Hanna melempar remote televisi ke atas meja, usai menyaksikan wawancara Airin terkait kasus yang tengah menerpanya.
“Jadi, dia dan Adrian saling mencintai? Ah! Bagaimana bisa mereka jadi tidak tahu malu seperti itu,” rutuknya.
“Aku pulang.” Suara Sandy mengejutkannya. Perempuan itu serta merta bangkit dari sofa. Lalu bergegas menyambut kedatangan suaminya.
“Hai, Sayang. Apa kamu lihat wawancara Airin tadi? Dia bilang, mereka saling mencintai, loh?”
“Siapa maksudmu?” tanya Sandy seraya berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari dalam lemari es.
“Airin dan adikmu, Adrian.” Hanna menarik kursi makan lalu duduk di sana.
Sandy tertegun untuk sesaat. Lalu, segera memindahkan air dalam gelas itu ke perut. Serta merta, hawa dingin mengalir masuk melalui tenggorokannya.
“Umm... bukankah itu terasa aneh?” Hanna menatap Sandy dengan tatapan menyelidik. “Ah! Tapi bagiku, rasanya kok keterlaluan, ya?” sambungnya.
“Entahlah...” jawab Sandy cepat.
“Sayang,” kembali Hanna menatap Sandy dalam. “Apa yang kamu pikirkan tentang ini? Adrian itu adikmu, loh? Apa kamu yakin akan merelakan atau menyetujui hubungan mereka?”
Sandy menarik napas panjang, lalu menatap Hanna seraya berkata, “Aku lelah, Hanna. Bisakah kita membahas ini lain kali?”
Hanna terdiam, matanya menatap Sandy kecewa. “Baiklah… padahal aku hanya ingin sharing pendapat denganmu...” ujarnya pelan.
“Setidaknya, bisakah kamu membiarkan aku istirahat dulu?”
Hanna mendengus kesal, lalu berlalu meninggalkan Sandy yang tampak sama kesalnya. “Damn!” umpat laki-laki itu.
***
Adrian duduk tercenung di halaman belakang rumah Airin. Menikmati malam yang mulai merangkak naik. Sesungging senyuman terlukis di bibirnya. Ini adalah kartu As, mengapa Airin suka sekali menghabiskan waktu di tempat ini. Halaman belakang rumah Airin memang tidak terlalu luas. Namun, cukup membuat nyaman. Beberapa tumbuhan perdu tumbuh di sisi-sisi pagar yang langsung berbatasan dengan jalan. Dua pohon cemara norflok yang belum terlalu tinggi, sebuah batang pohon yang sengaja ditanam sebagai penyangga tumbuhan pakis yang menjulur-julur memberi kesan berbeda. Ketika pagi atau siang hari menyapa, para kupu-kupu berterbangan seolah menemukan istananya di sini. Ada sekitar 10 atau 11 jenis bunga yang memanjakan makhluk cantik itu, tentunya dengan warna-warni kontrasnya.
Sejak kemarin malam, Adrian telah mengambil keputusan untuk pindah dari rumah Airin, tentunya atas saran Pak Andy yang mengajaknya bicara dari hati-kehati tempo hari. Seharusnya, pertemuan itu dia ceritakan pada Airin ketimbang memendamnya sendiri. Adrian tidak tahu, apa Airin akan membiarkannya pergi atau tidak
“Hai, Yan. Ternyata kamu di sini.”
Suara Airin tiba-tiba mengejutkannya. Adrian tersenyum. Perempuan itu duduk di sisinya, lalu merebahkan kepala di bahu laki-laki yang memiliki senyum manis itu. Adrian melingkarkan lengannya, lalu membelai kepala perempuan itu. Airin menurunkan kepalanya, merebah di atas pangkuan Adrian. Kembali Adrian tersenyum.
“Bagaimana hari ini?” tanya Adrian.
“Apanya?”
“Wawancaranya dong.”
“Ah, ya...” Airin tersenyum. “Aku katakan kita saling mencintai.”
“Hanya itu?”
Airin mengangguk. “Kamu tidak apa-apa, kan?””
Adrian tertawa. “Seharusnya, aku yang bertanya, apa Kakak baik-baik saja?”
Airin menghela napas panjang. “Tidak mungkin aku baik-baik saja. Ketika aku ingin menghilang hanya menyisakan karya-karyaku, justru aku harus kembali mengada.”
Adrian tertawa, “Ayolah, bahasa Kakak itu, loh.”
Airin tertawa. “Aku terlalu puitis, ya?”
Adrian menggeleng. “Kakak terlalu cantik.”
“Ah! Gombal kamu...” Airin tersenyum.
Laki-laki itu tertawa. “Tuh, makin gemes deh...”
Airin cemberut.
“Kak,” Adrian nampak ragu.
“Hmm…” jawab Airin.
“Kalau aku pindah ke mes, apa Kakak akan baik-baik saja?”
Airin terdiam seraya menatap Adrian. “Ada apa? Kenapa tiba-tiba?”
“Rumah sakit yang menginginkan aku menempati mes, Kak.”
Airin mengangguk. “Kalau mereka menginginkan itu, aku bisa apa.”
“Tapi, Kakak harus berjanji satu hal. Kalau Kakak merasa tiba-tiba berada dalam fase manik atau depresi, tolong hubungi aku.”
“Obatmu bekerja dengan baik, Yan. Sejauh ini, mood-ku terkontrol dengan baik, kok.”
“Dan, ku pikir, aku pun telah bekerja dengan baik juga, kan?” goda Adrian.
Airin tertawa. “Uh! Sayang deh sama kamu...” ujar Airin seraya mencubit pipi Adrian.
Adrian tersenyum. Lalu menunduk, meletakkan bibirnya di dahi Airin. Menyisakan debaran aneh di dada perempuan itu.
***
Sandy menatap langit-langit kamar. Malam itu sehening perasaannya. Rasa hampa bergelayut tanpa sebab. Ah! Bukan tanpa sebab. Airin dan Adrian jelas-jelas jadi tersangka utama penyebab keresahan batinnya. Sekilas, ia menatap Hanna yang nampak terlelap di sisinya.
Apa ini salah satu bentuk keserakahannya sebagai manusia? Ketika, ia ingin merengkuh semuanya. Gila! Sandy merasa hilang arah.
Setelah beberapa kali menghela napas panjang, laki-laki itu pun bangkit dari tidurnya. Berjalan ke luar menuju teras samping. Sebuah kolam renang terhampar di hadapannya. Berair jernih dengan pantulan sinar rembulan yang nampak indah. Sandy membuka kaosnya, lalu ia mulai menerjunkan diri ke dalam kolam. Tenggelam dalam hawa dingin di hampir sepertiga malam itu. Ia tidak pernah menyadari, dari balik jendela kamar, Hanna terus mengawasinya.
Dan, di keesokan hari, ketika pagi menyapa dengan pijar hangat. Sepanci susu dijerang di atas api, Sandy menatap buih yang meninggi tanpa berniat mematikan kompornya, sebelum Hanna memekik. “Sayang, susumu mendidih!”
Dengan cepat, laki-laki itu pun mematikan kompor.
“Apa yang terjadi, Sandy? Kamu nampak berbeda dalam beberapa hari ini.”
“Mungkin aku terlalu lelah,” jawab Sandy cepat.
“Lelah? Atau karena Airin?” sindir Hanna.
“Lelah.”
“Kau yakin?”
Sandy mengangguk.
“Mari kita berlibur.”
“Jadwal operasiku padat.”
“Serahkan saja ke orang lain.”
“Apa kau gila! Kita masih butuh banyak uang untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.”
Hanna tertegun. Sandy ternyata memang telah berubah. Selama ini, ia tak pernah sekalipun bicara tentang pendapatan mereka dan berapa banyak yang harus mereka keluarkan.
“Apa kamu merasa terbebani dengan itu?” tanya Hanna.
“Tentu saja tidak.”
“Tapi, kau tampak keberatan,” kejar Hanna.
“Hanna, jangan memancingku.”
“Siapa yang memancing siapa?”
Sandy terdiam.
“Kamu berubah!”
Sandy masih terdiam.
“Kamu cemburu dengan mereka, kan?”
Laki-laki itu menatap Hanna tajam.
“Tentu saja, kamu tidak terima karena Adrian memilikinya sekarang,” cecar Hanna.
“Bisakah kita berhenti membicarakan itu?” Suara Sandy terdengar memohon.
“Kau yang membuat aku membicarakannya, San. Walaupun kau coba mengingkarinya, kau pikir aku tidak tahu keresahanmu?”
Sandy menggeleng. “Bukan seperti itu, Han.”
“Apa! Seperti apa!” Suara Hanna mulai meninggi.
“Bisakah kau rendahkan suaramu!” bentak Sandy. “Aku masih suamimu. Airin tak pernah sekali pun melakukan itu.”
Hanna terdiam. Sandy pun terdiam, menyadari kesalahannya.
Hanna nampak menahan air matanya agar tidak jatuh, tapi nyatanya semua tak berhasil.
“Hanna... maafkan aku. Aku tak bermaksud...” Sandy berujar seraya mendekati istrinya itu.
“Aku benci dengan semua ini, San. Kupikir kau akan melupakannya...” desah Hanna.
“Hanna dengarkan aku, sungguh aku...”
“Cukup, kau tak perlu menjelaskan apa pun. Jawab aku, San. Apa menikahiku bagimu adalah satu kesalahan?”
Sandy menatap Hanna.
“Jawab aku. Kau menyesalinya, kan?”
“Kau ini bicara apa?”
“Aku bukan Airin dan tidak akan pernah menjadi seperti penulis sialan itu!”
“Hanna, jaga ucapanmu!”
“Ah! Kau membelanya kini...ckckck...”
“Kau terus menyulut emosiku...”
“Kau pikir, aku tak punya emosi, San?”
“Cukup...! Kubilang cukup, Hanna…”
“Aku tak mau berhenti!” pekik Hanna. “Aku tak ingin berhenti sebelum kau mengatakan yang sesungguhnya, kalau kau cemburu dengan Adrian, kan?” Hanna terus menuntut. “Jawab! Benarkan kataku?”
“Iya!” Sandy kembali membentak. “Aku cemburu dengan Adrian! Puas! Apa sekarang kau akan berhenti menyudutkan aku?”
Hanna menjerit sekencang-kencangnya, ia menangis. Seraya memaki dan memukuli Sandy. “Aku membencimu! Aku membencimu!”
Sandy mendorong Hanna hingga perempuan itu jatuh tersungkur. Setelah menggeleng dengan jengkel, Sandy berlalu menuju kamar, membiarkan Hanna meraung-raung sendirian.
“Dasar perempuan!” rutuk Sandy.
***
Airin tertegun, melihat kamar Adrian nampak kosong. “Kamu sudah mempersiapkan ini semua?” selidik Airin.
“Barangku tidak banyak, Kak. Jadi, ya terlihat kosong.”
Airin menatap Adrian. Laki-laki itu tersenyum, lalu menarik perempuan itu dalam dekapannya.
“Jangan lewat minum obat dan ingat, kalau Kakak merasa tidak nyaman. Tolong hubungi aku.”
Airin tersenyum. Didekapnya Adrian erat-erat.
“Apa aku boleh mengunjungimu?” tanyanya
“Tentu saja. Sekalian buatkan omelet untukku. Omelet kakak itu makanan praktis dan terenak untuk lidahku.”
Airin tersenyum. Lalu, seraya melepaskan pelukannya, ia menatap Adrian. “Yan, terima kasih...” bisiknya, yang langsung dibalas dengan kecupan lembut Adrian di bibirnya.
Airin tersenyum, lalu balas mengecup bibir Adrian.[]
Satu minggu telah berlalu sejak perpindahan Adrian ke mess dokter. Airin mulai bekutat kembali dengan tulisan-tulisannya. Walaupun beberapa pembaca mulai meninggalkan novel-novelnya, bukan berarti Airin berhenti menulis. Adrian datang sesekali mengajaknya keluar untuk berbelanja atau berjalan-jalan sekedar mengusir penat. Hingga di satu minggu, bunyi ponsel Airin menjerit-jerit, tatkala ia tengah khusyuk di hadapan layar komputernya. Dahi Airin mengernyit. Itu panggilan dari Sandy. Namun, tidak lama kemudian, panggilan itu berganti menjadi notifikasi pesan. “Airin, kamu sedang apa?” tanya Sandy dalam pesannya. “Menulis.” Pesan terhenti sampai di sana. Airin kembali melakukan aktivitasnya. Hingga telponnya kembali berdering. “Hai, Kak!” Suara Adrian terdengar ceria. “Halo, Yan.” “Ummm… I miss you so much…” keluh Adrian. Airin tersenyum. “Mari bertemu…” “Tentu saja. Aku libur hari ini. Oh iya, Kakak sedang apa?” “Menulis…” “Hmmm… aku yang akan mengunjungimu, Kak. Menulislah d
Andrian sedikit kecewa melihat Airin datang bersama Sandy ke rumah sakit tempat Tania di rawat. Namun, ia berusaha keras menguasai diri. “Ah, Mario. Ini adikku Adrian,” Sandy memecah kebisuan antara Airin dan Adrian dengan memperkenalkan dokter muda itu pada Mario. “Bukankah dia dokter juga?” tanya Mario seraya menjabat tangan Adrian. “Mario,” ujar laki-laki itu mantap. Adrian hanya tersenyum seraya mengangguk. “Baiklah, aku tinggalkan kalian. Kapan-kapan, kita ngobrol sambil ngopi, ya…” Mario mengakhiri pertemuan itu dengan ramah. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang kalian lakukan di sini berdua?” tanya Adrian seraya menggandeng Airin. “Kebetulah kami bertemu di jalan,” ujar Sandy cepat. Airin menatap Sandy sekilas. “Apa Kakak sudah hubungi Kak Hanna?” tanya Adrian. “Aku akan menghubunginya,” Sandy menjawab cepat. “Baguslah. Itu artinya, Kak Airin tak perlu menunggunya.” Airin menatap Adrian yang ditatap hanya tersenyum simpul. Walau demikian, perempuan itu bisa melihat kecemb
Adrian meletakkan semangkuk havermut di atas meja. Tania nampak masih tergolek di atas tempat tidurnya. Perempuan itu berangsur-angsur mulai membaik dan dokter telah mengizinkannya pulang hari ini. Ia terbangun tatkala Adrian membuka kaca jendela. “Ah! Sudah pagi…”desahnya. “Ya. Bangun dan segera habiskan sarapanmu.” Tania berusaha bangun dari tidurnya, lalu mengambil segelas air putih dan memindahkan isinya ke dalam perut. “Hari ini kita bisa pulang. Aku akan antar kau ke rumah orang tuamu.” “Jangan. Aku akan pulang ke apartemenku saja.” “Mereka akan sangat khawatir, Tania.” “Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri, Adrian.” Adrian terdiam. “Apa kamu bosan menemaniku?” tanya Tania pelan. “Bukan karena bosan, Tania. Tapi, lebih kepada aku yang tak bisa setiap waktu ada di sisimu. Kau tahu, aku terlalu lama mengabaikan Kak Rin. Selain itu, pekerjaanku pun menunggu.” Tania tersenyum. “Maafkan aku, Yan. Seharusnya, aku lebih tahu diri.” “Aku yang seharusnya minta
Di satu pagi yang terbilang mendung. Airin masih duduk di atas ranjang, sembari menatap kosong ke luar jendela. Sepanjang malam ia terjaga. Bukan untuk membereskan naskah, namun karena rasa cemas yang menekannya sedemikian rupa. Tidak ada satu ide pun yang terbetik dalam pikirannya kecuali masa lalu yang muncul tanpa diminta. Bukankah hingga detik ini, ia terus berusaha menghapus mimpi buruk di masa lalunya itu? Alih-alih menghilang, justru mimpi buruk itu kini memaksa hadir di depan mata. Ah! Seandainya saja Airin bisa lebih terbuka pada Adrian tentang masa lalunya, apakah laki-laki itu bisa membantunya? Masa lalu itu seolah lautan yang menenggelamkan dirinya dalam waktu yang begitu lama. Dan, hal itu membuatnya merasa frustasi. Namun, untuk berkata jujur pada Adrian pun ia merasa belum siap. Ada banyak kekhawatiran bercokol di kepalanya. Bagaimana bila laki-laki itu justru meninggalkannya atau hanya bersamanya karena merasa kasihan. Airin membenci kondisi itu dan kondisinya saat ini
Hanna terduduk di atas kursi tunggu, merenung. Ia dinyatakan positif hamil, dengan usia kandungannya menginjak 8 minggu. Hanna ragu dengan kondisinya saat ini. Melihat hubungannya dengan Sandy yang lambat laun semakin terasa memburuk. Ia bingung harus berkata apa kepada laki-laki itu mengenai kehamilannya. Apa dia harus bicara dengan wajah berseri-seri atau sebaliknya. Hingga di satu malam, Hanna menemui laki-laki yang tengah duduk terpekur di pinggir kolam renang itu. Ia tak banyak bicara, hanya memberikan alat test kehamilan pada suaminya, lalu pergi begitu saja setelah laki-laki itu menerimanya. Sandy tertegun tatkala melihat dua garis merah yang nampak jelas itu. “Ya Tuhan, lihatlah. Kami benar-benar pasangan yang abnormal,” keluhnya kemudian. *** Pagi itu di dalam ruang kerjanya, Sandy hanya bisa duduk terpaku. Entah ia harus merasa bahagia atau sebaliknya. Ia ingin mengakhiri neraka rumah tangganya dan merebut hati Airin kembali. Namun, kehamilan Hanna serta merta membuatnya
Adrian merasakan penat. Usai sesi konselingnya berakhir, ia mulai berjalan menyusuri koridor dan menaiki tangga darurat menuju roof top. Hanya di tempat inilah ia bisa menghisap rokok demi menetralkan pikirannya. Adrian menyalakan sebatang rokok dengan pematik, duduk berjongkok di sudut. Angin dingin berhembus di cuaca yang teramat cerah. Angin itu menebar kerinduannya pada Airin. Laki-laki itu tersenyum masam. Biar bagaimana pun dia benci kondisi seperti ini. Seharusnya Airin melarangnya menemui Tania. Bukan, justru sebaliknya. Ia bertransformasi menjadi ibu peri yang memberi ruang kepadanya dengan Tania. Dan, mengapa Tania berubah menjadi sosok yang tidak egois seperti dulu. Ini benar-benar memuakkan. Keduanya nampak aneh di mata Adrian. Sebuah pesan dari Tania masuk mengganggu siangnya yang tenang. “Adrian hari ini bisa datang ke apartemenku?” Laki-laki itu tampak berpikir sesaat. “Aku akan tanyakan kepada Airin.” Jawab Adrian. “Baiklah. Jangan memaksakan diri, ya.” Balasan Tania
Siang itu Adrian mengunjungi Juli. Perempuan yang tengah menikmati secangkir lemon tea hangat di meja kerjanya itu tampak terkejut melihat kedatangan Adrian. “Hai, Kak. Apa kabar?” sapa Adrian ramah. “Hai, Yan. Tumben.” Juli bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Andrian. “Duduklah. Umm…Kamu mau minum apa? Kopi atau teh?” “Tidak usah, Kak,” Adrian tersenyum, “sebenarnya aku sedikit terburu-buru,” jawab Adrian cepat. Juli menatap Adrian heran. “Ada apa, Yan? Kamu kelihatan khawatir?” “Apa Kak Rin menghubungi Kakak belakangan ini atau menemui Kakak?” Juli menggeleng. “Tidak. Ah! beberapa minggu yag lalu, dia bilang sedang fokus menulis, maka aku sengaja tidak mengganggunya. Itupun karena dia yang mengunjungiku.” Wajah Adrian memucat. “Yan, ada apa? Katakan, apa sesuatu telah terjadi pada Airin?” “Kak Rin menghilang, Kak,” ujar Adrian pelan. Juli tercengang. Wajahnya tampak memucat. Adrian kembali berujar, “Yang aku heran, ia tidak membawa apa pun. Bahkan ponselnya ditingga
Di dalam sebuah kamar, cahaya mentari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela. Seorang perempuan terbaring di atas ranjang berukuran sedang, dengan selimut abu-abu tua menutupi tubuh. Wajah pucatnya tertimpa cahaya yang datang membias. Serta merta perempuan itu menggeliat seraya membuka matanya pelan dan tertegun mendapati dirinya berada di dalam kamar yang nampak asing. “Di mana aku?” desahnya seraya menyibak selimut yang menutupi tubuh. Dengan cepat ia turun dari ranjang dan berlari ke arah jendela. Bibirnya sedikit terbuka. Boleh jadi, Airin terhenyak dengan apa yang dinampakkan oleh pandangan matanya. Bagaimana bisa ia berada di tengah hutan pinus dengan bunga-bunga perdu tumbuh liar di sana. “Ya Tuhan, aku pasti gila.” Perempuan itu pun menjauhi jendela dan berlari menuju pintu lalu berusaha membuka handle pintunya. Terkunci! “Bagus Airin,” desahnya kemudian. “Kau akan menemukan takdirmu di sini. Seseorang menculikmu. Padahal, kamu punya pilihan untuk mati. Ya Tuhan...”