Halo teman-teman, maaf yah aku hampir melupakan cerita ini. Beberapa bulan ini aku sibuk. Semoga kalian tetap setia membacanya. Koment dong biar aku tahu ^^
Mas Bayu mendekat. Dengan cepat aku mengambil gelas yang berada di atas meja. Di dalam kamar itu, ada dua gelas. Sepertinya mas Bayu memiliki teman yang menginap di kamar ini. Aku sengaja memecahkan gelas yang berada di tanganku agar aku bisa menakuti mas Bayu dengan ujungnya yang tajam. Berhasil, dia mundur saat aku mengarahkan potongan gelas itu ke wajahnya. “Kamu mendekat, aku akan membunuhmu!” ancamku. Mas Bayu menghentikan langkahnya. Dia tersenyum. “Kamu tidak akan bisa melakukannya kepadaku, Bulan. Kamu mencintaiku, bukan?” Aku berjalan ke arah mas Bayu sambil mengancamnya dengan gelas yang telah pecah. Dia sedikit ketakutan. “Aku akan membunuhmu!” ucapku. Tanganku bergetar. Air mataku luruh. Apapun yang terjadi, aku tidak akan mempersilahkan iblis itu menyentuhku. Tidak, tidak akan! Mas Bayu mengambil sebuah kabel yang sudah terbuka. Dia berjalan ke arahku. “Jika seperti itu, kita akan mati bersama, Bulan.” Aku memperhatikan kabel yang berada di tangan mas Bayu. Kabel
Aku tidak bisa berbuat apapun. Selama di perjalanan, mas Bayu terus memperhatikan gerak-gerikku. Aku yakin, lelaki itu sudah gila sekarang. “Aku ingin menjualmu, Bulan,” ucapnya. “Berada di Jakarta, aku tidak akan aman. Suamimu akan menggunakan uangnya untuk mencarimu. Tentu saja, dia akan membunuhku.” “Brengsek! Lelaki gila,” teriakku. “Berapa yang kau butuhkan? Mas Reza akan membayarnya,” jawabku dengan cepat. Mas Bayu tertawa. “Dia tidak akan sanggup, Bulan. Suami barumu tidak akan memberikanmu uang sebanyak itu. Aku butuh puluhan milyar,” seru mas Bayu. “Zahrani tidak ingin tinggal bersamaku lagi. Pekerjaanku hancur. Aku ingin memulai bisnis namun modalku telah habis. Zahrani menipuku. Sekarang, kau akan membawahkan modal besar untukku,” ucapnya sambil tertawa. Di dalam mobil itu, aku tidak bisa bersuara. Wanita asing yang sejak tadi duduk di sampingku menutup mulutku dengan lakban. Bahkan bergerak pun terasa sangat sulit. Aku tidak menyangka jika selama ini aku telah m
Aku terjebak di negara orang dan sebentar lagi mantan suamiku akan menjualku. Lelaki gila itu benar-benar iblis. Bagaimana bisa aku bersama seorang iblis?Aku memaki diriku sendiri saat ini. Aku terus menangis dan bingung harus berbuat apa sekarang. Pintu terbuka, ku lihat Zelin sudah berganti pakaian. Dia berjalan ke arahku. “Dua jam lagi, kita akan makan malam di bawah. Sebaiknya kau ganti bajumu!” perintahnya. Ada dua dayang yang sedang berdiri di kiri kanannya. Kedua wanita itu segera membantuku berganti pakaian. “Bulan, berhenti menangis. Kami butuh uang dan kau harus melakukan itu. Apa kau tidak ingat? Semua tender yang ditanggani Bayu gagal total karena dirimu. Dia terpuruk. Apa kau tidak tahu, hutangnya bertaburan dimana-mana,” serunya kesal. Seharusnya aku yang marah. Tentu saja itu salah mas Bayu bukan salahku. Mengapa dia selalu menyalahkanku atas perselingkuhannya dengan Zahrani? Mengapa bukan Zahrani saja yang menjadi korbannya saat ini. Hatiku terasa sangat sakit. Ak
Reza POV Aku menemukan Hannah di loby apartemen. Seorang wanita menghubungiku dan menyuruhku menuju apartemen. Saat sampai, aku melihat Hannah sedang menangis. Aku segera mengendong putriku dengan perasaan cemas. “Apa Bulan ada?” tanyaku kepada mereka. Namun, tidak ada yang mengetahui Bulan dimana. Aku panik bukan main. Seharusnya Bulan berada di apartemen ini, namun dia tidak berada dimana pun. Aku segera menghubungi Fandi untuk mencari Bulan di seluruh apartemen. Namun tidak ada yang berhasil menemukan Bulan. Aku frustasi. Aku benar- Mardiah datang. Wanita itu sudah dua hari berada di rumah. Ibu sangat marah saat Mardiah menginjakan kaki di rumah kami. “Kan ada aku sekarang,” serunya sambil duduk di sampingku. Aku masih berusaha menghubungi Bulan. Namun teleponnya sama sekali tidak aktif. “Bisa saja, dia kembali dengan mantan suaminya. Apa kamu tidak pernah merasa jika Bulan itu aneh?” Aku tidak mengubris ucapan Mardiah. Saat i
\ Reza Pov Mas Richard dan beberapa tim dari kepolisian melakukan investigasi di kediaman Zahrani. Menurut penuturan mas Richard, Zahrani telah terbunuh seminggu yang lalu. Belum diketahui motif pembunuhan tersebut. Hari sudah sore dan aku kembali ke rumah. Dari tadi bibi Niam sibuk menghubungiku. Hannah tidak ingin bersama Mardiah dan wanita itu terus memaksa putrinya untuk ikut bersamanya. Membuat Hannah histeris dan ketakutan di dalam kamar. Sesampai di rumah, Mardiah menyambutku. Senyuman terukir di wajahnya. “Ingat yah, kita sudah pisah. Aku sudah menikah dengan wanita lain. Seharusnya kamu tahu batasan. Berhenti berpakaian tipis seperti ini!” Wajah Mardiah seketika murung. Aku segera menuju kamar Hannah. Di dalam kamar, ada bibi Niam. “Tuan, Hannah nggak mau makan. Lagi cari non Bulan,” ucap bibi Niam melapor. “Ibu sudah pulang?” tanyaku. Bibi Niam menggeleng. “Belum Tuan.” Ibu berjanji tidak ingin tinggal di rumah selama Mardiah ada. Kebencian kepada Mardiah sud
Bulan Pov Kedua dayang itu mengatakan jika Tuan Takur mencari seorang wanita yang bersedia melahirkan bayi untuknya. Dia sedang mencari istri ke empat. Aku tersentak kaget saat mendengarkan pernyataanya. “Kau akan hidup tenang. Aku tidak akan menganggumu lagi. Anggap saja, ini adalah balasan dari apa yang telah kau lakukan kepadaku, Bulan!” Mas Bayu menghampiriku di dalam kamar. Dia melemparkan sehelai jilbab berwarna biru ke wajahku. Aku berdesisi kesal. Ingin sekali aku membunuh lelaki itu saat ini. Zelin membuka lakban yang ada di mulutku secara kasar. Rasanya sangat perih saat lakban itu ditarik begitu saja. Dari tadi malam, aku terus berteriak agar mereka memperdulikanku. Aku ingin menganggu kedua manusia jahanam itu. Namun sialnya, mereka malah menutup lakban ke mulutkku. “Berhenti membuat kami tidak nyaman, Bulan.” “Besok, tuan Takur akan membawahmu pergi. Jadi, bersiaplah mulai hari ini!” Mas Bayu segera pergi meninggalkanku setelah mengatakan hal itu. Zelin meng
Bulan Pov Aku tinggal di rumah Sali dan Aisha. Kedua wanita itu adalah orang-orang shaleh yang ditakdirkan Tuhan untuk menolongku. Aisha tidak bisa berbicara. Dia terus mengerakan tangannya saat berbicara denganku. Sali yang membantu Aisha untuk berkomunikasi denganku. Awalnya, Aisha lah yang melihatku terkapar di depan pintu mereka. Kedua wanita itu adalah saudara kandung. “Apa kamu ingin makan? Tidak ada pesan dari saudaramu,” ucap Sali. Sore ini, aku duduk di depan jendela. Aku berharap Yuni segera membalas pesan dari Sali. “Serius?” tanyaku kepada Sali. “Ya, dia tidak mengirimkan pesan apapun kepadaku, Bulan. Sepertinya, dia mungkin tidak mengenalku. Jadi, dia tidak ingin membalas,” jelas Sali. Aku semakin cemas. Apa perlu menghubungi Yuni secara langsung? “Apa aku bisa meneleponnya?” tanyaku kepada Sali. Wanita itu menganggukan kepala. “Tentu saja, kamu bisa menghubunginya,” jawabnya. Dengan cepat aku menelepon Yuni. Berharap jika wanita itu segera menemuiku di Turke
Bulan Pov Aisha mengerakan tangannya dan menyuruhku mundur. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin dia menemui Burhan. Nasibnya akan sama seperti Sali. “Jangan lakukan, Aisha.” Aku memohon kepadanya. Aisha menghela napas panjang. Dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertemu Burhan. Di sudut mata Aisha, terlihat ada ketakutan yang amat besar. Aku bisa melihatnya. “Aisha,” pintaku. Aisha mendorongku agar menjauh dari pintu. “Aku bisa menghadapinya. Aku akan membuat kesepakatan agar dia tidak melukai kalian. Aku akan memberikan uang yang banyak agar Burhan tutup mulut. 700 USD adalah angka kecil untuk suamiku,” jelasku kepada Aisha. “Biarkan aku yang menemuinya!” ucapku. Aku memberanikan diri membuka pintu. Aku cemas dengan keadaan Sali. Aisha terus berterika agar aku menghentikan langkahku. Namun, aku sama sekali tidak bisa melakukannya. Aku harus menemui lelaki itu. Aku berjalan menuju Burhan. Lelaki itu tersenyum bahagia memandangiku. “Aku akan memberikanmu uang,
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya