Adrian menatap Airin dalam. Memperhatikan tiap gerak perempuan di hadapannya. Bagaimana cara ia menyedok makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Ya, mereka tengah menikmati makan malam berdua dengan situasi yang berbeda. Setelah kebersamaan mereka tertebas untuk sementara waktu. Perpisahan dengan cara seperti itu ternyata amat menyakitkan. Dan, siapa pula yang menyangka, justru perpisahan itulah yang mampu menyulut terjadinya kisah baru. Kehilangan dan kesepian. Keduanya membentuk kerinduan yang menggulung hebat dalam jiwa. Airin menghentikan aktivitasnya lalu menatap Adrian. “Kenapa terus memandangku?” tanyanya. Adrian tersenyum. “Aku yang lapar, tapi Kak Rin yang lahap makan,” goda Adrian Airin cemberut. “Aku tidak makan sudah tiga harian,” protes Airin. “Kenapa? Apa sedemikian rindunya Kakak denganku?” lagi Adrian menggodanya. Airin tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Lalu berujar, “Entah apa yang memenuhi pikiranku.” “Kak, kita akan lanjutkan terapinya lagi, ya. Beberapa ha
“Airy; Novelis Ternama Rebut Tunangan ,Orang” Berita kontroversi tentang Airin tiba-tiba meledak di pagi itu. Baik melalui televisi, media massa hingga media online. Para penggemarnya saja tidak ada yang tahu seperti apa Airy, karena perempuan itu terkenal introvet dan cukup misterius. Bagaimana bisa? Tiba-tiba ada sebuah berita terhembus yang ‘katanya’ Airy merebut tunangan orang? Ini adalah angin segar bagi para jurnalis untuk menggodoknya! Setidaknya, mereka bisa mengeskspos seperti apa penampakan novelis yang selalu berhasil meledakkan novel-novelnya itu. Dering ponsel menjerit-jerit. Airin memincingkan mata, ketika cahaya mentari yang memaksa masuk melalui celah-celah jendela menerpa wajahnya. Dengan malas diambilnya ponsel yang semalaman tergeletak di atas nakas di sisi tempat tidur. “Ya, Juli…” “Airy, kamu baca berita pagi ini?” Suara Juli terdengar panik. Airin bangkit dari tidurnya. Perempuan itu kini duduk bersila di atas ranjang. “Ada apa Juli?” “Kamu masuk berita pagi
“Parah...!” Juli menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya. “Airy harus membereskan semuanya, atau karirnya sebagai penulis tamat!” Clara asistennya manggut-manggut. “Apa Airy mau tampil di muka publik?” tanya perempuan yang selalu berpakaian model harajuku itu. “Mau tidak mau. Pokoknya, dia harus tampil!” Clara terdiam, perempuan bergaya gothic itu nampak berpikir. “Carilah cara Claraku sayang. Nanti aku hadiahi kamu sesuatu yang pasti kamu akan suka.” “Deal!” Clara menjentikkan jari. Lalu segera berlalu dari hadapan Juli. “Kuharap, dia punya ide yang terbilang manusiawi,” desah Juli. *** Airin masih bergeming di dalam ruang kerjanya. Matanya terus menatap layar komputer, lalu mulai menyusun beberapa kalimat di sana. Ia menulis sesuatu yang terbetik begitu saja dalam pikirannya. Sebelum dering ponsel menguapkan segala hal yang terlintas. “Hai, Juli!” Sapanya pada seseorang yang tengah menanti Airin untuk menjawab panggilannya dari ujung sana. “Kamu sedang apa, Bebs?” tan
Hanna melempar remote televisi ke atas meja, usai menyaksikan wawancara Airin terkait kasus yang tengah menerpanya. “Jadi, dia dan Adrian saling mencintai? Ah! Bagaimana bisa mereka jadi tidak tahu malu seperti itu,” rutuknya. “Aku pulang.” Suara Sandy mengejutkannya. Perempuan itu serta merta bangkit dari sofa. Lalu bergegas menyambut kedatangan suaminya. “Hai, Sayang. Apa kamu lihat wawancara Airin tadi? Dia bilang, mereka saling mencintai, loh?” “Siapa maksudmu?” tanya Sandy seraya berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari dalam lemari es. “Airin dan adikmu, Adrian.” Hanna menarik kursi makan lalu duduk di sana. Sandy tertegun untuk sesaat. Lalu, segera memindahkan air dalam gelas itu ke perut. Serta merta, hawa dingin mengalir masuk melalui tenggorokannya. “Umm... bukankah itu terasa aneh?” Hanna menatap Sandy dengan tatapan menyelidik. “Ah! Tapi bagiku, rasanya kok keterlaluan, ya?” sambungnya. “Entahlah...” jawab Sandy cepat. “Sayang,” kembali
Satu minggu telah berlalu sejak perpindahan Adrian ke mess dokter. Airin mulai bekutat kembali dengan tulisan-tulisannya. Walaupun beberapa pembaca mulai meninggalkan novel-novelnya, bukan berarti Airin berhenti menulis. Adrian datang sesekali mengajaknya keluar untuk berbelanja atau berjalan-jalan sekedar mengusir penat. Hingga di satu minggu, bunyi ponsel Airin menjerit-jerit, tatkala ia tengah khusyuk di hadapan layar komputernya. Dahi Airin mengernyit. Itu panggilan dari Sandy. Namun, tidak lama kemudian, panggilan itu berganti menjadi notifikasi pesan. “Airin, kamu sedang apa?” tanya Sandy dalam pesannya. “Menulis.” Pesan terhenti sampai di sana. Airin kembali melakukan aktivitasnya. Hingga telponnya kembali berdering. “Hai, Kak!” Suara Adrian terdengar ceria. “Halo, Yan.” “Ummm… I miss you so much…” keluh Adrian. Airin tersenyum. “Mari bertemu…” “Tentu saja. Aku libur hari ini. Oh iya, Kakak sedang apa?” “Menulis…” “Hmmm… aku yang akan mengunjungimu, Kak. Menulislah d
Andrian sedikit kecewa melihat Airin datang bersama Sandy ke rumah sakit tempat Tania di rawat. Namun, ia berusaha keras menguasai diri. “Ah, Mario. Ini adikku Adrian,” Sandy memecah kebisuan antara Airin dan Adrian dengan memperkenalkan dokter muda itu pada Mario. “Bukankah dia dokter juga?” tanya Mario seraya menjabat tangan Adrian. “Mario,” ujar laki-laki itu mantap. Adrian hanya tersenyum seraya mengangguk. “Baiklah, aku tinggalkan kalian. Kapan-kapan, kita ngobrol sambil ngopi, ya…” Mario mengakhiri pertemuan itu dengan ramah. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang kalian lakukan di sini berdua?” tanya Adrian seraya menggandeng Airin. “Kebetulah kami bertemu di jalan,” ujar Sandy cepat. Airin menatap Sandy sekilas. “Apa Kakak sudah hubungi Kak Hanna?” tanya Adrian. “Aku akan menghubunginya,” Sandy menjawab cepat. “Baguslah. Itu artinya, Kak Airin tak perlu menunggunya.” Airin menatap Adrian yang ditatap hanya tersenyum simpul. Walau demikian, perempuan itu bisa melihat kecemb
Adrian meletakkan semangkuk havermut di atas meja. Tania nampak masih tergolek di atas tempat tidurnya. Perempuan itu berangsur-angsur mulai membaik dan dokter telah mengizinkannya pulang hari ini. Ia terbangun tatkala Adrian membuka kaca jendela. “Ah! Sudah pagi…”desahnya. “Ya. Bangun dan segera habiskan sarapanmu.” Tania berusaha bangun dari tidurnya, lalu mengambil segelas air putih dan memindahkan isinya ke dalam perut. “Hari ini kita bisa pulang. Aku akan antar kau ke rumah orang tuamu.” “Jangan. Aku akan pulang ke apartemenku saja.” “Mereka akan sangat khawatir, Tania.” “Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri, Adrian.” Adrian terdiam. “Apa kamu bosan menemaniku?” tanya Tania pelan. “Bukan karena bosan, Tania. Tapi, lebih kepada aku yang tak bisa setiap waktu ada di sisimu. Kau tahu, aku terlalu lama mengabaikan Kak Rin. Selain itu, pekerjaanku pun menunggu.” Tania tersenyum. “Maafkan aku, Yan. Seharusnya, aku lebih tahu diri.” “Aku yang seharusnya minta
Di satu pagi yang terbilang mendung. Airin masih duduk di atas ranjang, sembari menatap kosong ke luar jendela. Sepanjang malam ia terjaga. Bukan untuk membereskan naskah, namun karena rasa cemas yang menekannya sedemikian rupa. Tidak ada satu ide pun yang terbetik dalam pikirannya kecuali masa lalu yang muncul tanpa diminta. Bukankah hingga detik ini, ia terus berusaha menghapus mimpi buruk di masa lalunya itu? Alih-alih menghilang, justru mimpi buruk itu kini memaksa hadir di depan mata. Ah! Seandainya saja Airin bisa lebih terbuka pada Adrian tentang masa lalunya, apakah laki-laki itu bisa membantunya? Masa lalu itu seolah lautan yang menenggelamkan dirinya dalam waktu yang begitu lama. Dan, hal itu membuatnya merasa frustasi. Namun, untuk berkata jujur pada Adrian pun ia merasa belum siap. Ada banyak kekhawatiran bercokol di kepalanya. Bagaimana bila laki-laki itu justru meninggalkannya atau hanya bersamanya karena merasa kasihan. Airin membenci kondisi itu dan kondisinya saat ini