Saat baru saja turun dari mobil, beberapa laki-laki segera menyapa mas Reza. Aku berdiri di belakang mas Reza dan memperhatikan mereka semua.“Ini istri barunya?” ucap salah seorang. Aku tidak tahu siapa namanya. Dia tampak akrab dengan mas Reza. Penampilannya sangat rapi. Dia sedikit berbisik ke arah mas Reza.Mas Reza menatapku lalu tersenyum. “Namanya Bulan!” ucapnya memperkenalkan. Mereka saling pandang dan takjub.“Jago juga si Reza cari istri,” kekehnya.“Apa sih Gan, makanya cari istri juga,” balas mas Reza. Aku menunduk malu. Saat di perjalanan tadi, aku membayangkan sebuah pesta reunian yang ramai. Ternyata pesta reunian ini lebih tepatnya seperti makan malam biasa.Ada lima sahabat mas Reza yang sudah memenuhi meja undangan. “Hanya mereka?” bisikku. Mas Reza menganggukan kepala.“Ya, ini hanya pertemuan biasa, Bulan. Nggak spesial banget sih,” kekeh mas Reza. Aku tersenyum.Laki-laki bernama Gani menatap mas Reza. “Gandis katanya nggak datang, dia lagi sibuk,” ucap laki-laki
“Dia selalu ada di hatiku. Dia selalu menjadi orang spesial di hatiku, Bulan. Aku bingung harus berbuat apa,” ucapnya pasrah.Mardiah terus menangis di hadapanku.“Mardiah, apa kamu paham? Mas Reza tidak ingin kembali lagi. Sejauh apapun kamu berjuang, dia tidak menginginkanmu lagi. Jadi berhentilah!” jelasku.Dia memelukku dengan cepat. Aku tersentak kaget. Air matanya semakin mengalir deras di dalam pelukanku.“Bulan, aku mohon. Aku menginginkannya.” Mardiah mengengam kedua tanganku. Dia sedikit memaksa kali ini.“Mar, aku sudah katakan kepadamu. Jangan menganggu hidupku dengan mas Reza. Aku lelah menjelaskan hal ini kepadamu, Mar. Apa kamu paham?”Aku sedikit meninggikan suaraku.“Tapi Bulan, aku benar-benar nggak bisa tanpa mas Reza. Apa bisa dia bertemu denganku. Sekali saja. Aku akan menjelaskan kepadanya mengenai perasaanku ini. Aku akan jelaskan kepadanya apa yang akan aku lakukan.”Aku menggeleng dengan cepat.“Mar, aku nggak bisa.”“Mas Reza akan semakin membencimu. Hanya ke
Malam itu, kami mengundang mas Gani datang makan malam. Aku mengatakan kepada Aisha dan Sali jika sahabat mas Reza juga kebetulan hadir. Jadi, Sali tidak curiga jika ini adalah pertemuan khusus untuknya.“Lelah nggak di perjalanan?” tanyaku basa-basi. Sali bercerita jika ini adalah kali pertamanya dia berpergian jauh bersama Aisha.“12 jam, cukup melelahkan, Bulan. Tapi semua baik-baik saja, alhamdulillah,” ucap Sali.Aku menatap Aisha. Aisha hanya bisa tersenyum karena dia tidak bisa berbicara. Sesekali dia menunjukan gerakan tangannya.“Aisha, bahagia?” tanyaku. Aisha mengangguk. Senyumannya selalu menawan.“Besok, salah satu supir mas Reza akan menemani kalian ke Jakarta Selatan. Jadi, santai saja yah. Semua perlengkapan akan kami sediakan,” ucapku.“Makasih yah Bulan,” ucap Sali terharu.Acara makan malam diadakan pukul delapan malam setelah sholat Isya. Sali antusias dengan masakan Indonesia. Aku baru tahu, jika nenek mereka juga berasal dari Indonesia. Sali tidak sepenuhnya oran
Mardiah pergi begitu saja tanpa pemberitahuan kami. Mardiah mengatakan kepadaku bahwa dia ingin mengajak Hannah untuk menetap di Australia. Jika dia terlalu lama di Indonesia, rasa sakit itu akan membekas. Aku tidak mendukungnya untuk membawah Hannah. Hannah terlalu kecil untuk mengikuti ibunya.Apalagi Mardiah selalu keluar malam. Itulah sebabnya aku dan mas Reza tidak mengizinkan dia membawah Hannah.“Kita ke bandara, sebelum pesawatnya berangkat. Harus Mas!” ucapku.Kami segera ke bandara. Seharusnya siang ini aku menemani Sali dan Aisha. Namun, aku katakan kepada mereka jika putri sambungku akan dibawah ke Australia. Sali dan Aisha mengerti keadaanku.Kami melajukan mobil ke bandara Soekarno Hatta. Sesampai di sana, aku dan mas Reza berpencar. Ku harap Mardiah belum sepenuhnya pergi. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan kami.Hak asuh Hannah berada di tangan mas Reza. Mardiah seharusnya menghormati hal itu.“Gimana Mas?”Aku berlari ke arah mas Reza. Mas Reza menggelengkan kepala d
Sali tegang saat Gani menatapnya. Dia malu-malu untuk menyampaikan perasaan hatinya. Ada satu hal yang membuat Sali takut yaitu, dia tidak ingin bang Burhan tahu perjodohannya.“Tidak, tidak akan Sali.”“Gani sudah siap menikah, dia dikejar waktu,” kekehku saat Sali terlihat ragu dan curhat kepadaku.Sali ikut tersenyum. Saat dia tersenyum, wajahnya sangat cantik. Sali adalah gadis baik yang aku temukan di Turkey.“Mengenai Aisha, bagaimana?” tanya Sali sedikit cemas. Dia masih memikirkan Aisha. Aku tahu, jika Gani dan Sali menikah. Aisha akan berpisah darinya.“Apa kamu cemas?”Sali menganggukan kepala.“Dia akan paham nantinya,” ucapku.Setelah pertemuan kedua dengan Gani, aku yakin jika Gani menyukai Sali. Aku juga yakin jika perjodohan ini akan berhasil.Aku menjelaskan kepada mas Reza jika Sali tertarik dengan Gani. Mas Reza bahagia. Sahabatnya akan menemukan jodohnya.Aku mengantar Sali dan Aisha menuju apartemen mereka. Di perjalanan, aku membahas mengenai Gani, termaksud profe
Aku dan Sali segera menuju ke tempat mas Gani. Aisha sedang duduk termenung di taman. Gani memaksanya untuk pulang namun wanita itu menolak.Apa dia benar suka sama Gani? Kalo seperti itu, apa aku salah menjodohkan Gani dengan Sali? Di dalam mobil, aku tidak tenang memikirkan hal ini.“Aisha pernah cerita sama kamu?”“Cerita apa, Bulan?”Sali menoleh dan menatapku.“Cerita tentang Gani, apa ada petunjuk kalo dia suka sama Gani. Soalnya pas kita makan di restoran, Aisha tuh nggak mau pindah,” jelasku.Sali terdiam cukup lama.“Sali, apa aku udah salah yah?”“Nggak Bulan, kamu nggak salah. Nanti aku tanya Aisha masalah ini,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Bingung juga dengan semua ini. Jika Aisha menyukai Gani. Dia akan kecewa. Gani tidak menyukainya. Gani hanya tertarik dengan Sali.Sesampai di taman kota, aku berlari ke arah Aisha. Sali mengekor di belakangku. Gani sedang duduk di sampingnya. Mereka berdua terdiam membisu.“Ada apa? Mengapa Aisha di sini? Apa dia culik?” tanyaku
Reza Pov “Jadi, lo nggak suka sama Sali?” Aku menatap Gani yang tengah merenung di dalam ruanganku. Wajahnya menatap ke arah jendela. Sesekali dia menghela napas panjang. Seakan ada beban di dalam dadanya. “Aku sadar kalo Sali itu cantik, baik dan juga sopan, Rez. Tapi entah kenapa, melihat Aisha tuh, aku jadi tertarik.” “Tapi kamu tahu kan Gan, kalo dia …,” “Bisu?” Gani menoleh dan menatapku. Perlahan, dia tersenyum. “Aku tahu Gan, tipikal wanita yang kamu sukai tuh, nggak seperti Aisha. Aku juga tahu, kalo kamu nggak mungkin mau sama dia,” jelasku. Aku mengenal Gani dan aku tahu selera wanita yang disukainya. “Aku melihat Aisha tuh berbeda, Rez. Banyak wanita yang berusaha menarik hatiku. Banyak wanita yang berusaha membuatku jatuh cinta. Tapi, Aisha berbeda.” Gani berdiri lalu berjalan ke arah mejaku. Dia duduk di hadapanku sambil tersenyum. “Saat bertemu dengan Bulan, perasaan kamu bagaimana?” tanyanya. Dia berbalik bertanya kepadaku. “Hmm, biasa aja sih,” jawa
Reza Pov“Aku yakin Rez, lo pasti bisa bantu aku.”“Mohon. aku mohon!”Layla terus menangis di hadapanku. Sesekali dia menyeka air matanya dan menatapku. Aku kasihan kepadanya. Dia wanita baik dan penuh dengan masalah.Tapi menikahinya, aku tidak bisa dan tidak akan melakukannya. Aku sudah memiliki Bulan. Dulu, aku pernah berjanji akan menikahinya, tapi itu dulu. Setelah Mardiah meninggalkanku, hanya Layla yang menjadi teman pelipur lara. Gani adalah saksinya.Masa lalu tetaplah masa lalu. Aku yakin, Layla juga sudah melupakan hal itu. Janji yang dibuat karena aku lagi frustasi akibat Mardiah.“Reza?” panggilnya.“Aku harus pergi, Layla. Kamu mau bertemu Zizi kan? Aku pergi dulu yah!”Aku segera berlari dan menjauh darinya. Aku mempercepat langkah masuk ke ruangan dokter Zizi. Tidak, tidak. Aku tidak akan menyukainya. Aku tidak menginginkannya.“Mas?”Bulan duduk di ruang tunggu dan menatapku. Wajahnya terlihat cemas. “Tadi Bulan nunggu mas Reza di sini. Kok lama banget ketemu temanny