“Jika dipersidangan nanti kamu dan Mas Bayu tidak bisa berpisah, bagaimana? Kondisimu sedang hamil.”“Kamu tahu hukumnya kan?” Yuni menatapku dengan serius. Dia bingung dengan kisah hidupku. Sejak kemarin, dia mengatakan jika malam-malamnya tidak seaman dulu. Yuni merasa sedih karena dia yang memperkenalkan Mas Bayu kepadaku. “Ya,” jawabku pelan. “Lalu? Apa rencanamu?” Aku memainkan jemariku sambil menunduk ke bawah. Bingung harus berkata apa. Sejak kemarin aku memikirkan hal ini. Bisa saja Mas Bayu mempersulitku dengan alasan aku sedang hamil dan tidak bisa berpisah dengannya. Aku sudah tidak ada kerjaan dan ke depan aku akan kesulitan dalam bidang ekonomi. Tapi aku masih punya rumah, rumah yang ditempati Mas Bayu dan perempuan itu akan aku jual. Ya, lumayan untuk bisnis atau membuat apa lah, aku belum memikirkannya lebih jauh.“Aku akan pikirkan hal ini. Tapi aku tidak ingin mengundur waktu, Yuni!” Aku menatap Yuni dengan serius.“Iya aku paham Bulan,” serunya sambil mengengam t
“Bayinya baik-baik saja kan?” Aku memandangi Yuni dengan serius. Dia sedang memeriksaku saat ini. Meskipun aku membenci Mas Bayu, Tidak ada alasan untuk membenci bayiku sendiri. “Tekanan darahmu cukup tinggi.” Yuni duduk di sampingku dan menatapku dengan serius. Aku memandanginya dan menunggu jawabannya. Wajahnya tampak cemas. “Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Jaga kesehatanmu dan lupakan mengenai Mas Bayu,” serunya. Aku belum bisa sepenuhnya untuk melupakan sakit ini, rasanya benar-benar sakit.“Mas Reza mengundang kita ke kantornya besok. Dia terlihat tertarik denganmu. Bagaimana?”Yuni menatapku. “Aku masih memikirkan tawaran untuk bekerja dengan Mas Reza, apa tidak berlebihan?” Yuni menggeleng. Dia suka jika aku bersama Mas Reza dan bekerja sama dengan lelaki itu. “Apa lagi yang kau pikirkan, Bulan? Tentu saja tidak berlebihan. Kamu bisa mendapatkan banyak hal jika bekerja. Tidak mengurusi Mas Bayu dan kamu bisa jadi perempuan mandiri!” Yuni mengusap tanganku dan terus mena
“Di mana Yuni?” Saat masuk ke dalam ruangan, aku tidak melihat Yuni lagi. Entah dimana dia sekarang. “Sedang bertugas, hari ini dia berada di UGD, ada apa? Sepertinya kamu tidak nyaman denganku? Tadi itu suamimu?” tanya mas Reza dengan ekspresi serius. Aku menganggukan kepala perlahan. “Lalu?” sambungnya lagi. Mas Reza dan aku kini berjalan menuju loby. “Tidak ada hal penting yang harus kau ketahui, aku pulang dulu. Makasih Pak Reza, tapi kamu tidak perlu terlalu repot mengurusku!” Secepat mungkin aku berjalan menjauh dari Mas Reza. “Bulan.” “Hati-hati!” ucapnya. Aku tidak menjawab. Seluruh pasang mata memandangi kami sambil berbisik. Aku menunduk dan mempercepat langkahku keluar dari tempat itu. “Bulan!” Aku menoleh dan menatap mas Bayu yang sudah berada di parkiran. Aku membuang pandangan. “Bulan.” “Kamu mengenal Mas Reza? Bagaimana bisa kamu bersama lelaki itu? Kamu istriku!” Aku segera masuk ke dalam mobil. Aku tidak peduli dengan ucapannya. “Bulan!” “Kamu tidak
Aku menunggu mereka di depan kamar. Ku tatap Zahrani yang sedang asik mengumpulkan bajunya. Aku tersenyum. Koper hitam milik wanita itu sudah berada di depanku. “Mbak Bulan begitu tega.” “Mbak Bulan bisa mengambil semua milik mbak Bulan di rumah ini. Tapi tidak dengan hati mas Bayu.” Suaranya bergetar. Bola matanya berkabut. Tatapannya sangat tajam dan dia menunjukku dengan penuh keberanian. “Apa kau pikir, aku peduli?” jawabku. “Kalian tahu jalan keluar kan? Aku yakin, mata kalian pasti tidak buta!” Mas Bayu memandangiku dengan tatapan tajam penuh kebencian. “Aku berjanji Bulan, kau tidak akan pernah merasakan kebahagian. Aku yakin, sampai kapan pun, tidak ada lelaki yang menginginkan perempuan jahat sepertimu!” “Perempuan hina!” Mas Bayu mengengam tangan Zahrani dengan kuat dan berjalan menuju pintu utama. Tubuhku terasa lemas seketika. Namun aku berusaha untuk terlihat kuat. Mas Bayu begitu romantis menyeka air mata wanita itu. Dulu, aku yang berada di posisi Zahrani
Jantungku berdetak lebih cepat. Aku semakin panik saat ibu menangis di telepon. “Ibu, tenang, aku akan ke sana!” Yuni menemaniku ke rumah sakit. Dia tidak ingin aku sendiri. “Sudah Bulan, jangan panik!” Seketika tanganku mendadak dingin. Aku takut terjadi sesuatu kepada ayah. Sesampai di rumah, ku lihat ayah meringis kesakitan. Ibu segera menghampiriku. “Kok bisa jatuh sih Bu?” Dengan isak tangisan, ibu segera memelukku. “Ayahmu kaget, tadi dia melihat mas Bayu bersama istri keduanya, jadi dia marah. Ayahmu belum bisa menahan amaranya, Bulan.” Aku memandangi ayah yang juga sedang menatapku. “Yah, mengapa ayah masih memikirkan mas Bayu? Bulan akan cerai dengannya!” suaraku parau. Aku menangis mengingat ayah. Hatinya pasti sangat terluka. “Bulan, ayah sakit melihatnya.” Aku menatap Yuni yang berusaha menenangkanku. “Bawah ayahmu ke rumah sakit, bawah ke Rumah sakit Wijaya, di sana biar aku yang mengatasinya.” Aku mengangguk setuju. Beberapa warga membantu kami membawah ayah.
