Jantungku berdetak lebih cepat. Aku semakin panik saat ibu menangis di telepon. “Ibu, tenang, aku akan ke sana!” Yuni menemaniku ke rumah sakit. Dia tidak ingin aku sendiri. “Sudah Bulan, jangan panik!” Seketika tanganku mendadak dingin. Aku takut terjadi sesuatu kepada ayah. Sesampai di rumah, ku lihat ayah meringis kesakitan. Ibu segera menghampiriku. “Kok bisa jatuh sih Bu?” Dengan isak tangisan, ibu segera memelukku. “Ayahmu kaget, tadi dia melihat mas Bayu bersama istri keduanya, jadi dia marah. Ayahmu belum bisa menahan amaranya, Bulan.” Aku memandangi ayah yang juga sedang menatapku. “Yah, mengapa ayah masih memikirkan mas Bayu? Bulan akan cerai dengannya!” suaraku parau. Aku menangis mengingat ayah. Hatinya pasti sangat terluka. “Bulan, ayah sakit melihatnya.” Aku menatap Yuni yang berusaha menenangkanku. “Bawah ayahmu ke rumah sakit, bawah ke Rumah sakit Wijaya, di sana biar aku yang mengatasinya.” Aku mengangguk setuju. Beberapa warga membantu kami membawah ayah.
Aku menatap Mas Reza yang sedang memandangiku secara serius. Aku tidak tahu jika lelaki itu adalah dokter spesialis kejiwaan. Pantas saja saat aku hendak bunuh diri, dia terus menungguku di depan mobilnya. Mungkin dia sengaja memberikanku pekerjaan karena kasihan kepadaku. Atau sedang mengawasiku agar aku tidak nekad lagi. “Duduklah!” perintahnya. Aku terus memperhatikan wajahnya yang terlihat dingin seketika. Aku tidak mengerti secara jelas, bagaimana sifat lelaki itu. “Bayu Corp, apakah itu perusahaan milik suamimu?” tanyanya. Aku menganggukan kepala secepat mungkin. Memang benar adanya. Perusahaan itu adalah milik mas Bayu. Bergerak di bidang property. “Ya,” sahutku agar semakin jelas. “Oke, aku akan batalkan kerja sama," jawabnya singkat. Aku mengerutkan kening mendengarkan ucapannya. “Maksud pak Reza, bagaimana?” “Lelaki itu datang ke hadapanku tadi pagi, memohon agar tender ini dimenangkan oleh perusahaan mereka. Aku membatalkan secara sepihak,” ucapnya. Aku semakin tid
Bekerja dengan mas Reza tidak terlalu sulit. Aku harus menginput beberapa data pasien ke komputer dan mengirimkannya kepada sekretaris mas Reza. Ya, pekerjaan ini seharusnya dikerjakan oleh sekretarisnya saja. Tapi entahlah, aku juga bingung, mengapa dia memberikan pekerjaan yang sangat mudah ini kepadaku?Awalnya, aku pikir dia akan menyuruhku mencari klien atau sejenisnya. Tapi ternyata salah. Seperti pagi ini, aku datang pukul tujuh dan segera berjalan menuju ruanganku. Semua orang memandangiku saat masuk ke loby rumah sakit. “Mbak Bulan?” “Bukankah mbak Bulan istri dari mas Bayu yah?” Aku menyipitkan mata menatap perempuan itu. Wajahnya tidak asing. Tapi aku lupa, di mana aku pernah melihatnya. Aku menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum. “Aku Tiara, kenalan mas Bayu.” Aku mengangkat salah satu alisku memandanginya. Aku tersenyum. Sejujurnya ingin sekali aku mengakhiri pembicaraan ini lalu segera pergi. Namun perempuan itu malah menarik tanganku. “Ku dengar, mas Bayu ni
Setelah menyelesaikan pekerjaan yang rumit ini, aku bergegas untuk pulang. Yuni mengikuti Mas Reza ke ruang operasi. Aku tidak tahu Yuni akan lama pulang atau tidak. Aku mengambil sebotol air mineral. Aku menatap Zahrani dari kaca spion. Perempuan itu tiba-tiba datang ke rumah sakit. Buruh-buruh aku menutup botol itu dan berjalan saat langkahnya dengan cepat membuka pintu mobil dengan sembarangan. “Mbak Bulan!”“Keluar!” perintahnya. Aku menoleh dan menatapnya dengan kening berkerut. “Loh, kamu bisa di sini bagaimana?”“Ini mobil aku, tidak selayaknya kamu seenak jidat seperti ini!” tegurku. Aku berusaha setenang mungkin. Aku tidak mengerti mengapa dia tersulut emosi. Mengapa dia tiba-tiba hadir di hadapanku. “Mbak!” teriaknya di hadapanku. Aku memandanginya sambil berkacak pingang. “Mas Bayu ingin menceraikanku, kamu tahu kan, aku dan mas Bayu sudah jatuh cinta dari lama!”“Ambil saja lelaki itu, aku tidak suka!” jawabku. Zahrani mulai geram. Dia mengepal tangannya dan hampir
Mas Bayu pagi-pagi buta sudah menghampiriku. Dia segera memelukku namun secepat mungkin ku hempaskan tubuhnya agar menjauh. “Pergi!” “Bulan,” panggilnya. Aku menggelengkan kepala. Pandanganku tajam menatapnya. Mas Bayu menangis di hadapanku. Aku sangat membencinya. Sungguh, aku benar-benar membenci dirinya. “Aku merasakan kehilangan juga Bulan.” “Apa kamu menganggap, hanya kamu yang kehilangan?” Aku membuang pandangan. Demi apapun, saat ini aku tidak ingin melihatnya. “Pergi!” “Pergi mas!” teriakku frustasi. Mas Bayu menggeleng. “Bulan, aku tidak ingin pergi! Demi apapun, aku tidak ingin pergi dari sini!” Aku terus memberontak. Ibu Fauzi berpangku tangan di depan pintu. “Sudahlah Bayu, apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi.” “Toh, Bulan sudah melaporkan Zahrani. Aku anggap ini sudah setimpal.” Aku memandangi wanita tua itu dengan pandangan tajam. “Bulan, jangan terlalu berlebihan tentang hidupmu." “Kandungannya sangat lemah. Aku katakan kepadamu, Bulan. Jangan
Menyandang status janda, tidak mudah bagiku. Ibu kerap kali mendapatkan pertanyaan dari tentanga mengenai urusan rumah tanggaku. Mereka menyalahkanku karena terlalu mudah mengiyakan ajakan mas Bayu untuk menikah waktu itu. Katanya, aku salah pilih orang. Aku dimanfaatkan. Ya memang benar, mas Bayu memanfaatkanku. Aku kehilangan harta, aku kehilangan banyak hal. Ada juga yang membenarkan tindakan mas Bayu dengan dalil, seorang lelaki ingin memiliki istri yang subur. Ah, menjengkelkan sekali. Hanya persoalan memiliki anak, dia meninggalkanku dengan mudah. Kehadiran Mas Reza dan Yuni bagaikan penyelamat di hidupku. Awalnya, aku berencana membuat kedai kue cokelat, namun aku gagal. Aku belum terbiasa terjun di dunia bisnis. Mas Reza yang menganggapku gila memberikan pekerjaan kepadaku dengan dalil akan selalu mengawasi perkembaganku. Aku tentu saja tidak membenarkan ucapannya. Siapa yang gila? Aku nggak gila? Memang benar jika aku pernah memiliki niatan untuk bunuh diri. Tapi benar
“Ummi, mau ikut bersama kami?” “Kok ummi pisah dari Daddy sih?” Aku menatap wajah gadis itu dengan ekspresi tidak percaya. Ya ampun, mulutnya begitu lancar menyebutku dengan nama ummi. Dia melipat tangannya sambil menatapku. “Hmm.” “Itu … aku bukan ummimu, aku …,” “Daddy bilang kalo kamu adalah ummiku.” “Jadi siapa ummiku?” Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Sari datang sambil membuka mulutnya. Dia terkejut, gadis kecil itu sudah berada di ruanganku. “Kok bisa sama kamu sih?” “Tadi dibawah sama Mas Reza ke sini.” “Tuh, lihat kan, Mas Reza tuh suka sama kamu, Bulan,” kekehnya. Tiara duduk di sampingku. Aku mengaruk kepala yang tidak gatal. Gadis kecil itu terus menatapku. “Ayo ummi.” “Cepat, kita mau ke rumah!” rengeknya manja. Sari hanya bisa tersenyum. “Aku balik lebih awal dulu yah, soalnya harus jaga bocah ini.” “Gaji nggak dipotong kan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Siip deh, gajinya aman kok,” kekehku. Aku mengendong Hanna setelah mengambil tasku di ruangan. Mas R
Aku menerima tawaran gila itu. Aku akan berpura-pura menjadi istri dari Mas Reza. Ya Tuhan, nasibku benar-benar tragis saat ini.Aku duduk sambil merenung. Sore ini setelah pulang dari rumah mas Reza, aku mampir ke rumah ibu sebelum ke apartemen. Alasan mengapa aku tidak tinggal dengan ibu dan ayah karena para tetangga akan menanyakan mengenai hubunganku dengan mas Bayu. Ibu dan ayah berniat untuk tinggal di Bandung. Kami punya satu rumah di sana. Demi menjaga kewarasa ayah dan ibu. Kami akan pindah ke Bandung. Aku memilih tinggal di apartemen sederhana dari uang hasil jual rumah.“Jadi, mas Reza memintamu jadi istrinya?”“Iya,” jawabku. Ibu syok mendengarkan kejujuranku. Dari pada masalahnya akan panjang, mendingan aku jujur saja. “Bagaimana kalo kamu benaran suka? Ibu mah setuju saja. Ingat Bulan, Mas Reza banyak bantu kita. Belum lagi, dia nolongin kamu waktu ada mas Bayu.”“Dia lelaki baik,” puji ibu. Kata ibu, Mas Reza adalah menantu idolanya. Setelah gagal berumah tangga, aku