Tangan kekar itu menarikku secara paksa dan membuat tubuhku terjatuh begitu saja. “Kenapa berdiri di sini?”“Saya berlari dari mobil untuk menarikmu, kamu bisa terjatuh ke bawah!”Aku terus menangis dan tidak peduli apapun yang dikatakan lelaki itu. Dia sangat cerewet.“Aku mau jatuh saja!” rancauku. Aku frustasi. Aku tidak bisa berpikir apapun saat ini. “Terserah jika ingin jatuh di bawah sungai itu, saya tidak masalah tapi jangan bunuh diri dihadapan saya!” Aku bisa merasakan dia memundurkan tubuhnya setelah mengengamku dengan erat.“Pergi saja!” bentakku. Lelaki itu menggeleng. Dia berjalan menuju mobil hitamnya yang diparkir lumayan jauh dari jembatan. “Saya berniat baik, menyelamatkan kamu. Apa ada masalah? Tidak sepatutnya terjun bebas ke situ!” “Aku tidak peduli!” teriakku. Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi. “Terserah!” ucapnya dengan nada yang sangat rendah hampir tidak terdengar di telinganku.Tubuhku ambruk. Aku duduk di depan jembatan sambil menunduk d
“Jika dipersidangan nanti kamu dan Mas Bayu tidak bisa berpisah, bagaimana? Kondisimu sedang hamil.”“Kamu tahu hukumnya kan?” Yuni menatapku dengan serius. Dia bingung dengan kisah hidupku. Sejak kemarin, dia mengatakan jika malam-malamnya tidak seaman dulu. Yuni merasa sedih karena dia yang memperkenalkan Mas Bayu kepadaku. “Ya,” jawabku pelan. “Lalu? Apa rencanamu?” Aku memainkan jemariku sambil menunduk ke bawah. Bingung harus berkata apa. Sejak kemarin aku memikirkan hal ini. Bisa saja Mas Bayu mempersulitku dengan alasan aku sedang hamil dan tidak bisa berpisah dengannya. Aku sudah tidak ada kerjaan dan ke depan aku akan kesulitan dalam bidang ekonomi. Tapi aku masih punya rumah, rumah yang ditempati Mas Bayu dan perempuan itu akan aku jual. Ya, lumayan untuk bisnis atau membuat apa lah, aku belum memikirkannya lebih jauh.“Aku akan pikirkan hal ini. Tapi aku tidak ingin mengundur waktu, Yuni!” Aku menatap Yuni dengan serius.“Iya aku paham Bulan,” serunya sambil mengengam t
“Bayinya baik-baik saja kan?” Aku memandangi Yuni dengan serius. Dia sedang memeriksaku saat ini. Meskipun aku membenci Mas Bayu, Tidak ada alasan untuk membenci bayiku sendiri. “Tekanan darahmu cukup tinggi.” Yuni duduk di sampingku dan menatapku dengan serius. Aku memandanginya dan menunggu jawabannya. Wajahnya tampak cemas. “Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Jaga kesehatanmu dan lupakan mengenai Mas Bayu,” serunya. Aku belum bisa sepenuhnya untuk melupakan sakit ini, rasanya benar-benar sakit.“Mas Reza mengundang kita ke kantornya besok. Dia terlihat tertarik denganmu. Bagaimana?”Yuni menatapku. “Aku masih memikirkan tawaran untuk bekerja dengan Mas Reza, apa tidak berlebihan?” Yuni menggeleng. Dia suka jika aku bersama Mas Reza dan bekerja sama dengan lelaki itu. “Apa lagi yang kau pikirkan, Bulan? Tentu saja tidak berlebihan. Kamu bisa mendapatkan banyak hal jika bekerja. Tidak mengurusi Mas Bayu dan kamu bisa jadi perempuan mandiri!” Yuni mengusap tanganku dan terus mena
“Di mana Yuni?” Saat masuk ke dalam ruangan, aku tidak melihat Yuni lagi. Entah dimana dia sekarang. “Sedang bertugas, hari ini dia berada di UGD, ada apa? Sepertinya kamu tidak nyaman denganku? Tadi itu suamimu?” tanya mas Reza dengan ekspresi serius. Aku menganggukan kepala perlahan. “Lalu?” sambungnya lagi. Mas Reza dan aku kini berjalan menuju loby. “Tidak ada hal penting yang harus kau ketahui, aku pulang dulu. Makasih Pak Reza, tapi kamu tidak perlu terlalu repot mengurusku!” Secepat mungkin aku berjalan menjauh dari Mas Reza. “Bulan.” “Hati-hati!” ucapnya. Aku tidak menjawab. Seluruh pasang mata memandangi kami sambil berbisik. Aku menunduk dan mempercepat langkahku keluar dari tempat itu. “Bulan!” Aku menoleh dan menatap mas Bayu yang sudah berada di parkiran. Aku membuang pandangan. “Bulan.” “Kamu mengenal Mas Reza? Bagaimana bisa kamu bersama lelaki itu? Kamu istriku!” Aku segera masuk ke dalam mobil. Aku tidak peduli dengan ucapannya. “Bulan!” “Kamu tidak
