Adrian membuka lembar demi lembar file berisi catatan keperawatan dan tindakan yang telah dilakukan pada Airin. Lagi-lagi, nama Alfian mengganggunya. Bagaimana mungkin, ‘kakak’ Airin tiba-tiba muncul begitu saja. “Terima kasih.” Adrian mengembalikan file yang selesai dibacanya kepada perawat. “Oh iya, ada siapa di dalam, selain Airin.” “Kakak pasien, Dok.” Lagi-lagi, Adrian mengernyit. “Kakak macam apa…” gerutu Adrian yang mulai didera oleh kecemburuan. Adrian berjalan menuju kamar Airin lalu mengetuk pintunya. Terdengar suara laki-laki dari dalam yang memintanya masuk. Dengan perlahan, Adrian membuka pintu seraya mengatur debaran jantungnya sendiri. “Apa yang harus aku lakukan di dalam?” Dan, tentu saja Adrian tidak menginginkan pemandangan ini. Ia melihat seorang laki-laki tengah mengelap wajah Airin dengan waslap. Yang lebih menyakitkan, Airin bersikap layaknya bocah cilik yang tengah dibersihkan oleh ibunya. Sudah barang tentu kehadiran Adrian membuat Airin sedikit terkejut
“Hanna, kamu tidak bekerja hari ini?” Sandy bertanya kepada istrinya yang tengah tergagap melihatnya. “Aku cuti.” Hanna menjawab cepat seraya mematikan ponselnya. “Apa kamu sakit?” “Tidak. Aku hanya sedikit lelah.” Sandy manggut-manggut lalu mundur teratur. Ia meninggalkan Hanna menuju kamarnya sendiri. Hanna melempar ponselnya ke atas ranjang seperginya Sandy, suaminya. “Apa dia mendengar sesuatu?” Hanna bergumam. Tubuh perempuan itu mulai gemetar. Dia tahu, ia telah melakukan sesuatu tapi tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. **** Setelah beberapa hari menjalani perawatan, Airin pada akhirnya diizinkan pulang. Alfian masih saja di sisinya. Yang mau tidak mau membuat Adrian dibakar cemburu. Namun ia tahu, Airin tidak bisa dipaksa. Maka, Adrian memilih memberikannya waktu untuk bisa berpikir jernih. Laki-laki itu masih meyakini bahwa Airin masih mencintainya. Kegelisahan Adrian tentu saja terbaca oleh Tania. Perempuan itu merasa peluangnya untuk mendekati Adrian makin b
Airin tertegun ketika Juli menyerahkan sebuah amplop berwarna kuning gading padanya, saat perempuan itu mengunjunginya di kantor. “Apa ini?” tanya Airin seraya menerima amplop tersebut. Netranya menatap Juli heran. “Buka saja. Nanti kamu juga tahu,” ujar Juli datar. Airin membuka amplop itu dan menarik secarik surat yang ada di dalamnya. Dibukanya surat tersebut. Airin menatap tulisan tangan Adrian yang tertera di sana dan mulai membaca kata demi kata yang digoreskan oleh lelaki itu. Perempuan itu pun terdiam, merasa seakan udara di sekelingnya menghampa dan napasnya pun terhenti. “Sebenarnya, apa yang kamu inginkan Airin? Apakah seperti itu?” Juli bertanya dengan nada menyindir. Airin menghela napas panjang. Lalu melipat kembali suratnya, sembari berujar pelan, “Ka-kapan kamu menerima surat ini, Juli?” tanya Airin. “Kemarin.” Airin kembali menghela napas panjang. “Baiklah. Te-terima kasih. A-aku harus pergi sekarang,” Airin berujar dengan kikuk. Perempuan itu keluar dari ru
Cahaya mentari menyusup melalui celah-celah pepohonan pinus. Seorang perempuan duduk di atas ayunan kayu, seraya membaca buku, tepat di halaman samping sebuah rumah putih bergaya Eropa. Disisinya, secangkir kopi dalam cangkir hitam nampak masih mengeluarkan asap tipis. Perempuan itu menutup buku bacaannya. Matanya menatap rerimbunan bunga lily paris dengan warna merah mudanya yang cantik. Seulas senyum terlukis di bibirnya. Tidak terasa lima tahun telah berlalu. Semua telah berubah, kecuali keberadaannya. Ia masihlah perempuan yang sama. Seorang penulis novel yang tetap rutin mengunjungi psikiatri untuk mendapatkan obat mood stabilizer. Airin menghela napas panjang. Ia bangkit dari duduknya lalu mulai berjalan menuju pintu samping. Mengambil ponselnya yang sejak tadi berada di atas sofa tak jauh dari pintu masuk, tepat di sisi jendela bergordyn putih yang bergerak ditiup angin. Sebuah pesan tertulis di sana. “Airin, hari ini aku akan mengunjungi Hanna. Apa kamu ingin menitipkan sesua
