Aku menunggu mas Reza. Lelaki itu pulang pukul sebelas malam. Dia menatapku dengan pandangan sendu. “Banyak pasien yah?” “Apa ada urusan mendadak?” tanyaku. Aku melepaskan dasi yang berada di lehernya. Wajah mas Reza benar-benar terlihat lelah. Dia duduk di meja kerja sambil mengusap kepalanya. “Hannah sudah tidur?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Besok, biar aku yang mengantar dia ke apartemen Mardiah, Mas.” “Iya, maaf yah merepotkanmu, Bulan.” Aku tersenyum sambil duduk di sampingnya. Aku mengengam tangannya dan memandanginya secara lekat. “Ini sudah menjadi tugasku Mas. Mas nggak usah khawatir yah.”Aku mengelus pipinya. “Mas mau bersihkan badan dulu.” Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi. Aku terus menunggunya di tepi tempat tidur. Beberapa hari ini mas Reza terlihat lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Pukul sebelas malam, dia membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku memandanginya dengan sangat lama. Wajahnya terlihat lelah. Aku
Aku sama sekali tidak membalas pesan dari mas Bayu. Saat berada di rumah, kebetulan sekali mas Reza pulang lebih awal. Aku menceritakan bagaimana mas Bayu mulai menerorku. Aku tidak tahu apa yang diinginkan lelaki itu.Dengan cepat mas Reza mengambil ponselku. Dia menghubungi mas Bayu. Aku tidak mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Tampaknya mas Reza sangat marah. Setelah menghubungi mas Bayu, Mas Reza memberikan ponselnya kembali. Dia segera masuk ke dalam kamar.“Rez!” Ibu Sandi turun dari lantai dua. Saat melihat Reza berjalan menuju kamar, dia segera memanggilnya. Mas Reza menoleh dan berjalan menuju ibu Sandi.“Ibu mau bicara. Masalah Mardiah.”“Ini serius.”“Bulan, kamu juga harus ikut!” ibu Sandi menatapku. Aku menganggukan kepala. “Iya Ibu.”Aku mengekor di belakang mas Reza. Ibu Sandi membawah kami ke ruang keluarga. Kami duduk di tempat itu. Untung saja Hannah sudah terlelap tidur lebih awal. Selama di mobil, dia sangat mengantuk.“Gini.” Ibu Sandi menarik napas dal
Apa yang paling menakutkan di dunia ini? Gagal menikah untuk kedua kalinya. Aku berusaha untuk mengubur ingatan buruk tentang mas Bayu dan Zahrani. Aku berusaha menjauh darinya. Tapi, entah mengapa kehadiran Mardiana seakan membuatku ketakutan setengah mati. Ini tidak mudah bagiku, sungguh ini bukan hal yang mudah. “Sayang, nanti Mas yang jemput kalian.”“Kamu tenang saja yah sayang.” Mas Reza mengelus kepalaku dengan lembut. Dia menatapku. Kami sedang menemani Hannah jalan-jalan bersama. “Kalo sudah puas di taman, mas nanti jemput.”“Hari ini nggak sibuk?” tanyaku sebelum mas Reza pergi. “Nggak sayangku, mas nggak sibuk. Lagi pula, nggak masalah kalo aku menemani kamu dan Hannah.”Mas Reza berlalu. Hannah terlihat bahagia. Bibi Niam tidak ikut karena dia harus menemani ibu Sandi di rumah. Di taman itu, Hannah berlari ke kiri dan ke kanan. Dia tampak ceria. Gadis selucu Hannah, bagaimana bisa dilupakan oleh ibunya sendiri?“Ummi, Hannah bisa ke taman bunga itu tidak?”“Boleh dong s
Mas Bayu mendekat. Dengan cepat aku mengambil gelas yang berada di atas meja. Di dalam kamar itu, ada dua gelas. Sepertinya mas Bayu memiliki teman yang menginap di kamar ini. Aku sengaja memecahkan gelas yang berada di tanganku agar aku bisa menakuti mas Bayu dengan ujungnya yang tajam. Berhasil, dia mundur saat aku mengarahkan potongan gelas itu ke wajahnya. “Kamu mendekat, aku akan membunuhmu!” ancamku. Mas Bayu menghentikan langkahnya. Dia tersenyum. “Kamu tidak akan bisa melakukannya kepadaku, Bulan. Kamu mencintaiku, bukan?” Aku berjalan ke arah mas Bayu sambil mengancamnya dengan gelas yang telah pecah. Dia sedikit ketakutan. “Aku akan membunuhmu!” ucapku. Tanganku bergetar. Air mataku luruh. Apapun yang terjadi, aku tidak akan mempersilahkan iblis itu menyentuhku. Tidak, tidak akan! Mas Bayu mengambil sebuah kabel yang sudah terbuka. Dia berjalan ke arahku. “Jika seperti itu, kita akan mati bersama, Bulan.” Aku memperhatikan kabel yang berada di tangan mas Bayu. Kabel
Aku tidak bisa berbuat apapun. Selama di perjalanan, mas Bayu terus memperhatikan gerak-gerikku. Aku yakin, lelaki itu sudah gila sekarang. “Aku ingin menjualmu, Bulan,” ucapnya. “Berada di Jakarta, aku tidak akan aman. Suamimu akan menggunakan uangnya untuk mencarimu. Tentu saja, dia akan membunuhku.” “Brengsek! Lelaki gila,” teriakku. “Berapa yang kau butuhkan? Mas Reza akan membayarnya,” jawabku dengan cepat. Mas Bayu tertawa. “Dia tidak akan sanggup, Bulan. Suami barumu tidak akan memberikanmu uang sebanyak itu. Aku butuh puluhan milyar,” seru mas Bayu. “Zahrani tidak ingin tinggal bersamaku lagi. Pekerjaanku hancur. Aku ingin memulai bisnis namun modalku telah habis. Zahrani menipuku. Sekarang, kau akan membawahkan modal besar untukku,” ucapnya sambil tertawa. Di dalam mobil itu, aku tidak bisa bersuara. Wanita asing yang sejak tadi duduk di sampingku menutup mulutku dengan lakban. Bahkan bergerak pun terasa sangat sulit. Aku tidak menyangka jika selama ini aku telah m
Aku terjebak di negara orang dan sebentar lagi mantan suamiku akan menjualku. Lelaki gila itu benar-benar iblis. Bagaimana bisa aku bersama seorang iblis?Aku memaki diriku sendiri saat ini. Aku terus menangis dan bingung harus berbuat apa sekarang. Pintu terbuka, ku lihat Zelin sudah berganti pakaian. Dia berjalan ke arahku. “Dua jam lagi, kita akan makan malam di bawah. Sebaiknya kau ganti bajumu!” perintahnya. Ada dua dayang yang sedang berdiri di kiri kanannya. Kedua wanita itu segera membantuku berganti pakaian. “Bulan, berhenti menangis. Kami butuh uang dan kau harus melakukan itu. Apa kau tidak ingat? Semua tender yang ditanggani Bayu gagal total karena dirimu. Dia terpuruk. Apa kau tidak tahu, hutangnya bertaburan dimana-mana,” serunya kesal. Seharusnya aku yang marah. Tentu saja itu salah mas Bayu bukan salahku. Mengapa dia selalu menyalahkanku atas perselingkuhannya dengan Zahrani? Mengapa bukan Zahrani saja yang menjadi korbannya saat ini. Hatiku terasa sangat sakit. Ak
Reza POV Aku menemukan Hannah di loby apartemen. Seorang wanita menghubungiku dan menyuruhku menuju apartemen. Saat sampai, aku melihat Hannah sedang menangis. Aku segera mengendong putriku dengan perasaan cemas. “Apa Bulan ada?” tanyaku kepada mereka. Namun, tidak ada yang mengetahui Bulan dimana. Aku panik bukan main. Seharusnya Bulan berada di apartemen ini, namun dia tidak berada dimana pun. Aku segera menghubungi Fandi untuk mencari Bulan di seluruh apartemen. Namun tidak ada yang berhasil menemukan Bulan. Aku frustasi. Aku benar- Mardiah datang. Wanita itu sudah dua hari berada di rumah. Ibu sangat marah saat Mardiah menginjakan kaki di rumah kami. “Kan ada aku sekarang,” serunya sambil duduk di sampingku. Aku masih berusaha menghubungi Bulan. Namun teleponnya sama sekali tidak aktif. “Bisa saja, dia kembali dengan mantan suaminya. Apa kamu tidak pernah merasa jika Bulan itu aneh?” Aku tidak mengubris ucapan Mardiah. Saat i
\ Reza Pov Mas Richard dan beberapa tim dari kepolisian melakukan investigasi di kediaman Zahrani. Menurut penuturan mas Richard, Zahrani telah terbunuh seminggu yang lalu. Belum diketahui motif pembunuhan tersebut. Hari sudah sore dan aku kembali ke rumah. Dari tadi bibi Niam sibuk menghubungiku. Hannah tidak ingin bersama Mardiah dan wanita itu terus memaksa putrinya untuk ikut bersamanya. Membuat Hannah histeris dan ketakutan di dalam kamar. Sesampai di rumah, Mardiah menyambutku. Senyuman terukir di wajahnya. “Ingat yah, kita sudah pisah. Aku sudah menikah dengan wanita lain. Seharusnya kamu tahu batasan. Berhenti berpakaian tipis seperti ini!” Wajah Mardiah seketika murung. Aku segera menuju kamar Hannah. Di dalam kamar, ada bibi Niam. “Tuan, Hannah nggak mau makan. Lagi cari non Bulan,” ucap bibi Niam melapor. “Ibu sudah pulang?” tanyaku. Bibi Niam menggeleng. “Belum Tuan.” Ibu berjanji tidak ingin tinggal di rumah selama Mardiah ada. Kebencian kepada Mardiah sud