Mas Bayu pagi-pagi buta sudah menghampiriku. Dia segera memelukku namun secepat mungkin ku hempaskan tubuhnya agar menjauh. “Pergi!” “Bulan,” panggilnya. Aku menggelengkan kepala. Pandanganku tajam menatapnya. Mas Bayu menangis di hadapanku. Aku sangat membencinya. Sungguh, aku benar-benar membenci dirinya. “Aku merasakan kehilangan juga Bulan.” “Apa kamu menganggap, hanya kamu yang kehilangan?” Aku membuang pandangan. Demi apapun, saat ini aku tidak ingin melihatnya. “Pergi!” “Pergi mas!” teriakku frustasi. Mas Bayu menggeleng. “Bulan, aku tidak ingin pergi! Demi apapun, aku tidak ingin pergi dari sini!” Aku terus memberontak. Ibu Fauzi berpangku tangan di depan pintu. “Sudahlah Bayu, apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi.” “Toh, Bulan sudah melaporkan Zahrani. Aku anggap ini sudah setimpal.” Aku memandangi wanita tua itu dengan pandangan tajam. “Bulan, jangan terlalu berlebihan tentang hidupmu." “Kandungannya sangat lemah. Aku katakan kepadamu, Bulan. Jangan
Menyandang status janda, tidak mudah bagiku. Ibu kerap kali mendapatkan pertanyaan dari tentanga mengenai urusan rumah tanggaku. Mereka menyalahkanku karena terlalu mudah mengiyakan ajakan mas Bayu untuk menikah waktu itu. Katanya, aku salah pilih orang. Aku dimanfaatkan. Ya memang benar, mas Bayu memanfaatkanku. Aku kehilangan harta, aku kehilangan banyak hal. Ada juga yang membenarkan tindakan mas Bayu dengan dalil, seorang lelaki ingin memiliki istri yang subur. Ah, menjengkelkan sekali. Hanya persoalan memiliki anak, dia meninggalkanku dengan mudah. Kehadiran Mas Reza dan Yuni bagaikan penyelamat di hidupku. Awalnya, aku berencana membuat kedai kue cokelat, namun aku gagal. Aku belum terbiasa terjun di dunia bisnis. Mas Reza yang menganggapku gila memberikan pekerjaan kepadaku dengan dalil akan selalu mengawasi perkembaganku. Aku tentu saja tidak membenarkan ucapannya. Siapa yang gila? Aku nggak gila? Memang benar jika aku pernah memiliki niatan untuk bunuh diri. Tapi benar
“Ummi, mau ikut bersama kami?” “Kok ummi pisah dari Daddy sih?” Aku menatap wajah gadis itu dengan ekspresi tidak percaya. Ya ampun, mulutnya begitu lancar menyebutku dengan nama ummi. Dia melipat tangannya sambil menatapku. “Hmm.” “Itu … aku bukan ummimu, aku …,” “Daddy bilang kalo kamu adalah ummiku.” “Jadi siapa ummiku?” Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Sari datang sambil membuka mulutnya. Dia terkejut, gadis kecil itu sudah berada di ruanganku. “Kok bisa sama kamu sih?” “Tadi dibawah sama Mas Reza ke sini.” “Tuh, lihat kan, Mas Reza tuh suka sama kamu, Bulan,” kekehnya. Tiara duduk di sampingku. Aku mengaruk kepala yang tidak gatal. Gadis kecil itu terus menatapku. “Ayo ummi.” “Cepat, kita mau ke rumah!” rengeknya manja. Sari hanya bisa tersenyum. “Aku balik lebih awal dulu yah, soalnya harus jaga bocah ini.” “Gaji nggak dipotong kan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Siip deh, gajinya aman kok,” kekehku. Aku mengendong Hanna setelah mengambil tasku di ruangan. Mas R
Aku menerima tawaran gila itu. Aku akan berpura-pura menjadi istri dari Mas Reza. Ya Tuhan, nasibku benar-benar tragis saat ini.Aku duduk sambil merenung. Sore ini setelah pulang dari rumah mas Reza, aku mampir ke rumah ibu sebelum ke apartemen. Alasan mengapa aku tidak tinggal dengan ibu dan ayah karena para tetangga akan menanyakan mengenai hubunganku dengan mas Bayu. Ibu dan ayah berniat untuk tinggal di Bandung. Kami punya satu rumah di sana. Demi menjaga kewarasa ayah dan ibu. Kami akan pindah ke Bandung. Aku memilih tinggal di apartemen sederhana dari uang hasil jual rumah.“Jadi, mas Reza memintamu jadi istrinya?”“Iya,” jawabku. Ibu syok mendengarkan kejujuranku. Dari pada masalahnya akan panjang, mendingan aku jujur saja. “Bagaimana kalo kamu benaran suka? Ibu mah setuju saja. Ingat Bulan, Mas Reza banyak bantu kita. Belum lagi, dia nolongin kamu waktu ada mas Bayu.”“Dia lelaki baik,” puji ibu. Kata ibu, Mas Reza adalah menantu idolanya. Setelah gagal berumah tangga, aku
“Kamu kok nggak pernah telepon ibu sih?” tanya ibu Sandi. Aku yang sedang menemani Hannah main tersetak kaget saat perempuan paruh baya itu tiba-tiba berada di sampingku. “Anu itu …,” “Apa si Reza kejam yah?” kekehnya. Aku menggelengkan kepala dengan cepat. “Nggak kok bu, dia baik. Alhamdulillah.” “Kalian sudah nikah kok kayak kaku sih?” tanyanya lagi. Aku tersenyum saja, bingung harus berkata apa. Malam ini, aku terpaksa menginap di rumah Mas Reza. Pukul delapan malam, lelaki kanebo itu akhirnya datang. Dia menatapku dengan sangat lama, sepertinya dia sedang memastikan bahwa aku baik-baik saja seharian ini. “Res, sekali-kali ajak Bulan ke Ausiee, saudaramu di sana pasti rindu, mau lihat ipar baru,” kekehnya. Aku berjalan di belakang Mas Reza saat lelaki itu masuk ke dalam kamar. Aku terus mengikutinya. “Nanti lah bu, lagi pula Reza lagi sibuk,” jawabnya. Hannah bermain dengan ibu Niam. Untuk memperkuat peranku, aku mengambil tas Mas Reza dan membantunya melepaskan dasi.
Yuni tertawa terbahak-bahak mendengarkan penjelasanku. Dia tidak menyangka jika aku akan menjadi istri pura-pura dari lelaki kanebo seperti pak Reza.“Sudah, jangan tertawa lagi.”“Aku malu, aku bingung. Takdir benar-benar mempermainkanku!”“Sudah, jangan sesali keputusan ini, Bulan,” cetusnya“Kamu tahu nggak, banyak tuh yang mau jadi kekasih atau istri dari pak Reza. Lihat aja kalo jadwal prakteknya, semua pasiennya wanita muda. Banyak juga yang pura-pura sakit buat ketemu pak Reza.”“Bahkan ada loh yang lamar pak Reza terang-terangan. Pokoknya dia tuh udah kayak artis di rumah sakit!”“Siapa coba yang nggak mau sama dia? Udah kaya, baik, sholeh mana penyanyang anak-anak. Pokoknya pak Reza tuh definisi duda keren lah!” gumamnya.“Tapi dia menyebalkan,” ucapkuku kesal.“Aku ke kantor hanya tiga hari saja.”“Mengjengkelkan,” umpatku.Yuni mengesap teh hangatnya. “Ya sudah, jangan sesali Bulan. Dia baik, mau tolong kamu kan? Belum lagi perhatiannya.”“Aduh, kalo aku sih itu langsung mel
Serasa Tuhan menunjukan lemah lembutnya kepadaku. Kedatangan pak Reza cukup menghibur diriku. Sesampai di rumah, dia dengan cepat turun dari mobil dan berlari ke arahku. Dia membuka pintu untukku.“Saya kira kamu tidur, soalnya diam saja di samping saya tadi.”Aku turun dan hendak membantunya mengangkat belajaan. “Tidak usah, kamu masuk duluan, biar saya yang angkat,” jelasnya. Aku hanya bisa mengangguk patuh.Kami masuk ke dalam rumah. Ibu Sandi menyambut kami dengan senyuman hangat. Hannah yang melihatku segera berlari meninggalkan bibi Niam.”“Ummi!”“Ummi sudah pulang? Hannah rindu, besok jangan pergi lagi yah.”“Daddy, jangan pergi lagi dong sama ummi,” ucapnya. Aku tersenyum dan membawahnya ke dalam pelukanku.“Nggak akan pergi lagi sayang,” jawabku. Satu ciuman mendarat di pipiku. Hannah sangat suka menciumku. Kata ayahnya, itu bentuk kasih saya Hannah. Pak Reza lah yang selalu mengajari Hannah berbuat seperti itu.Aku menemani pak Reza masak di dapur. Katanya hari ini dia ingin
Hidup lagi berat-beratnya namun Allah malah mempertemukan aku dengan pak Reza. Pagi ini seperti biasa, aku mempersiapkan segala keperluannya. “Saya suka nasi goreng buatanmu tadi,” ucapnya tiba-tiba. Aku menoleh dan memandanginya. Dia sudah rapi di depan pintu.“Saya suka rasanya.”“Bisa buatkan saya setiap hari?” sambungnya. Setiap hari? Gila aja kalo makan nasi goreng tiap hari, apa nggak kolestrol tuh? Pikirku. Dia berdiri di belakangku dan terus menatapku. Apesnya, nyonya Sandi juga berada di situ. Jadi aku tidak bisa berbuat apapun. Nanti bisa-bisa aku dicap menantu durhaka.“Iya masku,” jawabku. Mendengarkan sebutan mas, wajahnya memerah. Lucu sekali, seperti kepiting rebus.Nyonya Sandi tersipu malu. “Aku suka loh kamu gombal si Reza itu, habisnya dari dulu jadi kanebo, pantas aja nggak ada cewek yang suka dia,” gerutu ibu Sandi. Aku hanya bisa tersenyum. Pak Reza berjalan menuju mobilnya. “Saya akan jemput kamu nanti, jadwal ke kantor hanya Senin Rabu, jadi kamu nggak perl