Aku menunggu mereka di depan kamar. Ku tatap Zahrani yang sedang asik mengumpulkan bajunya. Aku tersenyum. Koper hitam milik wanita itu sudah berada di depanku. “Mbak Bulan begitu tega.” “Mbak Bulan bisa mengambil semua milik mbak Bulan di rumah ini. Tapi tidak dengan hati mas Bayu.” Suaranya bergetar. Bola matanya berkabut. Tatapannya sangat tajam dan dia menunjukku dengan penuh keberanian. “Apa kau pikir, aku peduli?” jawabku. “Kalian tahu jalan keluar kan? Aku yakin, mata kalian pasti tidak buta!” Mas Bayu memandangiku dengan tatapan tajam penuh kebencian. “Aku berjanji Bulan, kau tidak akan pernah merasakan kebahagian. Aku yakin, sampai kapan pun, tidak ada lelaki yang menginginkan perempuan jahat sepertimu!” “Perempuan hina!” Mas Bayu mengengam tangan Zahrani dengan kuat dan berjalan menuju pintu utama. Tubuhku terasa lemas seketika. Namun aku berusaha untuk terlihat kuat. Mas Bayu begitu romantis menyeka air mata wanita itu. Dulu, aku yang berada di posisi Zahrani
Jantungku berdetak lebih cepat. Aku semakin panik saat ibu menangis di telepon. “Ibu, tenang, aku akan ke sana!” Yuni menemaniku ke rumah sakit. Dia tidak ingin aku sendiri. “Sudah Bulan, jangan panik!” Seketika tanganku mendadak dingin. Aku takut terjadi sesuatu kepada ayah. Sesampai di rumah, ku lihat ayah meringis kesakitan. Ibu segera menghampiriku. “Kok bisa jatuh sih Bu?” Dengan isak tangisan, ibu segera memelukku. “Ayahmu kaget, tadi dia melihat mas Bayu bersama istri keduanya, jadi dia marah. Ayahmu belum bisa menahan amaranya, Bulan.” Aku memandangi ayah yang juga sedang menatapku. “Yah, mengapa ayah masih memikirkan mas Bayu? Bulan akan cerai dengannya!” suaraku parau. Aku menangis mengingat ayah. Hatinya pasti sangat terluka. “Bulan, ayah sakit melihatnya.” Aku menatap Yuni yang berusaha menenangkanku. “Bawah ayahmu ke rumah sakit, bawah ke Rumah sakit Wijaya, di sana biar aku yang mengatasinya.” Aku mengangguk setuju. Beberapa warga membantu kami membawah ayah.
Aku menatap Mas Reza yang sedang memandangiku secara serius. Aku tidak tahu jika lelaki itu adalah dokter spesialis kejiwaan. Pantas saja saat aku hendak bunuh diri, dia terus menungguku di depan mobilnya. Mungkin dia sengaja memberikanku pekerjaan karena kasihan kepadaku. Atau sedang mengawasiku agar aku tidak nekad lagi. “Duduklah!” perintahnya. Aku terus memperhatikan wajahnya yang terlihat dingin seketika. Aku tidak mengerti secara jelas, bagaimana sifat lelaki itu. “Bayu Corp, apakah itu perusahaan milik suamimu?” tanyanya. Aku menganggukan kepala secepat mungkin. Memang benar adanya. Perusahaan itu adalah milik mas Bayu. Bergerak di bidang property. “Ya,” sahutku agar semakin jelas. “Oke, aku akan batalkan kerja sama," jawabnya singkat. Aku mengerutkan kening mendengarkan ucapannya. “Maksud pak Reza, bagaimana?” “Lelaki itu datang ke hadapanku tadi pagi, memohon agar tender ini dimenangkan oleh perusahaan mereka. Aku membatalkan secara sepihak,” ucapnya. Aku semakin tid
Bekerja dengan mas Reza tidak terlalu sulit. Aku harus menginput beberapa data pasien ke komputer dan mengirimkannya kepada sekretaris mas Reza. Ya, pekerjaan ini seharusnya dikerjakan oleh sekretarisnya saja. Tapi entahlah, aku juga bingung, mengapa dia memberikan pekerjaan yang sangat mudah ini kepadaku?Awalnya, aku pikir dia akan menyuruhku mencari klien atau sejenisnya. Tapi ternyata salah. Seperti pagi ini, aku datang pukul tujuh dan segera berjalan menuju ruanganku. Semua orang memandangiku saat masuk ke loby rumah sakit. “Mbak Bulan?” “Bukankah mbak Bulan istri dari mas Bayu yah?” Aku menyipitkan mata menatap perempuan itu. Wajahnya tidak asing. Tapi aku lupa, di mana aku pernah melihatnya. Aku menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum. “Aku Tiara, kenalan mas Bayu.” Aku mengangkat salah satu alisku memandanginya. Aku tersenyum. Sejujurnya ingin sekali aku mengakhiri pembicaraan ini lalu segera pergi. Namun perempuan itu malah menarik tanganku. “Ku dengar, mas Bayu ni