Airin membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar. Rasanya seperti mimpi. Ia bisa kembali pulang, walaupun hanya ke rumah Juli. Airin coba memejamkan mata, kelelahan yang luar biasa menjangkiti sekujur tubuh, hati, hingga pikirannya. Tidak ada yang bisa dilakukannya, kecuali mengambil beberapa waktunya untuk tidur. Belum sempat ia terlelap, tiba-tiba perempuan itu kembali membuka mata. Entah datang dari mana, sekonyong-konyong bayangan laki-laki asing yang mengurungnya muncul tanpa diundang. Airin merasa terganggu dengan tatapan mata redup dari lelaki itu. Dan, di mana ia pernah melihat bola mata dengan warna hazel yang indah itu? Akhirnya, Airin memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia terlalu penat untuk berada di tempat tidur terlalu lama tanpa bisa memejamkan mata. Kondisi pikirannya yang memburai di tambah kelelahan membuatnya merasa payah. Perempuan itu mendudukan tubuhnya di atas sofa, seraya meraih remote televisi di sisi sofa. Sebuah berita tersi
Sebuah mobil carry terparkir di halaman rumah berarsitektur Belanda. Halaman rumah itu terbilang cukup luas dengan bunga-bunga tumbuh subur serta terawat. Seorang lelaki paruh baya keluar dengan tergopoh-gopoh demi menyambut tamu yang datang dari jauh. Setelah membayar supir carry, seorang perempuan menghambur ke arah lelaki tua itu. Di belakangnya berdiri kaku suami dan tiga anaknya, seorang laki-laki kurus berbadan jangkung dengan wajah yang tak ramah. walaupun, terbilang cukup tampan untuk anak seusianya. Dan, kedua putrinya yang satu berwajah oval dengan mata sipit serta gadis kecil dengan rambut ikal. “Kenapa kalian hanya diam,” ujar perempuan itu. “Beri salam pada kakek,” perintahnya. Ketiga bocah itu pun memberi salam. Sang kakek pun tersenyum. “Ayo masuklah dulu. Kalian pasti sudah lapar.” “Airin…Airin, di mana kamu,” laki-laki itu memanggil nama Airin. Seorang bocah cilik muncul dari atas tangga. Dengan sedikit berlari, ia menuruni tangga. “Lihat bibimu sudah datang.” A
Sandy tiba di rumahnya dalam kondisi semua lampu tidak menyala. Ia heran, karena mobil Hanna terparkir di garasi. Setelah menyalakan lampu, laki-laki itu menuju kamar istrinya dan mengetuk pintu. Tidak ada jawaban dari dalam. Sandy mendorong pintu kamar istrinya pelan. Ia terperanjat melihat perempuan itu terbaring di ranjang tak bergerak. Sandy menghampiri mencoba membangunkan Hanna. Sesuatu telah terjadi, Sandy tak ingin membuang waktu lagi. Laki-laki itu membopong istrinya dan dengan segera membawanya ke rumah sakit **** Adrian mendapati Tania di depan flatnya sepulang ia mengunjungi Airin. “Hai, Tania,” sapa laki-laki itu. “Sudah dari tadi?” Tania tersenyum mendengar pertanyaan Adrian lalu menggeleng. “Baru saja.” Adrian terdiam, “Aku ingin masuk…” ujarnya basa basi. “Mau aku buatkan sesuatu?” Adrian tampak berpikir sesaat, “Hmmm… aku tak yakin…” Tania merajuk, “Hmm… sayang sekali, aku tadi membeli dimsum dan mie instan sebelum ke sini.” Perempuan itu berujar seraya menunj
Adrian merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Laki-laki tampan itu mencoba kembali memejamkan mata, karena hampir semalaman ia terus terjaga. Namun, secara tiba-tiba bayangan Airin berkelindan dalam benaknya. Laki-laki itu menarik napas panjang. Pagi harinya dimulai dengan kelelahan yang teramat sangat; lelah hati dan juga pikiran. Maka, ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan menikmati secangkir kopi dengan ditemani pesan yang masuk dari Tania melalui ponselnya. “Kamu sudah sarapan?” Adrian menjawab singkat. “Belum. Mungkin nanti aku akan keluar sebentar untuk mencari sarapan.” “Baguslah, Yan.” Pesan Tania terhenti hingga di situ. Adrian kembali menyesap kopinya secara perlahan. “Mungkinkah Kak Rin berubah?” Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ucapan Airin menyakiti hatinya, namun ia tak juga bisa membenci perempuan itu. Sial! Adrian pun memutuskan untuk keluar, sekedar mencari udara segar dan sarapan. Namun langkah kakinya terhenti ketika melihat Sandy sudah ber
Adrian mendorong tubuh Tania lembut. “Tania maafkan aku…” desah Adrian. Tania terdiam beberapa saat, lalu ia tersenyum. “Lupakan, Yan. Anggap itu tak pernah terjadi.” Adrian beringsut mundur seraya menggigit bibirnya. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menekan dadanya. “Yan, kamu baik-baik saja, kan?” Tania menatap Adrian khawatir. “Dadaku nyeri sekali,” desah Adrian seraya memukul-mukul dadanya. “Kamu pasti kebanyakan merokok, Yan.” Adrian menggeleng. Tiba-tiba, ia teringat pada Airin. Kecemasan menghantuinya. “Kita ke rumah sakit, ya?” “Tidak usah. Aku ingin pulang saja dan beristirahat.” “Kalau begitu, aku antar, ya,” ujar Tania lagi. “Sudah malam. Kamu istirahat saja di rumah.” Setelah berkata demikian, Adrian keluar dari apartemen Tania. Ia terus berjalan menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya. Laki-laki itu melajukan mobilnya dengan pelan menembus gelapnya malam. **** Alfian berjalan cepat mengikuti petugas IGD melewati koridor yang tengah mendorong brankar dari ambu
Adrian membuka lembar demi lembar file berisi catatan keperawatan dan tindakan yang telah dilakukan pada Airin. Lagi-lagi, nama Alfian mengganggunya. Bagaimana mungkin, ‘kakak’ Airin tiba-tiba muncul begitu saja. “Terima kasih.” Adrian mengembalikan file yang selesai dibacanya kepada perawat. “Oh iya, ada siapa di dalam, selain Airin.” “Kakak pasien, Dok.” Lagi-lagi, Adrian mengernyit. “Kakak macam apa…” gerutu Adrian yang mulai didera oleh kecemburuan. Adrian berjalan menuju kamar Airin lalu mengetuk pintunya. Terdengar suara laki-laki dari dalam yang memintanya masuk. Dengan perlahan, Adrian membuka pintu seraya mengatur debaran jantungnya sendiri. “Apa yang harus aku lakukan di dalam?” Dan, tentu saja Adrian tidak menginginkan pemandangan ini. Ia melihat seorang laki-laki tengah mengelap wajah Airin dengan waslap. Yang lebih menyakitkan, Airin bersikap layaknya bocah cilik yang tengah dibersihkan oleh ibunya. Sudah barang tentu kehadiran Adrian membuat Airin sedikit terkejut
“Hanna, kamu tidak bekerja hari ini?” Sandy bertanya kepada istrinya yang tengah tergagap melihatnya. “Aku cuti.” Hanna menjawab cepat seraya mematikan ponselnya. “Apa kamu sakit?” “Tidak. Aku hanya sedikit lelah.” Sandy manggut-manggut lalu mundur teratur. Ia meninggalkan Hanna menuju kamarnya sendiri. Hanna melempar ponselnya ke atas ranjang seperginya Sandy, suaminya. “Apa dia mendengar sesuatu?” Hanna bergumam. Tubuh perempuan itu mulai gemetar. Dia tahu, ia telah melakukan sesuatu tapi tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. **** Setelah beberapa hari menjalani perawatan, Airin pada akhirnya diizinkan pulang. Alfian masih saja di sisinya. Yang mau tidak mau membuat Adrian dibakar cemburu. Namun ia tahu, Airin tidak bisa dipaksa. Maka, Adrian memilih memberikannya waktu untuk bisa berpikir jernih. Laki-laki itu masih meyakini bahwa Airin masih mencintainya. Kegelisahan Adrian tentu saja terbaca oleh Tania. Perempuan itu merasa peluangnya untuk mendekati Adrian makin b
Airin tertegun ketika Juli menyerahkan sebuah amplop berwarna kuning gading padanya, saat perempuan itu mengunjunginya di kantor. “Apa ini?” tanya Airin seraya menerima amplop tersebut. Netranya menatap Juli heran. “Buka saja. Nanti kamu juga tahu,” ujar Juli datar. Airin membuka amplop itu dan menarik secarik surat yang ada di dalamnya. Dibukanya surat tersebut. Airin menatap tulisan tangan Adrian yang tertera di sana dan mulai membaca kata demi kata yang digoreskan oleh lelaki itu. Perempuan itu pun terdiam, merasa seakan udara di sekelingnya menghampa dan napasnya pun terhenti. “Sebenarnya, apa yang kamu inginkan Airin? Apakah seperti itu?” Juli bertanya dengan nada menyindir. Airin menghela napas panjang. Lalu melipat kembali suratnya, sembari berujar pelan, “Ka-kapan kamu menerima surat ini, Juli?” tanya Airin. “Kemarin.” Airin kembali menghela napas panjang. “Baiklah. Te-terima kasih. A-aku harus pergi sekarang,” Airin berujar dengan kikuk. Perempuan itu keluar dari ru