Share

Kecemburuan Sandy (36)

Hanna melempar remote televisi ke atas meja, usai menyaksikan wawancara Airin terkait kasus yang tengah menerpanya.

“Jadi, dia dan Adrian saling mencintai? Ah! Bagaimana bisa mereka jadi tidak tahu malu seperti itu,” rutuknya.

“Aku pulang.” Suara Sandy mengejutkannya. Perempuan itu serta merta bangkit dari sofa. Lalu bergegas menyambut kedatangan suaminya.

“Hai, Sayang. Apa kamu lihat wawancara Airin tadi? Dia bilang, mereka saling mencintai, loh?”

“Siapa maksudmu?” tanya Sandy seraya berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari dalam lemari es.

“Airin dan adikmu, Adrian.” Hanna menarik kursi makan lalu duduk di sana.

Sandy tertegun untuk sesaat. Lalu, segera memindahkan air dalam gelas itu ke perut. Serta merta, hawa dingin mengalir masuk melalui tenggorokannya.

“Umm... bukankah itu terasa aneh?” Hanna menatap Sandy dengan tatapan menyelidik. “Ah! Tapi bagiku, rasanya kok keterlaluan, ya?” sambungnya.

“Entahlah...” jawab Sandy cepat.

“Sayang,” kembali Hanna menatap Sandy dalam. “Apa yang kamu pikirkan tentang ini? Adrian itu adikmu, loh? Apa kamu yakin akan merelakan atau menyetujui hubungan mereka?”

Sandy menarik napas panjang, lalu menatap Hanna seraya berkata, “Aku lelah, Hanna. Bisakah kita membahas ini lain kali?”

Hanna terdiam, matanya menatap Sandy kecewa. “Baiklah… padahal aku hanya ingin sharing pendapat denganmu...” ujarnya pelan.

“Setidaknya, bisakah kamu membiarkan aku istirahat dulu?”

Hanna mendengus kesal, lalu berlalu meninggalkan Sandy yang tampak sama kesalnya. “Damn!”  umpat laki-laki itu.

***

Adrian duduk tercenung di halaman belakang rumah Airin. Menikmati malam yang mulai  merangkak naik. Sesungging senyuman terlukis di bibirnya.  Ini adalah kartu As, mengapa Airin suka sekali menghabiskan waktu di tempat ini. Halaman belakang rumah Airin memang tidak terlalu luas. Namun, cukup membuat nyaman. Beberapa tumbuhan perdu tumbuh di sisi-sisi pagar yang langsung  berbatasan dengan jalan. Dua pohon cemara norflok yang belum terlalu tinggi, sebuah batang pohon yang sengaja ditanam sebagai penyangga tumbuhan pakis yang menjulur-julur memberi kesan berbeda. Ketika pagi atau siang hari menyapa, para kupu-kupu berterbangan seolah menemukan istananya di sini. Ada sekitar 10 atau 11 jenis bunga yang memanjakan makhluk cantik itu, tentunya dengan warna-warni kontrasnya.

Sejak kemarin malam, Adrian telah mengambil keputusan untuk pindah dari rumah Airin, tentunya atas saran Pak Andy yang mengajaknya bicara dari hati-kehati tempo hari. Seharusnya, pertemuan itu dia ceritakan pada Airin ketimbang memendamnya sendiri. Adrian tidak tahu, apa Airin akan membiarkannya pergi atau tidak

“Hai, Yan. Ternyata kamu di sini.”

Suara Airin tiba-tiba mengejutkannya. Adrian tersenyum. Perempuan itu duduk di sisinya, lalu merebahkan kepala di bahu laki-laki yang memiliki senyum manis itu. Adrian melingkarkan lengannya, lalu membelai kepala perempuan itu. Airin menurunkan kepalanya, merebah di atas pangkuan Adrian. Kembali Adrian tersenyum.

“Bagaimana hari ini?” tanya Adrian.

“Apanya?”

“Wawancaranya dong.”

“Ah, ya...” Airin tersenyum. “Aku katakan kita saling mencintai.”

“Hanya itu?”

Airin mengangguk. “Kamu tidak apa-apa, kan?””

Adrian tertawa. “Seharusnya, aku yang bertanya, apa Kakak baik-baik saja?”

Airin menghela napas panjang. “Tidak mungkin aku baik-baik saja. Ketika aku ingin menghilang hanya menyisakan karya-karyaku, justru aku harus kembali mengada.”

Adrian tertawa, “Ayolah, bahasa Kakak itu, loh.”

Airin tertawa. “Aku terlalu puitis, ya?”

Adrian menggeleng. “Kakak terlalu cantik.”

“Ah! Gombal kamu...” Airin tersenyum.

Laki-laki itu tertawa. “Tuh, makin gemes deh...”

Airin cemberut.

“Kak,” Adrian nampak ragu.

“Hmm…” jawab Airin.

“Kalau aku pindah ke mes, apa Kakak akan baik-baik saja?”

Airin terdiam seraya menatap Adrian. “Ada apa? Kenapa tiba-tiba?”

“Rumah sakit yang menginginkan aku menempati mes, Kak.”

Airin mengangguk. “Kalau mereka menginginkan itu, aku bisa apa.”

“Tapi, Kakak harus berjanji satu hal. Kalau Kakak merasa tiba-tiba berada dalam fase manik atau depresi, tolong hubungi aku.”

“Obatmu bekerja dengan baik, Yan. Sejauh ini, mood-ku terkontrol dengan baik, kok.”

“Dan, ku pikir, aku pun telah bekerja dengan baik juga, kan?” goda Adrian.

Airin tertawa. “Uh! Sayang deh sama kamu...” ujar Airin seraya mencubit pipi Adrian.

Adrian tersenyum. Lalu menunduk, meletakkan bibirnya di dahi Airin. Menyisakan debaran aneh di dada perempuan itu.

***

Sandy menatap langit-langit kamar. Malam itu sehening perasaannya. Rasa hampa bergelayut tanpa sebab. Ah! Bukan tanpa sebab. Airin dan Adrian jelas-jelas jadi tersangka utama penyebab keresahan batinnya. Sekilas, ia menatap Hanna yang nampak terlelap di sisinya.

Apa ini salah satu bentuk keserakahannya sebagai manusia? Ketika, ia ingin merengkuh semuanya. Gila! Sandy merasa hilang arah.

Setelah beberapa kali menghela napas panjang, laki-laki itu pun bangkit dari tidurnya. Berjalan ke luar menuju teras samping. Sebuah kolam renang terhampar di hadapannya. Berair jernih dengan pantulan sinar rembulan yang nampak indah. Sandy membuka kaosnya, lalu ia mulai menerjunkan diri ke dalam kolam. Tenggelam dalam hawa dingin di hampir sepertiga malam itu. Ia tidak pernah menyadari, dari balik jendela kamar, Hanna terus mengawasinya.

Dan, di keesokan hari, ketika pagi menyapa dengan pijar hangat. Sepanci susu dijerang di atas api, Sandy menatap buih yang meninggi tanpa berniat mematikan kompornya, sebelum Hanna memekik. “Sayang, susumu mendidih!”

Dengan cepat, laki-laki itu pun mematikan kompor.

“Apa yang terjadi, Sandy? Kamu nampak berbeda dalam beberapa hari ini.”

“Mungkin aku terlalu lelah,” jawab Sandy cepat.

“Lelah? Atau karena Airin?” sindir Hanna.

“Lelah.”

“Kau yakin?”

Sandy mengangguk.

“Mari kita berlibur.”

“Jadwal operasiku padat.”

“Serahkan saja ke orang lain.”

“Apa kau gila! Kita masih butuh banyak uang untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.”

Hanna tertegun. Sandy ternyata memang telah berubah. Selama ini, ia tak pernah sekalipun bicara tentang pendapatan mereka dan berapa banyak yang harus mereka keluarkan.

“Apa kamu merasa terbebani dengan itu?” tanya Hanna.

“Tentu saja tidak.”

“Tapi, kau tampak keberatan,” kejar Hanna.

“Hanna, jangan memancingku.”

“Siapa yang memancing siapa?”

Sandy terdiam.

“Kamu berubah!”

Sandy masih terdiam.

“Kamu cemburu dengan mereka, kan?”

Laki-laki itu menatap Hanna tajam.

“Tentu saja, kamu tidak terima karena Adrian memilikinya sekarang,” cecar Hanna.

“Bisakah kita berhenti membicarakan itu?” Suara Sandy terdengar memohon.

“Kau yang membuat aku membicarakannya, San. Walaupun kau coba mengingkarinya, kau pikir aku tidak tahu keresahanmu?”

Sandy menggeleng. “Bukan seperti itu, Han.”

“Apa! Seperti apa!” Suara Hanna mulai meninggi.

“Bisakah kau rendahkan suaramu!” bentak Sandy. “Aku masih suamimu. Airin  tak pernah sekali pun melakukan itu.”

Hanna terdiam. Sandy pun terdiam, menyadari kesalahannya.

Hanna nampak menahan air matanya agar tidak jatuh, tapi nyatanya semua tak berhasil.

“Hanna... maafkan aku. Aku tak bermaksud...” Sandy berujar seraya mendekati istrinya itu.

“Aku benci dengan semua ini, San. Kupikir kau akan melupakannya...” desah Hanna.

“Hanna dengarkan aku, sungguh aku...”

“Cukup, kau tak perlu menjelaskan apa pun. Jawab aku, San. Apa menikahiku bagimu adalah satu kesalahan?”

Sandy menatap Hanna.

“Jawab aku. Kau menyesalinya, kan?”

“Kau ini bicara apa?”

“Aku bukan Airin dan tidak akan pernah menjadi seperti penulis sialan itu!”

“Hanna, jaga ucapanmu!”

“Ah! Kau membelanya kini...ckckck...”

“Kau terus menyulut emosiku...”

“Kau pikir, aku tak punya emosi, San?”

“Cukup...! Kubilang cukup, Hanna…”

“Aku tak mau berhenti!” pekik Hanna. “Aku tak ingin berhenti sebelum kau mengatakan yang sesungguhnya, kalau kau cemburu dengan Adrian, kan?” Hanna terus menuntut. “Jawab! Benarkan kataku?”

“Iya!” Sandy kembali membentak. “Aku cemburu dengan Adrian! Puas! Apa sekarang kau akan berhenti menyudutkan aku?”

Hanna menjerit sekencang-kencangnya, ia menangis. Seraya memaki dan memukuli Sandy. “Aku membencimu! Aku membencimu!”

Sandy mendorong Hanna hingga perempuan itu jatuh tersungkur. Setelah menggeleng dengan jengkel, Sandy berlalu menuju kamar,  membiarkan Hanna meraung-raung sendirian.

“Dasar perempuan!” rutuk Sandy.

***

Airin tertegun, melihat kamar Adrian nampak kosong. “Kamu sudah mempersiapkan ini semua?” selidik Airin.

“Barangku tidak banyak, Kak. Jadi, ya terlihat kosong.”

Airin menatap Adrian. Laki-laki itu tersenyum, lalu menarik perempuan itu dalam dekapannya.

“Jangan lewat minum obat dan ingat, kalau Kakak merasa tidak nyaman. Tolong hubungi aku.”

Airin tersenyum. Didekapnya Adrian erat-erat.

“Apa aku boleh mengunjungimu?” tanyanya

“Tentu saja. Sekalian buatkan omelet untukku. Omelet kakak itu makanan praktis dan terenak untuk lidahku.”

Airin tersenyum. Lalu, seraya melepaskan pelukannya, ia menatap Adrian. “Yan, terima kasih...” bisiknya, yang langsung dibalas dengan kecupan lembut Adrian di bibirnya.

Airin tersenyum, lalu balas mengecup bibir Adrian.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status