Bekerja dengan mas Reza tidak terlalu sulit. Aku harus menginput beberapa data pasien ke komputer dan mengirimkannya kepada sekretaris mas Reza. Ya, pekerjaan ini seharusnya dikerjakan oleh sekretarisnya saja. Tapi entahlah, aku juga bingung, mengapa dia memberikan pekerjaan yang sangat mudah ini kepadaku?Awalnya, aku pikir dia akan menyuruhku mencari klien atau sejenisnya. Tapi ternyata salah. Seperti pagi ini, aku datang pukul tujuh dan segera berjalan menuju ruanganku. Semua orang memandangiku saat masuk ke loby rumah sakit. “Mbak Bulan?” “Bukankah mbak Bulan istri dari mas Bayu yah?” Aku menyipitkan mata menatap perempuan itu. Wajahnya tidak asing. Tapi aku lupa, di mana aku pernah melihatnya. Aku menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum. “Aku Tiara, kenalan mas Bayu.” Aku mengangkat salah satu alisku memandanginya. Aku tersenyum. Sejujurnya ingin sekali aku mengakhiri pembicaraan ini lalu segera pergi. Namun perempuan itu malah menarik tanganku. “Ku dengar, mas Bayu ni
Setelah menyelesaikan pekerjaan yang rumit ini, aku bergegas untuk pulang. Yuni mengikuti Mas Reza ke ruang operasi. Aku tidak tahu Yuni akan lama pulang atau tidak. Aku mengambil sebotol air mineral. Aku menatap Zahrani dari kaca spion. Perempuan itu tiba-tiba datang ke rumah sakit. Buruh-buruh aku menutup botol itu dan berjalan saat langkahnya dengan cepat membuka pintu mobil dengan sembarangan. “Mbak Bulan!”“Keluar!” perintahnya. Aku menoleh dan menatapnya dengan kening berkerut. “Loh, kamu bisa di sini bagaimana?”“Ini mobil aku, tidak selayaknya kamu seenak jidat seperti ini!” tegurku. Aku berusaha setenang mungkin. Aku tidak mengerti mengapa dia tersulut emosi. Mengapa dia tiba-tiba hadir di hadapanku. “Mbak!” teriaknya di hadapanku. Aku memandanginya sambil berkacak pingang. “Mas Bayu ingin menceraikanku, kamu tahu kan, aku dan mas Bayu sudah jatuh cinta dari lama!”“Ambil saja lelaki itu, aku tidak suka!” jawabku. Zahrani mulai geram. Dia mengepal tangannya dan hampir
Mas Bayu pagi-pagi buta sudah menghampiriku. Dia segera memelukku namun secepat mungkin ku hempaskan tubuhnya agar menjauh. “Pergi!” “Bulan,” panggilnya. Aku menggelengkan kepala. Pandanganku tajam menatapnya. Mas Bayu menangis di hadapanku. Aku sangat membencinya. Sungguh, aku benar-benar membenci dirinya. “Aku merasakan kehilangan juga Bulan.” “Apa kamu menganggap, hanya kamu yang kehilangan?” Aku membuang pandangan. Demi apapun, saat ini aku tidak ingin melihatnya. “Pergi!” “Pergi mas!” teriakku frustasi. Mas Bayu menggeleng. “Bulan, aku tidak ingin pergi! Demi apapun, aku tidak ingin pergi dari sini!” Aku terus memberontak. Ibu Fauzi berpangku tangan di depan pintu. “Sudahlah Bayu, apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi.” “Toh, Bulan sudah melaporkan Zahrani. Aku anggap ini sudah setimpal.” Aku memandangi wanita tua itu dengan pandangan tajam. “Bulan, jangan terlalu berlebihan tentang hidupmu." “Kandungannya sangat lemah. Aku katakan kepadamu, Bulan. Jangan
Menyandang status janda, tidak mudah bagiku. Ibu kerap kali mendapatkan pertanyaan dari tentanga mengenai urusan rumah tanggaku. Mereka menyalahkanku karena terlalu mudah mengiyakan ajakan mas Bayu untuk menikah waktu itu. Katanya, aku salah pilih orang. Aku dimanfaatkan. Ya memang benar, mas Bayu memanfaatkanku. Aku kehilangan harta, aku kehilangan banyak hal. Ada juga yang membenarkan tindakan mas Bayu dengan dalil, seorang lelaki ingin memiliki istri yang subur. Ah, menjengkelkan sekali. Hanya persoalan memiliki anak, dia meninggalkanku dengan mudah. Kehadiran Mas Reza dan Yuni bagaikan penyelamat di hidupku. Awalnya, aku berencana membuat kedai kue cokelat, namun aku gagal. Aku belum terbiasa terjun di dunia bisnis. Mas Reza yang menganggapku gila memberikan pekerjaan kepadaku dengan dalil akan selalu mengawasi perkembaganku. Aku tentu saja tidak membenarkan ucapannya. Siapa yang gila? Aku nggak gila? Memang benar jika aku pernah memiliki niatan untuk bunuh diri. Tapi benar
“Ummi, mau ikut bersama kami?” “Kok ummi pisah dari Daddy sih?” Aku menatap wajah gadis itu dengan ekspresi tidak percaya. Ya ampun, mulutnya begitu lancar menyebutku dengan nama ummi. Dia melipat tangannya sambil menatapku. “Hmm.” “Itu … aku bukan ummimu, aku …,” “Daddy bilang kalo kamu adalah ummiku.” “Jadi siapa ummiku?” Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Sari datang sambil membuka mulutnya. Dia terkejut, gadis kecil itu sudah berada di ruanganku. “Kok bisa sama kamu sih?” “Tadi dibawah sama Mas Reza ke sini.” “Tuh, lihat kan, Mas Reza tuh suka sama kamu, Bulan,” kekehnya. Tiara duduk di sampingku. Aku mengaruk kepala yang tidak gatal. Gadis kecil itu terus menatapku. “Ayo ummi.” “Cepat, kita mau ke rumah!” rengeknya manja. Sari hanya bisa tersenyum. “Aku balik lebih awal dulu yah, soalnya harus jaga bocah ini.” “Gaji nggak dipotong kan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Siip deh, gajinya aman kok,” kekehku. Aku mengendong Hanna setelah mengambil tasku di ruangan. Mas R
Aku menerima tawaran gila itu. Aku akan berpura-pura menjadi istri dari Mas Reza. Ya Tuhan, nasibku benar-benar tragis saat ini.Aku duduk sambil merenung. Sore ini setelah pulang dari rumah mas Reza, aku mampir ke rumah ibu sebelum ke apartemen. Alasan mengapa aku tidak tinggal dengan ibu dan ayah karena para tetangga akan menanyakan mengenai hubunganku dengan mas Bayu. Ibu dan ayah berniat untuk tinggal di Bandung. Kami punya satu rumah di sana. Demi menjaga kewarasa ayah dan ibu. Kami akan pindah ke Bandung. Aku memilih tinggal di apartemen sederhana dari uang hasil jual rumah.“Jadi, mas Reza memintamu jadi istrinya?”“Iya,” jawabku. Ibu syok mendengarkan kejujuranku. Dari pada masalahnya akan panjang, mendingan aku jujur saja. “Bagaimana kalo kamu benaran suka? Ibu mah setuju saja. Ingat Bulan, Mas Reza banyak bantu kita. Belum lagi, dia nolongin kamu waktu ada mas Bayu.”“Dia lelaki baik,” puji ibu. Kata ibu, Mas Reza adalah menantu idolanya. Setelah gagal berumah tangga, aku
“Kamu kok nggak pernah telepon ibu sih?” tanya ibu Sandi. Aku yang sedang menemani Hannah main tersetak kaget saat perempuan paruh baya itu tiba-tiba berada di sampingku. “Anu itu …,” “Apa si Reza kejam yah?” kekehnya. Aku menggelengkan kepala dengan cepat. “Nggak kok bu, dia baik. Alhamdulillah.” “Kalian sudah nikah kok kayak kaku sih?” tanyanya lagi. Aku tersenyum saja, bingung harus berkata apa. Malam ini, aku terpaksa menginap di rumah Mas Reza. Pukul delapan malam, lelaki kanebo itu akhirnya datang. Dia menatapku dengan sangat lama, sepertinya dia sedang memastikan bahwa aku baik-baik saja seharian ini. “Res, sekali-kali ajak Bulan ke Ausiee, saudaramu di sana pasti rindu, mau lihat ipar baru,” kekehnya. Aku berjalan di belakang Mas Reza saat lelaki itu masuk ke dalam kamar. Aku terus mengikutinya. “Nanti lah bu, lagi pula Reza lagi sibuk,” jawabnya. Hannah bermain dengan ibu Niam. Untuk memperkuat peranku, aku mengambil tas Mas Reza dan membantunya melepaskan dasi.
Yuni tertawa terbahak-bahak mendengarkan penjelasanku. Dia tidak menyangka jika aku akan menjadi istri pura-pura dari lelaki kanebo seperti pak Reza.“Sudah, jangan tertawa lagi.”“Aku malu, aku bingung. Takdir benar-benar mempermainkanku!”“Sudah, jangan sesali keputusan ini, Bulan,” cetusnya“Kamu tahu nggak, banyak tuh yang mau jadi kekasih atau istri dari pak Reza. Lihat aja kalo jadwal prakteknya, semua pasiennya wanita muda. Banyak juga yang pura-pura sakit buat ketemu pak Reza.”“Bahkan ada loh yang lamar pak Reza terang-terangan. Pokoknya dia tuh udah kayak artis di rumah sakit!”“Siapa coba yang nggak mau sama dia? Udah kaya, baik, sholeh mana penyanyang anak-anak. Pokoknya pak Reza tuh definisi duda keren lah!” gumamnya.“Tapi dia menyebalkan,” ucapkuku kesal.“Aku ke kantor hanya tiga hari saja.”“Mengjengkelkan,” umpatku.Yuni mengesap teh hangatnya. “Ya sudah, jangan sesali Bulan. Dia baik, mau tolong kamu kan? Belum lagi perhatiannya.”“Aduh, kalo aku sih itu langsung mel
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya