Reza Pov Mardiah kecelakaan dan entahlah, apa dia membohongiku atau tidak. Aku pun tidak mengerti. Dengan cepat ku lajukan mobil sedan itu membelai dinginnya malam. Aku ingat benar bagaimana wajah khawatir dari Bulan dan aku merasa bersalah meninggalkannya sekarang. Entah mengapa, aku malah menuju rumah sakit untuk menemui wanita yang telah menghianatiku. Sesampai di loby, suster Dira menghampiriku. “Nyonya Mardiah …,” “Ya, aku tahu!” ucapku. Dengan cepat aku menuju ruang UGD. Ada dokter Dimas yang sedang menangganinya. Aku menunggu di luar. Beberapa saat, dokter Dimas keluar. Dia tersenyum memandangiku. “Dia terjatuh di kamar mandi.” “Terjatuh?” Bola mataku terbelalak. Bukannya dia kecelakaan? Dokter Dimas berlalu, dengan cepat aku masuk ke ruang UGD sebelum dirinya dipindahkan ke ruang perawatan. Senyuman terukir di wajahnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang. “Sorry, Rez.” “Aku bingung harus ngabarin kamu seperti apa.” “Aku panik di kamar mandi, eh malah jatuh.” Aku berd
Bulan Pov Mas Reza sangat menyukai ikan bakar dan hari ini, dibantu ibu mertua yang sangat baik, aku membuatkan ikan bakar untuknya. Seperti biasa, Hannah akan duduk tenang di meja makan sambil memandangiku. “Ummi hebat, pintar masak,” pujinya. Entah sudah berapa kali dia mengatakan hal itu kepadaku. “Bulan, kamu kan mau ke rumah sakit. Nggak usah ajak Hannah. Nggak baik. Kamu pergi sendiri yah.” “Nggak mau ibu kalo Mardiah dan Hannah bertemu. Ibu nggak suka loh,” gumamnya. Aku mengangguk. “Ya, Bu.” Aku bersiap diri berangkat ke rumah sakit. Karena hari ini mas Reza akan lembur, makanya aku menyiapkan makanan yang banyak untuknya. Dia juga mengirimkan pesan romantis. Aku senang menerima pesan cintanya setiap saat. Aku berangkat ke rumah sakit Bunda ditemani supir keluarga bernama pak Eman. Dia sudah bekerja di rumah ini selama 6 tahun. “Non tuh perhatian banget sama bapak.” “Beda banget sama bu Mardiah, selalunya sibuk,” ucapnya. Aku hanya bisa tersenyum sambil memandang
Entah mengapa aku menjadi takut seketika. Wanita itu meminta kembali. Rasanya mimpi burukku seakan terwujud. Aku pernah gagal dan mas Reza adalah bagian terpenting di hidupku yang sangat sempurna. Aku tidak akan membiarkannya bersama wanita yang sejak awal tidak menerima putrinya sendiri. Aku terus memikirkan hal itu hingga aku berdiri di kursi tempat mas Reza berada tadi. Aku memandanginya. “Apa kamu mendengarkannya?” Aku mengangguk. “Ya.” Dia menunduk sambil menyeka air mata yang menetes. “Maafkan aku.” “Buat apa?” balasku dengan cepat. Dia tidak memiliki salah kepadaku. Namun, dia memiliki salah kepada mantan suaminya dan putrinya. Setelah bertahun-tahun pergi dan kini datang dalam keadaan yang terpuruk, dia meminta kembali. Oh Tuhan, apa dia tidak pernah berpikir? Bagaimana mas Reza bersusah payah mencarinya selama ini? Aku duduk dengan tenang, mencoba menguasai diriku yang ingin marah kepadanya. “Aku masih mencintainya.” “Tapi dia tidak mencintaimu lagi Mbak,” balasku deng
Setelah makan malam bersama, aku meminta izin kepada mas Reza untuk mengunjungi Hannah di kamarnya. Aku memandangi gadis itu. Dia sedang bermain. Aku berjalan mendekatinya. “Ummi kemana saja?” tanyanya. Dia menatapku dengan sangat lama. Tadi, sebelum mengantarnya ke kamar, aku berjanji akan menemaninya bermain. Namun mas Reza mengajakku untuk berbicara sebentar mengenai Mardiah. “Ummi bisa bicara dengan Hannah?” Gadis kecil itu terlihat bingung. “Bicara aja ummi, tidak masalah.”Aku duduk di sampingnya. Ku pandangi dia dengan sangat lama. “Besok, ummi mau ajak Hannah ke rumah sakit, apa boleh?” Aku tersenyum sambil mengusap pipinya yang lucu. Melihat Hannah, gadis itu seperti pak Reza.“Loh, kok Hannah di bawah ke rumah sakit? Kan Hannah nggak sakit.” “Apa abi sakit?” sambungnya. Kami duduk di tepi ranjang berdua. Aku mengendongnya. “Nggak, abi sehat-sehat aja.”“Ummi mau mempertemukan Hannah dengan seseorang, apa boleh? Ummi minta izin nih,” kekehku. Dia masih terlihat bingun
Aku menunggu mas Reza. Lelaki itu pulang pukul sebelas malam. Dia menatapku dengan pandangan sendu. “Banyak pasien yah?” “Apa ada urusan mendadak?” tanyaku. Aku melepaskan dasi yang berada di lehernya. Wajah mas Reza benar-benar terlihat lelah. Dia duduk di meja kerja sambil mengusap kepalanya. “Hannah sudah tidur?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Besok, biar aku yang mengantar dia ke apartemen Mardiah, Mas.” “Iya, maaf yah merepotkanmu, Bulan.” Aku tersenyum sambil duduk di sampingnya. Aku mengengam tangannya dan memandanginya secara lekat. “Ini sudah menjadi tugasku Mas. Mas nggak usah khawatir yah.”Aku mengelus pipinya. “Mas mau bersihkan badan dulu.” Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi. Aku terus menunggunya di tepi tempat tidur. Beberapa hari ini mas Reza terlihat lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Pukul sebelas malam, dia membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku memandanginya dengan sangat lama. Wajahnya terlihat lelah. Aku
Aku sama sekali tidak membalas pesan dari mas Bayu. Saat berada di rumah, kebetulan sekali mas Reza pulang lebih awal. Aku menceritakan bagaimana mas Bayu mulai menerorku. Aku tidak tahu apa yang diinginkan lelaki itu.Dengan cepat mas Reza mengambil ponselku. Dia menghubungi mas Bayu. Aku tidak mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Tampaknya mas Reza sangat marah. Setelah menghubungi mas Bayu, Mas Reza memberikan ponselnya kembali. Dia segera masuk ke dalam kamar.“Rez!” Ibu Sandi turun dari lantai dua. Saat melihat Reza berjalan menuju kamar, dia segera memanggilnya. Mas Reza menoleh dan berjalan menuju ibu Sandi.“Ibu mau bicara. Masalah Mardiah.”“Ini serius.”“Bulan, kamu juga harus ikut!” ibu Sandi menatapku. Aku menganggukan kepala. “Iya Ibu.”Aku mengekor di belakang mas Reza. Ibu Sandi membawah kami ke ruang keluarga. Kami duduk di tempat itu. Untung saja Hannah sudah terlelap tidur lebih awal. Selama di mobil, dia sangat mengantuk.“Gini.” Ibu Sandi menarik napas dal
Apa yang paling menakutkan di dunia ini? Gagal menikah untuk kedua kalinya. Aku berusaha untuk mengubur ingatan buruk tentang mas Bayu dan Zahrani. Aku berusaha menjauh darinya. Tapi, entah mengapa kehadiran Mardiana seakan membuatku ketakutan setengah mati. Ini tidak mudah bagiku, sungguh ini bukan hal yang mudah. “Sayang, nanti Mas yang jemput kalian.”“Kamu tenang saja yah sayang.” Mas Reza mengelus kepalaku dengan lembut. Dia menatapku. Kami sedang menemani Hannah jalan-jalan bersama. “Kalo sudah puas di taman, mas nanti jemput.”“Hari ini nggak sibuk?” tanyaku sebelum mas Reza pergi. “Nggak sayangku, mas nggak sibuk. Lagi pula, nggak masalah kalo aku menemani kamu dan Hannah.”Mas Reza berlalu. Hannah terlihat bahagia. Bibi Niam tidak ikut karena dia harus menemani ibu Sandi di rumah. Di taman itu, Hannah berlari ke kiri dan ke kanan. Dia tampak ceria. Gadis selucu Hannah, bagaimana bisa dilupakan oleh ibunya sendiri?“Ummi, Hannah bisa ke taman bunga itu tidak?”“Boleh dong s
Mas Bayu mendekat. Dengan cepat aku mengambil gelas yang berada di atas meja. Di dalam kamar itu, ada dua gelas. Sepertinya mas Bayu memiliki teman yang menginap di kamar ini. Aku sengaja memecahkan gelas yang berada di tanganku agar aku bisa menakuti mas Bayu dengan ujungnya yang tajam. Berhasil, dia mundur saat aku mengarahkan potongan gelas itu ke wajahnya. “Kamu mendekat, aku akan membunuhmu!” ancamku. Mas Bayu menghentikan langkahnya. Dia tersenyum. “Kamu tidak akan bisa melakukannya kepadaku, Bulan. Kamu mencintaiku, bukan?” Aku berjalan ke arah mas Bayu sambil mengancamnya dengan gelas yang telah pecah. Dia sedikit ketakutan. “Aku akan membunuhmu!” ucapku. Tanganku bergetar. Air mataku luruh. Apapun yang terjadi, aku tidak akan mempersilahkan iblis itu menyentuhku. Tidak, tidak akan! Mas Bayu mengambil sebuah kabel yang sudah terbuka. Dia berjalan ke arahku. “Jika seperti itu, kita akan mati bersama, Bulan.” Aku memperhatikan kabel yang berada di tangan mas Bayu. Kabel
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya