Andrian sedikit kecewa melihat Airin datang bersama Sandy ke rumah sakit tempat Tania di rawat. Namun, ia berusaha keras menguasai diri. “Ah, Mario. Ini adikku Adrian,” Sandy memecah kebisuan antara Airin dan Adrian dengan memperkenalkan dokter muda itu pada Mario. “Bukankah dia dokter juga?” tanya Mario seraya menjabat tangan Adrian. “Mario,” ujar laki-laki itu mantap. Adrian hanya tersenyum seraya mengangguk. “Baiklah, aku tinggalkan kalian. Kapan-kapan, kita ngobrol sambil ngopi, ya…” Mario mengakhiri pertemuan itu dengan ramah. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang kalian lakukan di sini berdua?” tanya Adrian seraya menggandeng Airin. “Kebetulah kami bertemu di jalan,” ujar Sandy cepat. Airin menatap Sandy sekilas. “Apa Kakak sudah hubungi Kak Hanna?” tanya Adrian. “Aku akan menghubunginya,” Sandy menjawab cepat. “Baguslah. Itu artinya, Kak Airin tak perlu menunggunya.” Airin menatap Adrian yang ditatap hanya tersenyum simpul. Walau demikian, perempuan itu bisa melihat kecemb
Adrian meletakkan semangkuk havermut di atas meja. Tania nampak masih tergolek di atas tempat tidurnya. Perempuan itu berangsur-angsur mulai membaik dan dokter telah mengizinkannya pulang hari ini. Ia terbangun tatkala Adrian membuka kaca jendela. “Ah! Sudah pagi…”desahnya. “Ya. Bangun dan segera habiskan sarapanmu.” Tania berusaha bangun dari tidurnya, lalu mengambil segelas air putih dan memindahkan isinya ke dalam perut. “Hari ini kita bisa pulang. Aku akan antar kau ke rumah orang tuamu.” “Jangan. Aku akan pulang ke apartemenku saja.” “Mereka akan sangat khawatir, Tania.” “Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri, Adrian.” Adrian terdiam. “Apa kamu bosan menemaniku?” tanya Tania pelan. “Bukan karena bosan, Tania. Tapi, lebih kepada aku yang tak bisa setiap waktu ada di sisimu. Kau tahu, aku terlalu lama mengabaikan Kak Rin. Selain itu, pekerjaanku pun menunggu.” Tania tersenyum. “Maafkan aku, Yan. Seharusnya, aku lebih tahu diri.” “Aku yang seharusnya minta
Di satu pagi yang terbilang mendung. Airin masih duduk di atas ranjang, sembari menatap kosong ke luar jendela. Sepanjang malam ia terjaga. Bukan untuk membereskan naskah, namun karena rasa cemas yang menekannya sedemikian rupa. Tidak ada satu ide pun yang terbetik dalam pikirannya kecuali masa lalu yang muncul tanpa diminta. Bukankah hingga detik ini, ia terus berusaha menghapus mimpi buruk di masa lalunya itu? Alih-alih menghilang, justru mimpi buruk itu kini memaksa hadir di depan mata. Ah! Seandainya saja Airin bisa lebih terbuka pada Adrian tentang masa lalunya, apakah laki-laki itu bisa membantunya? Masa lalu itu seolah lautan yang menenggelamkan dirinya dalam waktu yang begitu lama. Dan, hal itu membuatnya merasa frustasi. Namun, untuk berkata jujur pada Adrian pun ia merasa belum siap. Ada banyak kekhawatiran bercokol di kepalanya. Bagaimana bila laki-laki itu justru meninggalkannya atau hanya bersamanya karena merasa kasihan. Airin membenci kondisi itu dan kondisinya saat ini
Hanna terduduk di atas kursi tunggu, merenung. Ia dinyatakan positif hamil, dengan usia kandungannya menginjak 8 minggu. Hanna ragu dengan kondisinya saat ini. Melihat hubungannya dengan Sandy yang lambat laun semakin terasa memburuk. Ia bingung harus berkata apa kepada laki-laki itu mengenai kehamilannya. Apa dia harus bicara dengan wajah berseri-seri atau sebaliknya. Hingga di satu malam, Hanna menemui laki-laki yang tengah duduk terpekur di pinggir kolam renang itu. Ia tak banyak bicara, hanya memberikan alat test kehamilan pada suaminya, lalu pergi begitu saja setelah laki-laki itu menerimanya. Sandy tertegun tatkala melihat dua garis merah yang nampak jelas itu. “Ya Tuhan, lihatlah. Kami benar-benar pasangan yang abnormal,” keluhnya kemudian. *** Pagi itu di dalam ruang kerjanya, Sandy hanya bisa duduk terpaku. Entah ia harus merasa bahagia atau sebaliknya. Ia ingin mengakhiri neraka rumah tangganya dan merebut hati Airin kembali. Namun, kehamilan Hanna serta merta membuatnya
Adrian merasakan penat. Usai sesi konselingnya berakhir, ia mulai berjalan menyusuri koridor dan menaiki tangga darurat menuju roof top. Hanya di tempat inilah ia bisa menghisap rokok demi menetralkan pikirannya. Adrian menyalakan sebatang rokok dengan pematik, duduk berjongkok di sudut. Angin dingin berhembus di cuaca yang teramat cerah. Angin itu menebar kerinduannya pada Airin. Laki-laki itu tersenyum masam. Biar bagaimana pun dia benci kondisi seperti ini. Seharusnya Airin melarangnya menemui Tania. Bukan, justru sebaliknya. Ia bertransformasi menjadi ibu peri yang memberi ruang kepadanya dengan Tania. Dan, mengapa Tania berubah menjadi sosok yang tidak egois seperti dulu. Ini benar-benar memuakkan. Keduanya nampak aneh di mata Adrian. Sebuah pesan dari Tania masuk mengganggu siangnya yang tenang. “Adrian hari ini bisa datang ke apartemenku?” Laki-laki itu tampak berpikir sesaat. “Aku akan tanyakan kepada Airin.” Jawab Adrian. “Baiklah. Jangan memaksakan diri, ya.” Balasan Tania
Siang itu Adrian mengunjungi Juli. Perempuan yang tengah menikmati secangkir lemon tea hangat di meja kerjanya itu tampak terkejut melihat kedatangan Adrian. “Hai, Kak. Apa kabar?” sapa Adrian ramah. “Hai, Yan. Tumben.” Juli bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Andrian. “Duduklah. Umm…Kamu mau minum apa? Kopi atau teh?” “Tidak usah, Kak,” Adrian tersenyum, “sebenarnya aku sedikit terburu-buru,” jawab Adrian cepat. Juli menatap Adrian heran. “Ada apa, Yan? Kamu kelihatan khawatir?” “Apa Kak Rin menghubungi Kakak belakangan ini atau menemui Kakak?” Juli menggeleng. “Tidak. Ah! beberapa minggu yag lalu, dia bilang sedang fokus menulis, maka aku sengaja tidak mengganggunya. Itupun karena dia yang mengunjungiku.” Wajah Adrian memucat. “Yan, ada apa? Katakan, apa sesuatu telah terjadi pada Airin?” “Kak Rin menghilang, Kak,” ujar Adrian pelan. Juli tercengang. Wajahnya tampak memucat. Adrian kembali berujar, “Yang aku heran, ia tidak membawa apa pun. Bahkan ponselnya ditingga
Di dalam sebuah kamar, cahaya mentari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela. Seorang perempuan terbaring di atas ranjang berukuran sedang, dengan selimut abu-abu tua menutupi tubuh. Wajah pucatnya tertimpa cahaya yang datang membias. Serta merta perempuan itu menggeliat seraya membuka matanya pelan dan tertegun mendapati dirinya berada di dalam kamar yang nampak asing. “Di mana aku?” desahnya seraya menyibak selimut yang menutupi tubuh. Dengan cepat ia turun dari ranjang dan berlari ke arah jendela. Bibirnya sedikit terbuka. Boleh jadi, Airin terhenyak dengan apa yang dinampakkan oleh pandangan matanya. Bagaimana bisa ia berada di tengah hutan pinus dengan bunga-bunga perdu tumbuh liar di sana. “Ya Tuhan, aku pasti gila.” Perempuan itu pun menjauhi jendela dan berlari menuju pintu lalu berusaha membuka handle pintunya. Terkunci! “Bagus Airin,” desahnya kemudian. “Kau akan menemukan takdirmu di sini. Seseorang menculikmu. Padahal, kamu punya pilihan untuk mati. Ya Tuhan...”
Amanda dengan tergesa-gesa keluar dari kamarnya. Perempuan berkacamata itu berjalan cepat menuju tempat Airin dan Alfian berada. Airin masih nampak tertidur, begitu pula laki-laki itu. Amanda membangunkannya pelan dan mengajaknya menjauh dari kamar tempat Airin terbaring. “Mereka sedang mencarimu. Apa kau tahu siapa perempuan yang bersamamu itu,” ujar Amanda cepat. Alfian menatap perempuan yang berdiri kaku di hadapannya. “Ya, tentu saja aku tahu.” “Lalu, bagaimana kau masih nekat membawanya. Kembalikan dia ke keluarganya atau kau akan mendekam di penjara.” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Kau menyukainya?” Alfian mengangkat bahu, “Aku tak butuh alasan untuk menahan dia di sisiku.” “Ayolah, Al. Hentikan permainan ini.” “Aku sedang tidak bermain-main. Mungkin perempuan itu sakit. Aku akan membereskan semuanya.” Amanda frustasi seketika. “Kau bukan siapa-siapanya. Jadi, biarkan keluarganya yang mengurus.” “Lakukan saja tugasmu, Amanda. Dan, jangan terlalu ikut campur dengan urusanku.