Aku menatap Mas Reza yang sedang memandangiku secara serius. Aku tidak tahu jika lelaki itu adalah dokter spesialis kejiwaan. Pantas saja saat aku hendak bunuh diri, dia terus menungguku di depan mobilnya. Mungkin dia sengaja memberikanku pekerjaan karena kasihan kepadaku. Atau sedang mengawasiku agar aku tidak nekad lagi. “Duduklah!” perintahnya. Aku terus memperhatikan wajahnya yang terlihat dingin seketika. Aku tidak mengerti secara jelas, bagaimana sifat lelaki itu. “Bayu Corp, apakah itu perusahaan milik suamimu?” tanyanya. Aku menganggukan kepala secepat mungkin. Memang benar adanya. Perusahaan itu adalah milik mas Bayu. Bergerak di bidang property. “Ya,” sahutku agar semakin jelas. “Oke, aku akan batalkan kerja sama," jawabnya singkat. Aku mengerutkan kening mendengarkan ucapannya. “Maksud pak Reza, bagaimana?” “Lelaki itu datang ke hadapanku tadi pagi, memohon agar tender ini dimenangkan oleh perusahaan mereka. Aku membatalkan secara sepihak,” ucapnya. Aku semakin tid
Bekerja dengan mas Reza tidak terlalu sulit. Aku harus menginput beberapa data pasien ke komputer dan mengirimkannya kepada sekretaris mas Reza. Ya, pekerjaan ini seharusnya dikerjakan oleh sekretarisnya saja. Tapi entahlah, aku juga bingung, mengapa dia memberikan pekerjaan yang sangat mudah ini kepadaku?Awalnya, aku pikir dia akan menyuruhku mencari klien atau sejenisnya. Tapi ternyata salah. Seperti pagi ini, aku datang pukul tujuh dan segera berjalan menuju ruanganku. Semua orang memandangiku saat masuk ke loby rumah sakit. “Mbak Bulan?” “Bukankah mbak Bulan istri dari mas Bayu yah?” Aku menyipitkan mata menatap perempuan itu. Wajahnya tidak asing. Tapi aku lupa, di mana aku pernah melihatnya. Aku menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum. “Aku Tiara, kenalan mas Bayu.” Aku mengangkat salah satu alisku memandanginya. Aku tersenyum. Sejujurnya ingin sekali aku mengakhiri pembicaraan ini lalu segera pergi. Namun perempuan itu malah menarik tanganku. “Ku dengar, mas Bayu ni
Setelah menyelesaikan pekerjaan yang rumit ini, aku bergegas untuk pulang. Yuni mengikuti Mas Reza ke ruang operasi. Aku tidak tahu Yuni akan lama pulang atau tidak. Aku mengambil sebotol air mineral. Aku menatap Zahrani dari kaca spion. Perempuan itu tiba-tiba datang ke rumah sakit. Buruh-buruh aku menutup botol itu dan berjalan saat langkahnya dengan cepat membuka pintu mobil dengan sembarangan. “Mbak Bulan!”“Keluar!” perintahnya. Aku menoleh dan menatapnya dengan kening berkerut. “Loh, kamu bisa di sini bagaimana?”“Ini mobil aku, tidak selayaknya kamu seenak jidat seperti ini!” tegurku. Aku berusaha setenang mungkin. Aku tidak mengerti mengapa dia tersulut emosi. Mengapa dia tiba-tiba hadir di hadapanku. “Mbak!” teriaknya di hadapanku. Aku memandanginya sambil berkacak pingang. “Mas Bayu ingin menceraikanku, kamu tahu kan, aku dan mas Bayu sudah jatuh cinta dari lama!”“Ambil saja lelaki itu, aku tidak suka!” jawabku. Zahrani mulai geram. Dia mengepal tangannya dan hampir
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya