Sandy duduk dengan gelisah di hadapan Airin. Mantan istrinya itu masih terus menunggu, setiap kalimat yang akan meluncur dari bibir laki-laki yang pernah mengisi hatinya dengan jutaan bunga warna-warni. Namun akhirnya, dengan kakinya sendiri, taman bunga yang tumbuh dengan subur itu diinjak-injaknya sampai mati. “Airin. Aku yakin, kau pasti mengenal Tania? Perempuan itu telah mengikat janji pertunangan dengan Adrian. Itu sebabnya, tolong jaga nama baik keluarga Keenan. Adrian tidak boleh meninggalkan Tania hanya untuk bersamamu.” “Aku tidak pernah meminta Adrian untuk berada di sisiku. Bukankah kamu sendiri yang mengirimnya ke sini, Kak? Lalu, bila ternyata dia terikat olehku, apa itu juga salahku?” “Airin… kau tak mengerti. Aku mencemaskanmu. Itu sebabnya aku mengirimnya.” “Sandy!Persetanlah dengan itu semua!” Sandy tertegun. Airin tidak pernah sekasar itu padanya, walaupun ia dalam kondisi buruk sekali pun. “Bukan padaku,” ujar Airin kemudian, “tapi pada Adrian. Kamu harus bica
Langkah kaki Airin terhenti tepat di depan halaman rumah, sepulangnya dari kantor Juli. Perempuan itu tertegun tatkala menemukan Sandy berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya. “Apa aku mengejutkanmu?” Sandy membuka suara. “Ya. Pastinya…” jawab Airin. Sandy nampak menghela napas panjang. “Aku tidak tahu alasanmu terus menerus menemuiku, Kak. Bila itu karena Tania dan Adrian, sebaiknya kamu bicara dengannya, bukan denganku.” “Bukan hanya tentang Tania dan Adrian. Tapi, ini juga tentang rasa bersalahku padamu.” Airin membuang arah tatapnya. “Airin, aku tahu, aku telah bersalah padamu.” “Cukup, Kak. Aku tidak ingin membahasnya lagi. Kamu sudah memutuskan untuk pergi dariku, itu artinya, semua telah selesai.” “Airin…” “Kumohon, berhentilah menggangguku…” Usai bicara demikian, Airin berlalu. “Aku tidak akan kemana-mana, bila kamu tidak mau bicara dan memaafkanku Airin,” ujar Sandy. Airin tidak bergeming. Ia terus melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu menutup pintu. Di balik
Adrian memarkirkan kendaraannya di halaman rumah Airin. Ia tertegun, tatkala melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah Airin. Yang membuatnya heran. Ia merasa tidak asing dengan mobil itu. Dengan perlahan, lelaki itu pun memasuki teras dan mendapati pintu rumah tertutup. Adrian mulai menekan bel. Pintu pun dibuka. Nampak kepala Airin menyembul dari balik pintu. Laki-laki itu agak sedikit lega, karena ia tidak perlu menunggu terlalu lama. “Adrian…” mata Airin membulat. “Kamu pulang cepat?” “Kenapa Kakak begitu terkejut?” “Hmm… ada Sandy di sini,” jawab Airin terus terang. Adrian menatap Airin yag nampak kikuk di hadapannya. “Apa aku boleh masuk?” sindir Adrian. Seolah sadar sedari tadi Airin hanya membuka pintu separuh, ia pun mulai membuka pintu itu lebar-lebar. “Ma-masuklah, Yan.” Airin berdiri di sisi pintu seraya menatap Adrian, sedang yang ditatap hanya melirik sekilas lalu berlalu menuju tangga. Airin menutup pintu lalu dengan segera mengejar Adrian. Sandy yang diam-
Tania berjalan mendekati Airin. Dengan cepat Adrian menarik Airin ke belakang punggungnya. Perempuan itu pun nampak mendengus kesal. “Kak Rin, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujar Tania seraya berbalik berjalan keluar. Adrian menatap Airin. “Kalau dia berbuat tidak baik, Kakak harus membalasnya, ya,” ujar Adrian. “Kamu membuatku dalam masalah, Yan.” Mata Airin membulat. Laki-laki itu tersenyum. Bukankan Airin semakin terlihat menggemaskan bila bertingkah seperti itu? Tania telah duduk di loby ruang tunggu. Wajahnya terlihat kaku. Airin mengambil tempat di hadapannya. “Kak, kupikir sebaiknya Kak Rin pulang. Rasanya sangat tidak pantas jika Kakak menunggu Adrian, padahal jelas-jelas Adrian sudah memiliki tunangan. Lagi pula, Kakak bukan siapa-siapa Adrian lagi, kan? Jadi, aku mohon dengan amat sangat, menjauhlah dari Adrian.” “Tania, sejauh ini, hubungan kami masih dalam batasannya, kok. Jadi, tidak ada satu hal pun yang harus kamu khawatirkan.” “Itu, kan, menurut Kaka
Tania terus memaki-maki di sepanjang perjalanannya pulang. Perempuan itu benar-benar tidak lagi mentoleransi perbuatan Adrian. Tania terus membawa kendaraannya berbelok menuju sebuah cluster perumahan yang terbilang cukup mewah. Ia menghentikan kendaraan tepat di depan rumah dengan cat putih kombinasi abu-abu tua dengan dua buah pohon cemara tinggi menjulang. Tidak ada tumbuhan lain selain itu. Tania menekan bel dengan tidak sabaran. Seorang perempuan muncul dari balik pintu. “Tania? Loh, di mana Adrian?” tanya Hanna sembari celingukan. “Adrian meninggalkanku sendirian, Kak…” Hanna mengelus dada, lalu merangkul Tania yang mulai menangis. “Kak, aku tak tahan lagi…” Hanna membawa Tania ke ruang tengah dan mendudukannya di sana. “Bicaralah pelan-pelan, Tania…” “Aku memaksa untuk membawa mobilnya, agar aku bisa membawanya pulang. Tapi, bukannya naik, dia malah pergi naik taksi meninggalkan aku…” “Apa Sandy tahu?” Tania menggeleng. “Aku belum mengatakan ini pada Kak Sandy, Kak.” “
Adrian menatap Airin dalam. Memperhatikan tiap gerak perempuan di hadapannya. Bagaimana cara ia menyedok makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Ya, mereka tengah menikmati makan malam berdua dengan situasi yang berbeda. Setelah kebersamaan mereka tertebas untuk sementara waktu. Perpisahan dengan cara seperti itu ternyata amat menyakitkan. Dan, siapa pula yang menyangka, justru perpisahan itulah yang mampu menyulut terjadinya kisah baru. Kehilangan dan kesepian. Keduanya membentuk kerinduan yang menggulung hebat dalam jiwa. Airin menghentikan aktivitasnya lalu menatap Adrian. “Kenapa terus memandangku?” tanyanya. Adrian tersenyum. “Aku yang lapar, tapi Kak Rin yang lahap makan,” goda Adrian Airin cemberut. “Aku tidak makan sudah tiga harian,” protes Airin. “Kenapa? Apa sedemikian rindunya Kakak denganku?” lagi Adrian menggodanya. Airin tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Lalu berujar, “Entah apa yang memenuhi pikiranku.” “Kak, kita akan lanjutkan terapinya lagi, ya. Beberapa ha
“Airy; Novelis Ternama Rebut Tunangan ,Orang” Berita kontroversi tentang Airin tiba-tiba meledak di pagi itu. Baik melalui televisi, media massa hingga media online. Para penggemarnya saja tidak ada yang tahu seperti apa Airy, karena perempuan itu terkenal introvet dan cukup misterius. Bagaimana bisa? Tiba-tiba ada sebuah berita terhembus yang ‘katanya’ Airy merebut tunangan orang? Ini adalah angin segar bagi para jurnalis untuk menggodoknya! Setidaknya, mereka bisa mengeskspos seperti apa penampakan novelis yang selalu berhasil meledakkan novel-novelnya itu. Dering ponsel menjerit-jerit. Airin memincingkan mata, ketika cahaya mentari yang memaksa masuk melalui celah-celah jendela menerpa wajahnya. Dengan malas diambilnya ponsel yang semalaman tergeletak di atas nakas di sisi tempat tidur. “Ya, Juli…” “Airy, kamu baca berita pagi ini?” Suara Juli terdengar panik. Airin bangkit dari tidurnya. Perempuan itu kini duduk bersila di atas ranjang. “Ada apa Juli?” “Kamu masuk berita pagi
“Parah...!” Juli menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya. “Airy harus membereskan semuanya, atau karirnya sebagai penulis tamat!” Clara asistennya manggut-manggut. “Apa Airy mau tampil di muka publik?” tanya perempuan yang selalu berpakaian model harajuku itu. “Mau tidak mau. Pokoknya, dia harus tampil!” Clara terdiam, perempuan bergaya gothic itu nampak berpikir. “Carilah cara Claraku sayang. Nanti aku hadiahi kamu sesuatu yang pasti kamu akan suka.” “Deal!” Clara menjentikkan jari. Lalu segera berlalu dari hadapan Juli. “Kuharap, dia punya ide yang terbilang manusiawi,” desah Juli. *** Airin masih bergeming di dalam ruang kerjanya. Matanya terus menatap layar komputer, lalu mulai menyusun beberapa kalimat di sana. Ia menulis sesuatu yang terbetik begitu saja dalam pikirannya. Sebelum dering ponsel menguapkan segala hal yang terlintas. “Hai, Juli!” Sapanya pada seseorang yang tengah menanti Airin untuk menjawab panggilannya dari ujung sana. “Kamu sedang apa, Bebs?” tan