Bulan POV Di rumah, aku harap-harap cemas menunggu kepulangan mas Reza. “Bulan, Reza udah pulang nggak?” Ibu Sandi berlari ke arah kamar dan bertanya mengenai mas Reza. Apa dia sudah pulang bersama Mardiah atau belum. Ibu Sandi akan marah jika putranya memilih menginap di apartemen wanita itu. Berkali-kali ibu Sandi mengatakan jika dia tidak suka jika mas Reza berdekatan dengan wanita siluman itu. Ya, ibu Sandi mengatakan jika Mardiah adalah wanita siluman yang harus dilenyapkan. “Belum bu, tapi katanya udah di jalan. Dia nggak nginap kok,” jawabku. “Syukurlah Bulan. Jangan sampai Reza terlena sama Mardiah. Ibu tahu, bagaimana perjuangan Reza untuk melupakan wanita iblis itu,” ucapnya. Ibu Sandi pergi. Dia berjalan menuju kamarnya. Aku menghela napas panjang. Meskipun ibu mertuaku sangat menyanyangiku dan mendukungku. Aku hanya takut jika mas Reza sama seperti mas Bayu. Mas Reza mengatakan jika dirinya berbeda dan aku berusaha menyakinkan diriku jika mas Reza dan mas Bayu
Pagi ini, aku menemani mas Reza menuju rumah sakit. Aku ingat tadi malam kami sedang merenguk madu bersama. Aku malu-malu memandangi wajahnya sekarang. Mas Reza tentu melakukannya dengan hati-hati karena aku lagi hamil. Setiap aku takut, mas Reza akan berusaha menyakinkanku. Seperti tadi malam, dia terus membisikan kata-kata cinta di telingaku sambil mencium bibirku. “Sebenarnya keluarga Zahrani ingin segera memasukan Bayu ke dalam penjara. Rupanya, keluarga Zahrani tidak tahu jika mas Bayu telah menikah dengan putrinya,” jelas mas Reza. Kami sedang berangkat ke rumah sakit. “Mas Bayu juga melakukan kekerasan fisik kepada Zahrani.” “Mas tahu dari mana?” tanyaku. “Mas Richard lagi memperdalam kasusnya, sayang.” Sesampai di rumah sakit, aku dan mas Reza segera ke ruang perawatan mas Bayu. Di depan pintu, ibu Fauzi terlihat. Dia tersenyum saat aku datang. “Bulan, pasti kamu nggak bisa meninggalkan Bayu selamanya. Kamu ingin melihatnya bukan?” Dia menghampiriku sambil mengeng
Di kampung, Retno menjadi guru TK. Dia berhenti kuliah saat semester dua karena kesulitan ekonomi. Mendengarkanku datang dari Jakarta, dia segera menemuiku. Ibu dan ayah punya rumah di Jakarta. Namun, setelah bercerai dengan mas Bayu, ibu dan ayah kembali ke Bandung untuk beristirahat. Mereka tidak ingin berurusan dengan ibu Fauzi. Karena selama ini, ibu Fauzi selalu menemui ayah dan berteriak di hadapan ayah. “Ada loh cerita-cerita di kampung tentang wanita yang jadi mantan istri tapi balik lagi ke suaminya. Nggak takut kamu, Bulan? Apalagi kalo kamu tinggal di kampung, jauh dari suami,” ucap Retno. Aku malas mendengarkannya. Ingin mengusir Retno, namun aku tidak tega. “Usst, nggak mungkin suamiku seperti itu. Dia beda sama mas Bayu. Nggak usah takut-takutin aku, Retno. Nggak efek!” cibirku. Retno menatapku. “Bulan, aku hanya nggak mau kamu jadi janda untuk kedua kalinya. Nggak enak banget sih,” gumamnya. Aku berjalan keluar dari dalam kamar. Retno mengikutiku. Ibu sedang meny
Aisha dan Sali mengirimkan pesan kepadaku. Mereka memulai bisnis fashion di Turkey. Sali dan Aisha suka mengambar. Bisnis pakaian mereka bukan hanya menjual pakaian, namun Sali dan Aisha juga menjual desain pakaian yang telah mereka rancang.Aku terkejut saat Sali mengatakan akan ke Indonesia bersama Aisha. Aku setuju. Dia harus hidup tenang tanpa pantauan Burhan. Burhan hanya dikenakan denda uang atas perbuatannya.Tidak adil sekali. Lelaki itu masih bebas memantau Sali dan Aisha meskipun sekarang mereka beda rumah.“Aku akan menjemputmu di bandara,” ucapku bersemangat.“Terima kasih Bulan, aku ingin mengikuti acara fashion di Jakarta. Aku tertarik melihat fashion di Indonesia,” ucap Sali melalui sambungan telepon.“Aisha jadi ikut kan?” tanyaku memastikan. Aku ingin Aisha ikut karena wanita itu butuh refresing juga. Musibah yang terjadi di Turkey membuat kami kelelahan secara mental dan fisik.“Ya,” jawab Sali.“Minggu depan aku akan sampai. Kamu bisa membantuku mencari hotel bukan?
Saat baru saja turun dari mobil, beberapa laki-laki segera menyapa mas Reza. Aku berdiri di belakang mas Reza dan memperhatikan mereka semua.“Ini istri barunya?” ucap salah seorang. Aku tidak tahu siapa namanya. Dia tampak akrab dengan mas Reza. Penampilannya sangat rapi. Dia sedikit berbisik ke arah mas Reza.Mas Reza menatapku lalu tersenyum. “Namanya Bulan!” ucapnya memperkenalkan. Mereka saling pandang dan takjub.“Jago juga si Reza cari istri,” kekehnya.“Apa sih Gan, makanya cari istri juga,” balas mas Reza. Aku menunduk malu. Saat di perjalanan tadi, aku membayangkan sebuah pesta reunian yang ramai. Ternyata pesta reunian ini lebih tepatnya seperti makan malam biasa.Ada lima sahabat mas Reza yang sudah memenuhi meja undangan. “Hanya mereka?” bisikku. Mas Reza menganggukan kepala.“Ya, ini hanya pertemuan biasa, Bulan. Nggak spesial banget sih,” kekeh mas Reza. Aku tersenyum.Laki-laki bernama Gani menatap mas Reza. “Gandis katanya nggak datang, dia lagi sibuk,” ucap laki-laki
“Dia selalu ada di hatiku. Dia selalu menjadi orang spesial di hatiku, Bulan. Aku bingung harus berbuat apa,” ucapnya pasrah.Mardiah terus menangis di hadapanku.“Mardiah, apa kamu paham? Mas Reza tidak ingin kembali lagi. Sejauh apapun kamu berjuang, dia tidak menginginkanmu lagi. Jadi berhentilah!” jelasku.Dia memelukku dengan cepat. Aku tersentak kaget. Air matanya semakin mengalir deras di dalam pelukanku.“Bulan, aku mohon. Aku menginginkannya.” Mardiah mengengam kedua tanganku. Dia sedikit memaksa kali ini.“Mar, aku sudah katakan kepadamu. Jangan menganggu hidupku dengan mas Reza. Aku lelah menjelaskan hal ini kepadamu, Mar. Apa kamu paham?”Aku sedikit meninggikan suaraku.“Tapi Bulan, aku benar-benar nggak bisa tanpa mas Reza. Apa bisa dia bertemu denganku. Sekali saja. Aku akan menjelaskan kepadanya mengenai perasaanku ini. Aku akan jelaskan kepadanya apa yang akan aku lakukan.”Aku menggeleng dengan cepat.“Mar, aku nggak bisa.”“Mas Reza akan semakin membencimu. Hanya ke
Malam itu, kami mengundang mas Gani datang makan malam. Aku mengatakan kepada Aisha dan Sali jika sahabat mas Reza juga kebetulan hadir. Jadi, Sali tidak curiga jika ini adalah pertemuan khusus untuknya.“Lelah nggak di perjalanan?” tanyaku basa-basi. Sali bercerita jika ini adalah kali pertamanya dia berpergian jauh bersama Aisha.“12 jam, cukup melelahkan, Bulan. Tapi semua baik-baik saja, alhamdulillah,” ucap Sali.Aku menatap Aisha. Aisha hanya bisa tersenyum karena dia tidak bisa berbicara. Sesekali dia menunjukan gerakan tangannya.“Aisha, bahagia?” tanyaku. Aisha mengangguk. Senyumannya selalu menawan.“Besok, salah satu supir mas Reza akan menemani kalian ke Jakarta Selatan. Jadi, santai saja yah. Semua perlengkapan akan kami sediakan,” ucapku.“Makasih yah Bulan,” ucap Sali terharu.Acara makan malam diadakan pukul delapan malam setelah sholat Isya. Sali antusias dengan masakan Indonesia. Aku baru tahu, jika nenek mereka juga berasal dari Indonesia. Sali tidak sepenuhnya oran
Mardiah pergi begitu saja tanpa pemberitahuan kami. Mardiah mengatakan kepadaku bahwa dia ingin mengajak Hannah untuk menetap di Australia. Jika dia terlalu lama di Indonesia, rasa sakit itu akan membekas. Aku tidak mendukungnya untuk membawah Hannah. Hannah terlalu kecil untuk mengikuti ibunya.Apalagi Mardiah selalu keluar malam. Itulah sebabnya aku dan mas Reza tidak mengizinkan dia membawah Hannah.“Kita ke bandara, sebelum pesawatnya berangkat. Harus Mas!” ucapku.Kami segera ke bandara. Seharusnya siang ini aku menemani Sali dan Aisha. Namun, aku katakan kepada mereka jika putri sambungku akan dibawah ke Australia. Sali dan Aisha mengerti keadaanku.Kami melajukan mobil ke bandara Soekarno Hatta. Sesampai di sana, aku dan mas Reza berpencar. Ku harap Mardiah belum sepenuhnya pergi. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan kami.Hak asuh Hannah berada di tangan mas Reza. Mardiah seharusnya menghormati hal itu.“Gimana Mas?”Aku berlari ke arah mas Reza. Mas Reza menggelengkan kepala d