimana dia sekarang. “Sedang bertugas, hari ini dia berada di UGD, ada apa? Sepertinya kamu tidak nyaman denganku? Tadi itu suamimu?” tanya mas Reza dengan ekspresi serius. Aku menganggukan kepala perlahan. “Lalu?” sambungnya lagi. Mas Reza dan aku kini berjalan menuju loby. “Tidak ada hal penting yang harus kau ketahui, aku pulang dulu. Makasih Pak Reza, tapi kamu tidak perlu terlalu repot mengurusku!” Secepat mungkin aku berjalan menjauh dari Mas Reza. “Bulan.” “Hati-hati!” ucapnya. Aku tidak menjawab. Seluruh pasang mata memandangi kami sambil berbisik. Aku menunduk dan mempercepat langkahku keluar dari tempat itu. “Bulan!” Aku menoleh dan menatap mas Bayu yang sudah berada di parkiran. Aku membuang pandangan. “Bulan.” “Kamu mengenal Mas Reza? Bagaimana bisa kamu bersama lelaki itu? Kamu istriku!” Aku segera masuk ke dalam mobil. Aku tidak peduli dengan ucapannya. “Bulan!” “Kamu tidak
Aku menunggu mereka di depan kamar. Ku tatap Zahrani yang sedang asik mengumpulkan bajunya. Aku tersenyum. Koper hitam milik wanita itu sudah berada di depanku. “Mbak Bulan begitu tega.” “Mbak Bulan bisa mengambil semua milik mbak Bulan di rumah ini. Tapi tidak dengan hati mas Bayu.” Suaranya bergetar. Bola matanya berkabut. Tatapannya sangat tajam dan dia menunjukku dengan penuh keberanian. “Apa kau pikir, aku peduli?” jawabku. “Kalian tahu jalan keluar kan? Aku yakin, mata kalian pasti tidak buta!” Mas Bayu memandangiku dengan tatapan tajam penuh kebencian. “Aku berjanji Bulan, kau tidak akan pernah merasakan kebahagian. Aku yakin, sampai kapan pun, tidak ada lelaki yang menginginkan perempuan jahat sepertimu!” “Perempuan hina!” Mas Bayu mengengam tangan Zahrani dengan kuat dan berjalan menuju pintu utama. Tubuhku terasa lemas seketika. Namun aku berusaha untuk terlihat kuat. Mas Bayu begitu romantis menyeka air mata wanita itu. Dulu, aku yang berada di posisi Zahrani