Pagi ini, aku menemani mas Reza menuju rumah sakit. Aku ingat tadi malam kami sedang merenguk madu bersama. Aku malu-malu memandangi wajahnya sekarang. Mas Reza tentu melakukannya dengan hati-hati karena aku lagi hamil. Setiap aku takut, mas Reza akan berusaha menyakinkanku. Seperti tadi malam, dia terus membisikan kata-kata cinta di telingaku sambil mencium bibirku. “Sebenarnya keluarga Zahrani ingin segera memasukan Bayu ke dalam penjara. Rupanya, keluarga Zahrani tidak tahu jika mas Bayu telah menikah dengan putrinya,” jelas mas Reza. Kami sedang berangkat ke rumah sakit. “Mas Bayu juga melakukan kekerasan fisik kepada Zahrani.” “Mas tahu dari mana?” tanyaku. “Mas Richard lagi memperdalam kasusnya, sayang.” Sesampai di rumah sakit, aku dan mas Reza segera ke ruang perawatan mas Bayu. Di depan pintu, ibu Fauzi terlihat. Dia tersenyum saat aku datang. “Bulan, pasti kamu nggak bisa meninggalkan Bayu selamanya. Kamu ingin melihatnya bukan?” Dia menghampiriku sambil mengeng
Di kampung, Retno menjadi guru TK. Dia berhenti kuliah saat semester dua karena kesulitan ekonomi. Mendengarkanku datang dari Jakarta, dia segera menemuiku. Ibu dan ayah punya rumah di Jakarta. Namun, setelah bercerai dengan mas Bayu, ibu dan ayah kembali ke Bandung untuk beristirahat. Mereka tidak ingin berurusan dengan ibu Fauzi. Karena selama ini, ibu Fauzi selalu menemui ayah dan berteriak di hadapan ayah. “Ada loh cerita-cerita di kampung tentang wanita yang jadi mantan istri tapi balik lagi ke suaminya. Nggak takut kamu, Bulan? Apalagi kalo kamu tinggal di kampung, jauh dari suami,” ucap Retno. Aku malas mendengarkannya. Ingin mengusir Retno, namun aku tidak tega. “Usst, nggak mungkin suamiku seperti itu. Dia beda sama mas Bayu. Nggak usah takut-takutin aku, Retno. Nggak efek!” cibirku. Retno menatapku. “Bulan, aku hanya nggak mau kamu jadi janda untuk kedua kalinya. Nggak enak banget sih,” gumamnya. Aku berjalan keluar dari dalam kamar. Retno mengikutiku. Ibu sedang meny
Aisha dan Sali mengirimkan pesan kepadaku. Mereka memulai bisnis fashion di Turkey. Sali dan Aisha suka mengambar. Bisnis pakaian mereka bukan hanya menjual pakaian, namun Sali dan Aisha juga menjual desain pakaian yang telah mereka rancang.Aku terkejut saat Sali mengatakan akan ke Indonesia bersama Aisha. Aku setuju. Dia harus hidup tenang tanpa pantauan Burhan. Burhan hanya dikenakan denda uang atas perbuatannya.Tidak adil sekali. Lelaki itu masih bebas memantau Sali dan Aisha meskipun sekarang mereka beda rumah.“Aku akan menjemputmu di bandara,” ucapku bersemangat.“Terima kasih Bulan, aku ingin mengikuti acara fashion di Jakarta. Aku tertarik melihat fashion di Indonesia,” ucap Sali melalui sambungan telepon.“Aisha jadi ikut kan?” tanyaku memastikan. Aku ingin Aisha ikut karena wanita itu butuh refresing juga. Musibah yang terjadi di Turkey membuat kami kelelahan secara mental dan fisik.“Ya,” jawab Sali.“Minggu depan aku akan sampai. Kamu bisa membantuku mencari hotel bukan?
Saat baru saja turun dari mobil, beberapa laki-laki segera menyapa mas Reza. Aku berdiri di belakang mas Reza dan memperhatikan mereka semua.“Ini istri barunya?” ucap salah seorang. Aku tidak tahu siapa namanya. Dia tampak akrab dengan mas Reza. Penampilannya sangat rapi. Dia sedikit berbisik ke arah mas Reza.Mas Reza menatapku lalu tersenyum. “Namanya Bulan!” ucapnya memperkenalkan. Mereka saling pandang dan takjub.“Jago juga si Reza cari istri,” kekehnya.“Apa sih Gan, makanya cari istri juga,” balas mas Reza. Aku menunduk malu. Saat di perjalanan tadi, aku membayangkan sebuah pesta reunian yang ramai. Ternyata pesta reunian ini lebih tepatnya seperti makan malam biasa.Ada lima sahabat mas Reza yang sudah memenuhi meja undangan. “Hanya mereka?” bisikku. Mas Reza menganggukan kepala.“Ya, ini hanya pertemuan biasa, Bulan. Nggak spesial banget sih,” kekeh mas Reza. Aku tersenyum.Laki-laki bernama Gani menatap mas Reza. “Gandis katanya nggak datang, dia lagi sibuk,” ucap laki-laki
“Dia selalu ada di hatiku. Dia selalu menjadi orang spesial di hatiku, Bulan. Aku bingung harus berbuat apa,” ucapnya pasrah.Mardiah terus menangis di hadapanku.“Mardiah, apa kamu paham? Mas Reza tidak ingin kembali lagi. Sejauh apapun kamu berjuang, dia tidak menginginkanmu lagi. Jadi berhentilah!” jelasku.Dia memelukku dengan cepat. Aku tersentak kaget. Air matanya semakin mengalir deras di dalam pelukanku.“Bulan, aku mohon. Aku menginginkannya.” Mardiah mengengam kedua tanganku. Dia sedikit memaksa kali ini.“Mar, aku sudah katakan kepadamu. Jangan menganggu hidupku dengan mas Reza. Aku lelah menjelaskan hal ini kepadamu, Mar. Apa kamu paham?”Aku sedikit meninggikan suaraku.“Tapi Bulan, aku benar-benar nggak bisa tanpa mas Reza. Apa bisa dia bertemu denganku. Sekali saja. Aku akan menjelaskan kepadanya mengenai perasaanku ini. Aku akan jelaskan kepadanya apa yang akan aku lakukan.”Aku menggeleng dengan cepat.“Mar, aku nggak bisa.”“Mas Reza akan semakin membencimu. Hanya ke
Malam itu, kami mengundang mas Gani datang makan malam. Aku mengatakan kepada Aisha dan Sali jika sahabat mas Reza juga kebetulan hadir. Jadi, Sali tidak curiga jika ini adalah pertemuan khusus untuknya.“Lelah nggak di perjalanan?” tanyaku basa-basi. Sali bercerita jika ini adalah kali pertamanya dia berpergian jauh bersama Aisha.“12 jam, cukup melelahkan, Bulan. Tapi semua baik-baik saja, alhamdulillah,” ucap Sali.Aku menatap Aisha. Aisha hanya bisa tersenyum karena dia tidak bisa berbicara. Sesekali dia menunjukan gerakan tangannya.“Aisha, bahagia?” tanyaku. Aisha mengangguk. Senyumannya selalu menawan.“Besok, salah satu supir mas Reza akan menemani kalian ke Jakarta Selatan. Jadi, santai saja yah. Semua perlengkapan akan kami sediakan,” ucapku.“Makasih yah Bulan,” ucap Sali terharu.Acara makan malam diadakan pukul delapan malam setelah sholat Isya. Sali antusias dengan masakan Indonesia. Aku baru tahu, jika nenek mereka juga berasal dari Indonesia. Sali tidak sepenuhnya oran
Mardiah pergi begitu saja tanpa pemberitahuan kami. Mardiah mengatakan kepadaku bahwa dia ingin mengajak Hannah untuk menetap di Australia. Jika dia terlalu lama di Indonesia, rasa sakit itu akan membekas. Aku tidak mendukungnya untuk membawah Hannah. Hannah terlalu kecil untuk mengikuti ibunya.Apalagi Mardiah selalu keluar malam. Itulah sebabnya aku dan mas Reza tidak mengizinkan dia membawah Hannah.“Kita ke bandara, sebelum pesawatnya berangkat. Harus Mas!” ucapku.Kami segera ke bandara. Seharusnya siang ini aku menemani Sali dan Aisha. Namun, aku katakan kepada mereka jika putri sambungku akan dibawah ke Australia. Sali dan Aisha mengerti keadaanku.Kami melajukan mobil ke bandara Soekarno Hatta. Sesampai di sana, aku dan mas Reza berpencar. Ku harap Mardiah belum sepenuhnya pergi. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan kami.Hak asuh Hannah berada di tangan mas Reza. Mardiah seharusnya menghormati hal itu.“Gimana Mas?”Aku berlari ke arah mas Reza. Mas Reza menggelengkan kepala d
Sali tegang saat Gani menatapnya. Dia malu-malu untuk menyampaikan perasaan hatinya. Ada satu hal yang membuat Sali takut yaitu, dia tidak ingin bang Burhan tahu perjodohannya.“Tidak, tidak akan Sali.”“Gani sudah siap menikah, dia dikejar waktu,” kekehku saat Sali terlihat ragu dan curhat kepadaku.Sali ikut tersenyum. Saat dia tersenyum, wajahnya sangat cantik. Sali adalah gadis baik yang aku temukan di Turkey.“Mengenai Aisha, bagaimana?” tanya Sali sedikit cemas. Dia masih memikirkan Aisha. Aku tahu, jika Gani dan Sali menikah. Aisha akan berpisah darinya.“Apa kamu cemas?”Sali menganggukan kepala.“Dia akan paham nantinya,” ucapku.Setelah pertemuan kedua dengan Gani, aku yakin jika Gani menyukai Sali. Aku juga yakin jika perjodohan ini akan berhasil.Aku menjelaskan kepada mas Reza jika Sali tertarik dengan Gani. Mas Reza bahagia. Sahabatnya akan menemukan jodohnya.Aku mengantar Sali dan Aisha menuju apartemen mereka. Di perjalanan, aku membahas mengenai Gani, termaksud profe
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya