Bulan Pov Aku tinggal di rumah Sali dan Aisha. Kedua wanita itu adalah orang-orang shaleh yang ditakdirkan Tuhan untuk menolongku. Aisha tidak bisa berbicara. Dia terus mengerakan tangannya saat berbicara denganku. Sali yang membantu Aisha untuk berkomunikasi denganku. Awalnya, Aisha lah yang melihatku terkapar di depan pintu mereka. Kedua wanita itu adalah saudara kandung. “Apa kamu ingin makan? Tidak ada pesan dari saudaramu,” ucap Sali. Sore ini, aku duduk di depan jendela. Aku berharap Yuni segera membalas pesan dari Sali. “Serius?” tanyaku kepada Sali. “Ya, dia tidak mengirimkan pesan apapun kepadaku, Bulan. Sepertinya, dia mungkin tidak mengenalku. Jadi, dia tidak ingin membalas,” jelas Sali. Aku semakin cemas. Apa perlu menghubungi Yuni secara langsung? “Apa aku bisa meneleponnya?” tanyaku kepada Sali. Wanita itu menganggukan kepala. “Tentu saja, kamu bisa menghubunginya,” jawabnya. Dengan cepat aku menelepon Yuni. Berharap jika wanita itu segera menemuiku di Turke
Bulan Pov Aisha mengerakan tangannya dan menyuruhku mundur. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin dia menemui Burhan. Nasibnya akan sama seperti Sali. “Jangan lakukan, Aisha.” Aku memohon kepadanya. Aisha menghela napas panjang. Dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertemu Burhan. Di sudut mata Aisha, terlihat ada ketakutan yang amat besar. Aku bisa melihatnya. “Aisha,” pintaku. Aisha mendorongku agar menjauh dari pintu. “Aku bisa menghadapinya. Aku akan membuat kesepakatan agar dia tidak melukai kalian. Aku akan memberikan uang yang banyak agar Burhan tutup mulut. 700 USD adalah angka kecil untuk suamiku,” jelasku kepada Aisha. “Biarkan aku yang menemuinya!” ucapku. Aku memberanikan diri membuka pintu. Aku cemas dengan keadaan Sali. Aisha terus berterika agar aku menghentikan langkahku. Namun, aku sama sekali tidak bisa melakukannya. Aku harus menemui lelaki itu. Aku berjalan menuju Burhan. Lelaki itu tersenyum bahagia memandangiku. “Aku akan memberikanmu uang,
Bulan Pov Aku duduk termenung di dalam kamar. Pikiranku hanya mengenai Sali. Bagaimana keadaanya? Apa lelaki jahat itu sudah mengobatinya? Klek! Pintu terbuka. Mas Bayu masuk. Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Senyuman mas Bayu lebih mirip seperti iblis. “Aku akan membunuhmu!” ucapku kepada mas Bayu. Mas Bayu tertawa terbahak-bahak. Dia berpikir jika apa yang aku katakan hanya lelucon semata. Mas Bayu berjalan mendekatiku. Jemarinya menyentuh daguku. “Lepaskan aku!” ucapku kepadanya. Mas Bayu menggeleng. “Tidak, kau harus di sini. Kau adalah uang bagiku, Bulan. Zahrani menolakku. Dia tidak ingin aku hidup miskin. Ya sudah, aku membunuhnya!” Bola mataku terbelalak saat lelaki sialan itu mengatakan telah membunuh Zahrani. “Kau tega melakukannya? Kau tega melakukan itu kepada wanita yang telah …,” “Dia berbohong kepadaku, Bulan!” potongnya segera. Aku menunduk. Tubuhku terasa lemas. Zahrani telah meninggal di tangannya. Jadi, dia benar-benar iblis? “Lepaskan aku!” ucapku.
Bulan POV Aku dan Yuni kembali ke apartemen. Perasaanku saat ini cukup tenang. Aku tidak lagi takut seperti hari-hari sebelumnya. Mas Reza juga terlihat lebih stabil dariku. Mas Richard dan semua saksi sudah mengatakan jika mas Reza tidak bersalah. Namun karena Tuan Takur terbunuh, Keluarga dari lelaki kaya raya itu tidak terima semua pernyataan mas Reza. Harus ada yang menjadi pelaku dalam penyerangan ini. “Bulan, ada yang mau ketemu, bisa nggak?” Yuni tampak tegang menatapku. Tidak seperti biasanya. “Siapa?” tanyaku. “Itu loh, Mardiah. Dia mau ketemu, apa bisa?” “Mardiah?” Aku terkejut. Apa wanita itu mengejar kami sampai ke Turkey. Jika seperti itu, siapa yang menemani Hanna di Indonesia. “Dia sudah ada di apartemen. Dia mendesakku untuk ikut bertemu denganmu. Apa bisa?” Aku terdiam. Untuk saat ini, aku tidak ingin bertemu dengannya. Mardiah adalah orang yang sangat menjengkelkan. “Gimana Bulan?” tanyanya dengan cepat. “Nggak.” “Tapi dia mau bantu kita loh,” desak Y
Bulan POV Aku melihat Mardiah tengah duduk di ruang tunggu apartemen. Aku mempercepat langkahku untuk menemuinya. Sali dan Aisha ingin bertemu dengan mas Reza juga. Mereka berdua ingin mengucapkan terima kasih. Yuni mendampingiku. Sejak tadi malam, Yuni mengatakan jika Mardiah terlihat aneh. Kami memiliki perasaan yang sama. Mardiah tidak sepenuhnya tulus menolong. Dia menginginkan banyak hal di dalam masalah ini. “Bulan?” Mas Reza berjalan cepat menghampiriku. Air mataku sama sekali tidak tertahankan. Aku segera memeluknya dan menangis. “Bulan,” ucap mas Reza. Dia mengecup pipiku dan memelukku lagi. “Mas, mas, aku benar-benar bingung, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.” Aku mengengam kedua tangannya dan sekarang aku sama sekali tidak ingin lepas dari sisinya. Mas Reza mengajak kami menuju apartemen Mardiah. Mardiah mengekor di belakang kami. Wanita itu terdiam cukup lama. Aku tidak tahu, apa yang ada di pikirannya saat ini. Aku juga tidak tahu, apa yang sebenar
Hari-hariku sangat sepi saat Hannah sudah pergi bersama Mardiah. Bukan hanya aku yang sedih namun ibu Sandi ikut sedih. Mertuaku itu selalu mengurung diri di dalam kamar. Kata mas Reza, ibu tidak ingin makan karena memikirkan Hannah. Pagi ini, aku memberanikan diri berdiri di depan kamarnya. Dengan pelan, aku mengetuk pintu kamar ibu Sandi. Berharap dia segera keluar dan berbicara denganku. “Ibu,” panggilku. “Bulan, bujuk Reza agar dia membawah Hannah kembali ke rumah!” ucapnya dari dalam kamar. “Iya Bu, tapi ibu makan dulu yah,” sahutku. Dia tidak menjawab. “Bulan, biarkan saja. Nanti ibu keluar kok.” Mas Reza menghampiriku. Aku memandanginya dengan perasaan kalud. Aku bingung harus berbuat apa sekarang. Suara Hannah tidak terdengar lagi di rumah kami. Hanya gadis kecil itu yang membuat rumah ini terasa hidup. “Apa Mardiah hanya membawah Hannah setahun, Mas? Aku cemas,” ucapku kepada mas Reza. “Bulan, saat kita di Turkey. Dia hanya meminta itu. Jadi, mas setuju. Lebih baik kita
“Siapa sih itu, Non?”“Kok datang-datang langsung minta uang 100 juta sih?” Bibi Niam segera menghampiriku. Dia terkejut bukan main. “Dulu, di aitu mertua saya, Bibi Niam. Mantan suami saya lagi di rumah sakit. Dia terlibat penculikan.”“Seharusnya udah dipenjara dong, kok datang-datang mau minta uang 100 juta, nggak tahu malu aja!” protes bibi Niam. Aku tersenyum. “Ya, seharusnya putranya masuk penjara. Tapi karena lagi sakit, saya tidak taku prosedur selanjutnya, Bi.”“Saya istirahat dulu, Bi!” ucapku kepada bibi Niam. Aku segera berjalan menuju kamar. Rupanya mas Reza sudah menghubungiku sebanyak dua kali. Aku segera meneleponnya. “Mau makan siang apa? Kok nggak diangkat teleponnya sih sayang?” tanyanya. “Tadi ada ibu Fauzi, Mas.”“Ibu dari mas Bayu?” tanya mas Reza dengan cepat. Aku ragu-ragu untuk menjawab. “Bulan, lain kali kalo dia datang. Nggak usah ditemui. Mas sudah tahu tujuannya. Nggak usah ditemuin lagi yah, sayang.”“Iya mas,” jawabku. “Mas sebentar lagi sampai,” s
Pagi ini, aku mengatakan kepada mas Reza ingin mengantar ibu ke apartemen Mardiah. Mas Reza tidak menjawab. Jadi, aku menyimpulkan jika dia ingin. Aku tidak tega melihat ibu mertuaku terus menangis dan memintaku untuk membawah dia bertemu dengan Hannah. “Gimana Bulan?” Bu Sandi menghampiriku. “Sepertinya mas Reza nggak mau, Bu.”“Kita ke sana aja, Bulan. Nggak apa-apa, ibu sudah rindu banget sama Hannah,” desak bu Sandi.“Iya,” jawabku seadanya.Saat sedang bersiap berangkat ke apartemen Mardiah. Ibu Fauzi kemudian datang. Dia tersenyum di depan gerbang dan memaksa bibi Niam untuk membukakan pintu untuknya. Ibu Niam berjalan ke teras rumah untuk membuka pintu. “Udah ada uangnya nggak, Bulan? 100 juta nggak apa-apa deh,” ucapnya dengan cepat. “Nggak ada Bu.”“Loh, kok nggak ada sih Bulan? Ibu minta tolong kok. Ibu akan kembalikan nanti. Tolonglah ibu, Bulan!” desaknya. Bibi Niam terlihat kesal. “Kalo mau minjam, nggak usah maksa, Bu! Non Bulan lagi kena musibah. Itu pun karena an