Home / Romansa / Perempuan Kopi / Tania dan Kesedihannya (37)

Share

Tania dan Kesedihannya (37)

last update Huling Na-update: 2022-01-11 05:57:09
Satu minggu telah berlalu sejak perpindahan Adrian ke mess dokter. Airin mulai bekutat kembali dengan tulisan-tulisannya. Walaupun beberapa pembaca mulai meninggalkan novel-novelnya, bukan berarti Airin berhenti menulis. Adrian datang sesekali mengajaknya keluar untuk berbelanja atau berjalan-jalan sekedar mengusir penat.

Hingga di satu minggu, bunyi ponsel Airin menjerit-jerit, tatkala ia tengah khusyuk di hadapan layar komputernya.

Dahi Airin mengernyit. Itu panggilan dari Sandy. Namun, tidak lama kemudian, panggilan itu berganti menjadi notifikasi pesan.

“Airin, kamu sedang apa?” tanya Sandy dalam pesannya.

“Menulis.”

Pesan terhenti sampai di sana. Airin kembali melakukan aktivitasnya. Hingga telponnya kembali berdering.

“Hai, Kak!” Suara Adrian terdengar ceria.

“Halo, Yan.”

“Ummm… I miss you so much…” keluh Adrian.

Airin tersenyum. “Mari bertemu…”

“Tentu saja. Aku libur hari ini. Oh iya, Kakak sedang apa?”

“Menulis…”

“Hmmm… aku yang akan mengunjungimu, Kak. Menulislah d
Locked Chapter
Patuloy ang Pagbabasa sa GoodNovel
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kanjeng Ayu
kk kapan update nih di tunggu bab selanjutnya
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • Perempuan Kopi   Perempuan yang Cemburu (38)

    Andrian sedikit kecewa melihat Airin datang bersama Sandy ke rumah sakit tempat Tania di rawat. Namun, ia berusaha keras menguasai diri. “Ah, Mario. Ini adikku Adrian,” Sandy memecah kebisuan antara Airin dan Adrian dengan memperkenalkan dokter muda itu pada Mario. “Bukankah dia dokter juga?” tanya Mario seraya menjabat tangan Adrian. “Mario,” ujar laki-laki itu mantap. Adrian hanya tersenyum seraya mengangguk. “Baiklah, aku tinggalkan kalian. Kapan-kapan, kita ngobrol sambil ngopi, ya…” Mario mengakhiri pertemuan itu dengan ramah. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang kalian lakukan di sini berdua?” tanya Adrian seraya menggandeng Airin. “Kebetulah kami bertemu di jalan,” ujar Sandy cepat. Airin menatap Sandy sekilas. “Apa Kakak sudah hubungi Kak Hanna?” tanya Adrian. “Aku akan menghubunginya,” Sandy menjawab cepat. “Baguslah. Itu artinya, Kak Airin tak perlu menunggunya.” Airin menatap Adrian yang ditatap hanya tersenyum simpul. Walau demikian, perempuan itu bisa melihat kecemb

    Huling Na-update : 2022-02-01
  • Perempuan Kopi   Para Lelaki yang Menyesali (39)

    Adrian meletakkan semangkuk havermut di atas meja. Tania nampak masih tergolek di atas tempat tidurnya. Perempuan itu berangsur-angsur mulai membaik dan dokter telah mengizinkannya pulang hari ini. Ia terbangun tatkala Adrian membuka kaca jendela. “Ah! Sudah pagi…”desahnya. “Ya. Bangun dan segera habiskan sarapanmu.” Tania berusaha bangun dari tidurnya, lalu mengambil segelas air putih dan memindahkan isinya ke dalam perut. “Hari ini kita bisa pulang. Aku akan antar kau ke rumah orang tuamu.” “Jangan. Aku akan pulang ke apartemenku saja.” “Mereka akan sangat khawatir, Tania.” “Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri, Adrian.” Adrian terdiam. “Apa kamu bosan menemaniku?” tanya Tania pelan. “Bukan karena bosan, Tania. Tapi, lebih kepada aku yang tak bisa setiap waktu ada di sisimu. Kau tahu, aku terlalu lama mengabaikan Kak Rin. Selain itu, pekerjaanku pun menunggu.” Tania tersenyum. “Maafkan aku, Yan. Seharusnya, aku lebih tahu diri.” “Aku yang seharusnya minta

    Huling Na-update : 2022-02-03
  • Perempuan Kopi   Mimpi Buruk itu Kembali Hadir (40)

    Di satu pagi yang terbilang mendung. Airin masih duduk di atas ranjang, sembari menatap kosong ke luar jendela. Sepanjang malam ia terjaga. Bukan untuk membereskan naskah, namun karena rasa cemas yang menekannya sedemikian rupa. Tidak ada satu ide pun yang terbetik dalam pikirannya kecuali masa lalu yang muncul tanpa diminta. Bukankah hingga detik ini, ia terus berusaha menghapus mimpi buruk di masa lalunya itu? Alih-alih menghilang, justru mimpi buruk itu kini memaksa hadir di depan mata. Ah! Seandainya saja Airin bisa lebih terbuka pada Adrian tentang masa lalunya, apakah laki-laki itu bisa membantunya? Masa lalu itu seolah lautan yang menenggelamkan dirinya dalam waktu yang begitu lama. Dan, hal itu membuatnya merasa frustasi. Namun, untuk berkata jujur pada Adrian pun ia merasa belum siap. Ada banyak kekhawatiran bercokol di kepalanya. Bagaimana bila laki-laki itu justru meninggalkannya atau hanya bersamanya karena merasa kasihan. Airin membenci kondisi itu dan kondisinya saat ini

    Huling Na-update : 2022-02-09
  • Perempuan Kopi   Cinta yang Melapangkan (41)

    Hanna terduduk di atas kursi tunggu, merenung. Ia dinyatakan positif hamil, dengan usia kandungannya menginjak 8 minggu. Hanna ragu dengan kondisinya saat ini. Melihat hubungannya dengan Sandy yang lambat laun semakin terasa memburuk. Ia bingung harus berkata apa kepada laki-laki itu mengenai kehamilannya. Apa dia harus bicara dengan wajah berseri-seri atau sebaliknya. Hingga di satu malam, Hanna menemui laki-laki yang tengah duduk terpekur di pinggir kolam renang itu. Ia tak banyak bicara, hanya memberikan alat test kehamilan pada suaminya, lalu pergi begitu saja setelah laki-laki itu menerimanya. Sandy tertegun tatkala melihat dua garis merah yang nampak jelas itu. “Ya Tuhan, lihatlah. Kami benar-benar pasangan yang abnormal,” keluhnya kemudian. *** Pagi itu di dalam ruang kerjanya, Sandy hanya bisa duduk terpaku. Entah ia harus merasa bahagia atau sebaliknya. Ia ingin mengakhiri neraka rumah tangganya dan merebut hati Airin kembali. Namun, kehamilan Hanna serta merta membuatnya

    Huling Na-update : 2022-03-03
  • Perempuan Kopi   Hilangnya Airin (42)

    Adrian merasakan penat. Usai sesi konselingnya berakhir, ia mulai berjalan menyusuri koridor dan menaiki tangga darurat menuju roof top. Hanya di tempat inilah ia bisa menghisap rokok demi menetralkan pikirannya. Adrian menyalakan sebatang rokok dengan pematik, duduk berjongkok di sudut. Angin dingin berhembus di cuaca yang teramat cerah. Angin itu menebar kerinduannya pada Airin. Laki-laki itu tersenyum masam. Biar bagaimana pun dia benci kondisi seperti ini. Seharusnya Airin melarangnya menemui Tania. Bukan, justru sebaliknya. Ia bertransformasi menjadi ibu peri yang memberi ruang kepadanya dengan Tania. Dan, mengapa Tania berubah menjadi sosok yang tidak egois seperti dulu. Ini benar-benar memuakkan. Keduanya nampak aneh di mata Adrian. Sebuah pesan dari Tania masuk mengganggu siangnya yang tenang. “Adrian hari ini bisa datang ke apartemenku?” Laki-laki itu tampak berpikir sesaat. “Aku akan tanyakan kepada Airin.” Jawab Adrian. “Baiklah. Jangan memaksakan diri, ya.” Balasan Tania

    Huling Na-update : 2022-03-08
  • Perempuan Kopi   Mengejar Jejak Airin (43)

    Siang itu Adrian mengunjungi Juli. Perempuan yang tengah menikmati secangkir lemon tea hangat di meja kerjanya itu tampak terkejut melihat kedatangan Adrian. “Hai, Kak. Apa kabar?” sapa Adrian ramah. “Hai, Yan. Tumben.” Juli bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Andrian. “Duduklah. Umm…Kamu mau minum apa? Kopi atau teh?” “Tidak usah, Kak,” Adrian tersenyum, “sebenarnya aku sedikit terburu-buru,” jawab Adrian cepat. Juli menatap Adrian heran. “Ada apa, Yan? Kamu kelihatan khawatir?” “Apa Kak Rin menghubungi Kakak belakangan ini atau menemui Kakak?” Juli menggeleng. “Tidak. Ah! beberapa minggu yag lalu, dia bilang sedang fokus menulis, maka aku sengaja tidak mengganggunya. Itupun karena dia yang mengunjungiku.” Wajah Adrian memucat. “Yan, ada apa? Katakan, apa sesuatu telah terjadi pada Airin?” “Kak Rin menghilang, Kak,” ujar Adrian pelan. Juli tercengang. Wajahnya tampak memucat. Adrian kembali berujar, “Yang aku heran, ia tidak membawa apa pun. Bahkan ponselnya ditingga

    Huling Na-update : 2022-03-20
  • Perempuan Kopi   Seseorang Laki-Laki Bernama Alfian (44)

    Di dalam sebuah kamar, cahaya mentari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela. Seorang perempuan terbaring di atas ranjang berukuran sedang, dengan selimut abu-abu tua menutupi tubuh. Wajah pucatnya tertimpa cahaya yang datang membias. Serta merta perempuan itu menggeliat seraya membuka matanya pelan dan tertegun mendapati dirinya berada di dalam kamar yang nampak asing. “Di mana aku?” desahnya seraya menyibak selimut yang menutupi tubuh. Dengan cepat ia turun dari ranjang dan berlari ke arah jendela. Bibirnya sedikit terbuka. Boleh jadi, Airin terhenyak dengan apa yang dinampakkan oleh pandangan matanya. Bagaimana bisa ia berada di tengah hutan pinus dengan bunga-bunga perdu tumbuh liar di sana. “Ya Tuhan, aku pasti gila.” Perempuan itu pun menjauhi jendela dan berlari menuju pintu lalu berusaha membuka handle pintunya. Terkunci! “Bagus Airin,” desahnya kemudian. “Kau akan menemukan takdirmu di sini. Seseorang menculikmu. Padahal, kamu punya pilihan untuk mati. Ya Tuhan...”

    Huling Na-update : 2022-04-08
  • Perempuan Kopi   Sebuah Perdebatan (45)

    Amanda dengan tergesa-gesa keluar dari kamarnya. Perempuan berkacamata itu berjalan cepat menuju tempat Airin dan Alfian berada. Airin masih nampak tertidur, begitu pula laki-laki itu. Amanda membangunkannya pelan dan mengajaknya menjauh dari kamar tempat Airin terbaring. “Mereka sedang mencarimu. Apa kau tahu siapa perempuan yang bersamamu itu,” ujar Amanda cepat. Alfian menatap perempuan yang berdiri kaku di hadapannya. “Ya, tentu saja aku tahu.” “Lalu, bagaimana kau masih nekat membawanya. Kembalikan dia ke keluarganya atau kau akan mendekam di penjara.” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Kau menyukainya?” Alfian mengangkat bahu, “Aku tak butuh alasan untuk menahan dia di sisiku.” “Ayolah, Al. Hentikan permainan ini.” “Aku sedang tidak bermain-main. Mungkin perempuan itu sakit. Aku akan membereskan semuanya.” Amanda frustasi seketika. “Kau bukan siapa-siapanya. Jadi, biarkan keluarganya yang mengurus.” “Lakukan saja tugasmu, Amanda. Dan, jangan terlalu ikut campur dengan urusanku.

    Huling Na-update : 2022-04-09

Pinakabagong kabanata

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

  • Perempuan Kopi   Ulang Tahun Moza (72)

    Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar

  • Perempuan Kopi   Perempuan yang Berbeda (71)

    Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kendali (70)

    Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan

I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status