Seorang perempuan berjalan cepat menuruni anak tangga lalu menuju pintu depan. Dengan hati-hati, perempuan itu membuka pintu lalu wajah cantiknya pun terlihat cerah ketika seorang laki-laki muda berdiri di depan pintu.“Apa dia benar-benar tidak di rumah?” tanya pemuda itu pada perempuan di hadapannya.“Dia sedang tugas keluar kota. Kamu mau masuk?” tawar perempuan yang nampak menggoda dengan gaun satin berwarna putih itu.Laki-laki itu nampak ragu. Sejujurnya, baru kali ini ia diminta datang oleh perempuan yang dikenalnya beberapa bulan belakangan melalui salah seorang temannya.“Kenapa? Kamu ragu, Van?” tanya perempuan itu. “Atau, apa sebaiknya kita keluar saja malam ini?”“Sejujurnya, aku tidak terlalu merasa save di sini, Mir,” laki-laki itu memberi alasan.“Baiklah. Aku mengerti.”Laki-laki itu tersenyum. “Jadi, bagaimana kalau kamu berganti pakaian dan kita menghabiskan malam di luar?”Perempuan itu tersenyum. “Baiklah. Kau mau menungguku di dalam atau di sini?”“Menurutmu?”Kem
Amanda menatap Airin yang tengah bangkit dari duduknya. Airin tersenyum. “Hai, Dokter Amanda?” sapa Airin ramah. “Hai.” Amanda menjawab singkat. Nampaknya perempuan itu tidak ingin beramah tamah dengan siapa pun dan tak berniat untuk berlama-lama berada di sana. Airin memahami itu, karena ia sempat mendengar percakapan mereka di dalam, sebelum Airin memutuskan untuk duduk di beranda hingga pembicaraan mereka selesai. Amanda berlalu dari hadapan Airin, menuju kea rah mobilnya yang terparkir. Dengan tanpa basa-basi, perempuan itu melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah Alfian. Airin menatap Alfian. Laki-laki itu berbalik, berusaha menghindari tatapan mata Airin. “Kenapa harus mematahkan hatinya dengan sangat kasar, Al,” ujar Airin seraya mengekori Alfian menuju dapur. Laki-laki menyobek sesachet cappuccino lalu menuangkan bubuknya ke dalam cangkir. Airin menghampiri, lalu mengambil cangkir berisi bubuk cappuccino di hadapan Alfian kemudian mengisinya dengan air. Setelah mengadu
Moza meletakkan dua gelas air mineral di hadapan Alfian dan Airin. Di luar sana, mendung mulai menggantung. Sebentar saja, mungkin rancak hujan akan menyapa bumi. Nadia, bocah cilik dengan rambut di gelung asal itu duduk tidak jauh dari mereka. Ia sibuk bercerita dengan boneka pandanya yang buta.Airin terus menatap ke arah bocah cilik itu seraya sesekali tersenyum. “Seandainya pernikahanku di karuniai seorang bocah mungil seperti itu, mungkin jalan hidupku akan berbeda,” pikir perempuan itu.“Sejak kapan kamu tinggal di sini?” tanya Alfian pada adik perempuannya.“Setahun yang lalu, Kak.”Alfian manggut-manggut. Matanya mengawasi sekeliling. Lalu, jatuh pada bocah cilik di sudut ruang.“Nadia. Dia anak keduaku, Kak. Kakaknya meninggal ketika berusia 9 bulan karena kejang.”“Di mana suamimu?”Moza menggeleng. “Setelah melahirkan Nadia, dia pergi bersama perempu
Siang yang begitu terik. Airin duduk di salah satu ruang tunggu penjara perempuan. Wajah perempuan itu tampak cerah tatkala Hanna muncul dari balik pintu.“Hai, Han,” sapanya tulus.Hanna tersenyum. “Bagaimana kabarmu, Airin?”“Seperti yang kamu lihat. Aku mungkin baik-baik saja, atau sebaliknya. Entahlah…”Hanna tersenyum. “Bagaimana kabar Adrian? Kemarin Sandy mulai mengeluhkan perilaku adiknya itu.”Wajah Airin nampak sedih. “Entah. Kupikir ia akan menghubungi kakak laki-lakinya. Tapi, aku salah…”“Sudahlah. Mungkin dia butuh waktu. Kami telah menyulitkan hidupnya secara tidak langsung kemarin.”Airin tersenyum.“Tania pun menanyakan kabarnya pada Sandy,” desah Hanna.“Jadi, dia tidak menghubungi Tania?”Hanna menggeleng. “Kurasa, sebelum Adrian pergi mereka sempat bertengkar hebat.”“Benarkah?”“Adrian tidak sungguh-sungguh menerima Tania kembali. Itu yang aku tahu.”Airin terdiam.“Kamu harus tahu bagaimana mempertahankan apa yang kamu miliki, Airin.”“Aku terkesan padamu, Han. K