Bulan POV Aku melihat Mardiah tengah duduk di ruang tunggu apartemen. Aku mempercepat langkahku untuk menemuinya. Sali dan Aisha ingin bertemu dengan mas Reza juga. Mereka berdua ingin mengucapkan terima kasih. Yuni mendampingiku. Sejak tadi malam, Yuni mengatakan jika Mardiah terlihat aneh. Kami memiliki perasaan yang sama. Mardiah tidak sepenuhnya tulus menolong. Dia menginginkan banyak hal di dalam masalah ini. “Bulan?” Mas Reza berjalan cepat menghampiriku. Air mataku sama sekali tidak tertahankan. Aku segera memeluknya dan menangis. “Bulan,” ucap mas Reza. Dia mengecup pipiku dan memelukku lagi. “Mas, mas, aku benar-benar bingung, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.” Aku mengengam kedua tangannya dan sekarang aku sama sekali tidak ingin lepas dari sisinya. Mas Reza mengajak kami menuju apartemen Mardiah. Mardiah mengekor di belakang kami. Wanita itu terdiam cukup lama. Aku tidak tahu, apa yang ada di pikirannya saat ini. Aku juga tidak tahu, apa yang sebenar
Hari-hariku sangat sepi saat Hannah sudah pergi bersama Mardiah. Bukan hanya aku yang sedih namun ibu Sandi ikut sedih. Mertuaku itu selalu mengurung diri di dalam kamar. Kata mas Reza, ibu tidak ingin makan karena memikirkan Hannah. Pagi ini, aku memberanikan diri berdiri di depan kamarnya. Dengan pelan, aku mengetuk pintu kamar ibu Sandi. Berharap dia segera keluar dan berbicara denganku. “Ibu,” panggilku. “Bulan, bujuk Reza agar dia membawah Hannah kembali ke rumah!” ucapnya dari dalam kamar. “Iya Bu, tapi ibu makan dulu yah,” sahutku. Dia tidak menjawab. “Bulan, biarkan saja. Nanti ibu keluar kok.” Mas Reza menghampiriku. Aku memandanginya dengan perasaan kalud. Aku bingung harus berbuat apa sekarang. Suara Hannah tidak terdengar lagi di rumah kami. Hanya gadis kecil itu yang membuat rumah ini terasa hidup. “Apa Mardiah hanya membawah Hannah setahun, Mas? Aku cemas,” ucapku kepada mas Reza. “Bulan, saat kita di Turkey. Dia hanya meminta itu. Jadi, mas setuju. Lebih baik kita
“Siapa sih itu, Non?”“Kok datang-datang langsung minta uang 100 juta sih?” Bibi Niam segera menghampiriku. Dia terkejut bukan main. “Dulu, di aitu mertua saya, Bibi Niam. Mantan suami saya lagi di rumah sakit. Dia terlibat penculikan.”“Seharusnya udah dipenjara dong, kok datang-datang mau minta uang 100 juta, nggak tahu malu aja!” protes bibi Niam. Aku tersenyum. “Ya, seharusnya putranya masuk penjara. Tapi karena lagi sakit, saya tidak taku prosedur selanjutnya, Bi.”“Saya istirahat dulu, Bi!” ucapku kepada bibi Niam. Aku segera berjalan menuju kamar. Rupanya mas Reza sudah menghubungiku sebanyak dua kali. Aku segera meneleponnya. “Mau makan siang apa? Kok nggak diangkat teleponnya sih sayang?” tanyanya. “Tadi ada ibu Fauzi, Mas.”“Ibu dari mas Bayu?” tanya mas Reza dengan cepat. Aku ragu-ragu untuk menjawab. “Bulan, lain kali kalo dia datang. Nggak usah ditemui. Mas sudah tahu tujuannya. Nggak usah ditemuin lagi yah, sayang.”“Iya mas,” jawabku. “Mas sebentar lagi sampai,” s
Pagi ini, aku mengatakan kepada mas Reza ingin mengantar ibu ke apartemen Mardiah. Mas Reza tidak menjawab. Jadi, aku menyimpulkan jika dia ingin. Aku tidak tega melihat ibu mertuaku terus menangis dan memintaku untuk membawah dia bertemu dengan Hannah. “Gimana Bulan?” Bu Sandi menghampiriku. “Sepertinya mas Reza nggak mau, Bu.”“Kita ke sana aja, Bulan. Nggak apa-apa, ibu sudah rindu banget sama Hannah,” desak bu Sandi.“Iya,” jawabku seadanya.Saat sedang bersiap berangkat ke apartemen Mardiah. Ibu Fauzi kemudian datang. Dia tersenyum di depan gerbang dan memaksa bibi Niam untuk membukakan pintu untuknya. Ibu Niam berjalan ke teras rumah untuk membuka pintu. “Udah ada uangnya nggak, Bulan? 100 juta nggak apa-apa deh,” ucapnya dengan cepat. “Nggak ada Bu.”“Loh, kok nggak ada sih Bulan? Ibu minta tolong kok. Ibu akan kembalikan nanti. Tolonglah ibu, Bulan!” desaknya. Bibi Niam terlihat kesal. “Kalo mau minjam, nggak usah maksa, Bu! Non Bulan lagi kena musibah. Itu pun karena an
Aku mengirimkan pesan kepada mas Reza. Aku bertanya, apakah Hannah menyukai bonekanya atau tidak? Namun Mas Reza sama sekali tidak membalasnya. Aku mulai cemas. “Non Bulan.”“Ibu itu datang lagi, Non!”Bibi Niam berlari ke arahku. Aku sedang berada di dalam kamar. Merias wajahku untuk menyambut mas Reza. Akhir-akhir ini aku suka merias wajahku. Sejam lagi, dia akan pulang. Namun sampai sekarang, ponselku sama sekali tidak dibalasnya. “Non.” Deru napas bibi Niam berkejaran. Dia tampak kelelahan di depan pintu. Aku beranjak dari tempat duduk lalu bergegas menghampirinya. “Ibu Fauzi?” tanyaku. Bibi Niam mengangguk. “Ya Non, dia ada di depan.”“Katanya, mau bertemu non Bulan lagi. Apa kita panggil satpam kompleks aja yah?” tanya bibi Niam. Aku berjalan menuju pintu depan. Di sana, sudah ada ibu Fauzi beserta keranjang pasar miliknya. “Usir aja Non. Orang nggak tahu diri. Masa datang-datang pinjam uang 100 juta sih. Nggak mood banget, Non.“Aku berjalan menuju ibu Fauzi. Dia segera mem
Mardiah POV “Mommy, aku ingin bertemu dengan Ummi Bulan. Aku ingin bertemu dengan Ummi!” teriak Hannah. Teriakan itu selalu membuatku sakit kepala. “Hannah, sampai kapan kamu selalu mengatakan itu kepada Ummi. Ummi sangat bosan!” Aku menutup kedua telingaku saat mendengarkan Hannah terus menyebut nama Bulan. Hampir tiap hari dia menyebut nama wanita itu. “Mommy jahat!” Saat aku selesai membentaknya, Hannah akan menangis dan berlari menuju kamarnya. Sejak kapan Bulan mendidiknya seperti ini? Sekarang putriku menjadi gadis kecil yang nakal. Aku mengejarnya hingga ke kamar. Hannah bersembunyi di belakang pintu. Dia tidak ingin melihatku. Aku kesal dengan sikapnya yang seperti ini. “Hanna, keluar dulu. Mommy mau bicara. Mommy itu ibu kandung kamu. Mengapa sih harus mencari perempuan lain?” Hannah tidak menjawab. Terdengar suara tangisan di dalam kamarnya. Dia selalu melakukan hal itu jika aku memarahinya. Hannah menjadi gadis pembangkang di tangan Bulan. Aku benar-benar tidak
Mardiah POV 2 Pagi ini, Hannah sangat rewel. Semalam aku membentaknya sehingga pagi ini dia tidak ingin sarapan bersamaku. “Aku mau bertemu ummi Bulan. Mommy sangat jahat!” ucapnya. Bulan dan Bulan. Hampir tiap hari telingaku diisi dengan nama Bulan. “Ya, nanti kamu bertemu dengan ibu tirimu itu. Aneh saja kamu Hannah, apa bagusnya Bulan?” tanyaku. Hannah tidak menjawab. “Habiskan makanannya, kita akan jalan-jalan!” ucapku. Hannah menatapku dengan pandangan tajam. Aku ibu kandungnya. Aku yang melahirkan dia. Mengapa Hannah malah mencari Bulan? Setelah makan, aku membawah Hannah ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Tidak lupa, aku menghubungi mas Reza. Aku bertanya kepadanya, kapan mas Reza ke sini lagi. Aku berharap, dia rutin untuk datang ke rumah. Jika Bulan cemburu, mereka akan bertengkar. Setidaknya, Bulan sakit kepala karena kehadiranku. Aku suka jika dia cemburu berat. “Mas?” Aku menghubungi mas Reza. “Hmm, ada apa?” jawabnya datar. Seperti biasa, dia sep
Bulan tampak ragu dengan ajakanku. Namun, aku yakin perlahan dia akan paham jika Hannah butuh kasih sayang dari keluarga utuh. Aku terus mengulang jika bayinya akan mendapatkan kasih sayang yang utuh dari mas Reza. Hannah, putriku hanya ingin waktu lebih lama bersama mas Reza sebelum bayinya lahir. Aku kembali ke rumah bersama suster dan Hannah. Di jalan, Hannah terus rewel. Dia tidak suka karena Bulan pergi begitu saja. “Mommy kok jahat sih?” ucapnya. Dia menatapku dengan tatapan dingin. “Mommy adalah mommy kandung kamu. Seharusnya kamu lebih bersikap sopan!” tegurku. Hannah menangis saat aku membentaknya. Dia tidak menatapku lagi. Aku semakin kesal dengan sikap nakalnya itu. Sesampai di rumah. Aku menghubungi mas Reza. Lagi-lagi, aku ingin mengajaknya bertemu. Aku sudah meminta Bulan untuk mengizinkan suaminya itu. “Mas,” ucapku dengan cepat saat telepon diangkat olehnya. “Ada apa lagi, Mar? Aku sibuk. Hannah kenapa lagi? Nakal samamu? Apa dia tidak ingin bersamamu? Seharu