Tania Hermawan, 19 tahun harus menerima perjodohan dan menikah dengan Nero, 39 tahun, sahabat baik papanya karena suatu alasan. Nero, yang sejak dulu menganggap Tania sebagai keponakan, kini harus menerima kenyataan bahwa sekarang wanita itu adalah istrinya. Bagaimanakah kehidupan rumah tangga mereka? Cover by Canva Picture by Pixabay Follow me on IG @riniermaya
Lihat lebih banyakSeorang gadis kecil berlari menuju ke depan, saat melihat sesosok orang yang dia sayang datang berkunjung. Sudah lama mereka tak bertemu. Itu membuatnya rindu.
"Om Nerooo ...!"
Tania nama gadis kecil itu. Dengan hati riang gembira menyambut dan memeluk lelaki yang dia sebut Nero tadi.
"Tania sayang."
Nero balas memeluk dan menggendong gadis kecil itu, lalu berputar-putar sebentar. Mereka sama-sama tertawa dan merasa senang.
"Om lama enggak datang."
Tania merajuk dengan bibirnya yang ditekuk, tetapi setelah itu tersenyum senang. Tangannya masih erat memeluk Nero.
"Ini kan lagi tugas keluar kota," jawab Nero. Dia kemudian menurunkan gadis itu dari gendongan.
"Tania kan sendirian. Papa sibuk terus," ucap gadis itu mencibir.
Sikapnya yang seperti itu malah tampak lucu dan membuat Nero tertawa terbahak-bahak. Diusapnya kepala Tania dengan penuh kasih sayang.
"Ini Om udah pulang. Ayo, nanti kita jalan-jalan!" bujuknya.
Tanua mengangguk senang dengan mata yang berbinar.
"Mana oleh-oleh buat Tania?" ucapnya sembari mengulurkan tangan.
"Ini, om bawain." Nero mengeluarkan sebuah tas kertas dan menyerahkannya.
Tangan gadis kecil berusia sepuluh tahun itu dengan cepat mengambilnya. Dengan tak sabar, Tania segera membuka bungkusnya. Tampaklah sebuah boneka Barbie original keluaran terbaru.
"Asyik! Boneka baru."
Tania bersorak kegirangan. Tubuh kecilnya melompat-lompat, membuat Nero semakin keras tertawa.
Tak lama, seorang pria keluar dari dalam dan berjalan menuju ke arah mereka.
"Papa. Om Nero udah datang, tuh!"
Tania berjalan menuju papanya. Lelaki itu tersenyum melihat kelakuan putrinya.
"Tania, om baru datang kok enggak disuruh duduk. Malah dimintain oleh-oleh."
Si papa yang bernama Bram itu menyambut kedatangan sahabatnya.
"Halo, Mas. Apa kabar?"
Dua orang lelaki itu berpelukan dan saling melepas rindu.
"Papa, aku ke kamar dulu, ya. Mau main boneka baru," celetuknya dengan gaya centil khas anak-anak. Bram mengangguk.
"Dadah Papa. Dadah Om Nero." Tania berlari masuk ke dalam kamar. Samar-samar terdengar suaranya yang sedang asyik bermain sendirian.
Bram menoleh ke arah sang tamu, dan mengajaknya berbicara.
"Betah kamu di Sidney? Sampai lupa pulang." Bram menepuk bahu Nero.
"Yah, memang training-nya lama, Mas. Mau gimana lagi. Tapi, masih lebih enak di kampung sendiri. Di sana aku gak cocok makanan." Nero menjelaskan.
Bram tertawa geli mendengarnya. Beberapa kali sahabtanya memang menelepon untuk meminta pulang. Dia lebih suka sambal cobek daripada roti dan kawan-kawannya. Lagi pula cuaca dan kebiasaan penduduk di sana berbeda, jadi dia harus cepat beradaptasi.
Bram menahan dan melarangnya pulang sebelum training selesai. Nero harus banyak belajar mengenai pengelolaan perusahaan dengan baik. Jika sewaktu-waktu dia berhalangan, maka lelaki itu yang akan menggantikan posisinya.
"Ayo duduk dulu."
Bram mempersilakan. Sedari tadi mereka berbicara sambil berdiri. Nero mengambil tempat duduk di tengah.
"Ehem!"
Terdengar suara seorang wanita memutus percakapan mereka. Bram menoleh. Dia baru sadar setelah wanita itu memberi kode dengan suara batuknya. Ternyata sedari tadi bersembunyi di belakang. Tubuh kecilnya, terlindung di balik kokohnya punggung Nero.
"Nah, siapa yang dibawa ini? Belum kamu kenalin sama mas," tanya Bram penasaran.
"Eh, lupa. Ini Saskia. Pacarku, Mas." Nero mengenalkan kekasihnya.
Wanita cantik itu menyambut uluran tangan Bram dan menyebutkan nama.
"Saskia."
"Cantik, ya."
Bram sengaja memancing. Melihat ekspresi Nero yang berubah saat kekasihnya digoda, membuatnya menahan senyum.
Raut wajah Nero terlihat tidak senang saat Bram mengucapkan kata-kata itu.
"Kita udah tunangan, nih," jawabnya pelan.
"Wah, wah. Tiga bulan ninggalin tanah air, pulang-pulang udah tunangan aja. Selamat, ya," ucap Bram.
"Thanks, Mas. Aku langsung lamar aja dia. Takut keduluan orang lain," ucapnya.
Jawaban jujur Nero tadi membuat mereka tergelak. Saskia yang sedari tadi memilih diam pun akhirnya ikut tertawa. Semakin tampak cantiklah dia.
"Hebat kamu. Mas enggak nyangka akhirnya laku juga."
"Yah, dari pada gigit jari. Mending langsung ditandain aja," cengir Nero, yang membuat Bram semakin geli.
Saskia tersenyum memandang calon suaminya. Menatap wajah tampan lelaki yang duduk di sebelahnya.
"Eh, sebentar dibawakan minuman."
Bram berteriak memanggil asisten rumah tangga dan meminta dibawakan suguhan.
"Ayo ceritain lagi, kapan kamu kenalan sama si cantik ini?" Bram kembali bertanya.
"Ah, Mas ini godain terus?" ucap Nero sembari tertunduk malu.
"Kami ketemu di pantai. Waktu itu aku lagi ada gathering sama temen-temen kantor. Nero ngajak kenalan," jawab Saskia. Akhirnya bicara juga dia.
"Nah, Nero memang seneng tuh kalau ke pantai. Seneng liat bikini dia," bisik Bram sengaja mengompori.
"Mas ini, jangan buka rahasia. Nanti dia ngambek, gimana?"
Serius sekali nada bicara Nero, seperti takut akan kehilangan wanita di sampingnya.
"Kita jalan bareng, ngerasa cocok aja. Terus, jadian." Saskia melanjutkan pembicaraan.
"Kamu pasti wanita spesial sampai si player ini akhirnya bertekuk lutut, dan mau menikah. Iya, kan?" tanya Bram sambil menggali informasi lebih banyak.
Memang benar dia sangat penasaran. Secara Nero ini adalah pemain wanita. Entah sudah berapa kali dia menasehati dan mempertemukan sahabatnya itu dengan beberapa wanita kenalannya. Hasilnya? Ditolak.
Sepertinya, Saskia ini punya sesuatu yang berbeda sehingga Nero bisa takluk. Selain cantik, wanita itu pastilah pintar.
"Player? Hem, pasti pacarnya banyak." Saskia mengerling ke arah kekasihnya.
Nero sendiri tersenyum kecut.
"Kamu belum tau, ya? Dia ini salah satu idaman wanita di sini. Tapi hatinya batu, susah ditembus kalau disinggung soal pernikahan."
Bram mengerling Nero yang sejak tadi hanya tertunduk. Sungguh pesona Saskia begitu kuat sampai si playboy itu diam saja.
"Oh, ya?" Saskia mengamit lengan calon suaminya.
"Kamu wanita beruntung. Dari sekian banyak pacarnya, dia memilihmu." Bram tersenyum menatap wanita itu.
"Mungkin memang sudah jodohnya, Mas," jawab Nero menimpali.
"Ya, syukurlah. Memang sudah waktunya kamu menikah. Nggak baik kalau lama-lama sendiri." Bram kembali menasehati.
"Ini, Mas." Nero membuka tas dan menyerahkan sebuah undangan.
Bram mengambilny, lalu membuka dan mulai membaca.
"Wah, selamat. Bulan depan ini. Cepat banget."
"Kita percepat soalnya Saskia mau balik ke sini ikut aku. Dia mau beresin dulu kerjaan yang ada di sana," jelas Nero.
"Oh, ya? Bagus, dong! Jangan LDR, enggak enak. Berat diongkos."
Tawa bergema di ruangan itu.
"Mas Bram wajib datang." Saskia melanjutkan pembicaraan.
"Pasti. Kami pasti datang. Tania pasti seneng omnya mau nikahan." Bram mengangguk untuk menyakinkan.
"Aku mau mas jadi saksi di pernikahan kami nanti. Inilah maksud kedatangan kami ke sini."
Nero menarik napas kemudian berkata. "Mas mau, ya?"
Bram tak menyangka ternyata sahabatnya ini meminta dia menjadi saksi untuk sebuah momen penting.
"Saksi? Boleh. Mas mau sekali."
Bram merasa senang. Suatu kehormatan baginya, bisa mendampingi dan menyaksikan langsung acara itu.
"Aku udah anggap Mas seperti kakak sendiri. Sudah sepakat kalau Mas yang jadi saksi nanti di pernikahan kami."
Nero menoleh ke arah calon istrinya.Bram tersenyum dan kembali mengangguk.
"Pasti. Apa pun mas akan lakukan untukmu, Nero. Asal kamu bahagia. Kamu juga sudah mas anggap seperti adik sendiri," ucap Bram menepuk bahu Nero.
"Terima kasih, Mas."
"Selamat, Nero. Akhirnya, kamu menemukan pelabuhan hatimu."
Lama mereka berbincang, hingga akhirnya Nero dan Saskia berpamitan pulang. Mereka berpelukan lama sebelum berpisah.
* * *
Suara tangisan gadis di kecil di sebuah ruangan terdengar memilukan. Gadis itu sudah didandan cantik dengan gaun selutut dan bando dengan warna senada.
Bram menatap putrinya dengan putus asa karena sejak tadi sudah mencoba membujuk tetapi hasilnya gagal. Laki-laki itu bahkan menjanjikan banyak hal tetapi tetap ditolak, hingga akhirnya dia ingin menyerah.
"Ayo, Tania. Kita keluar. Acaranya sebentar lagi dimulai," bujuknya lagi.
"Enggak mau!"
Tania menggeleng, menolak untuk ke luar ruangan. Dia merajuk sejak tadi, merasa tidak terima dengan keputusan Nero yang akan menikah hari ini.
"Jangan begitu. Masa omnya mau nikahan malah sedih. Kan harusnya kamu senang dapat tante baru."
Bram mengusap kepala putrinya, mencoba menenangkan. Kalau sudah begini, putrinya sulit untuk dirayu. Jikapun bisa, butuh waktu yang lama dengan negosiasi yang alot. Kadang jika dia malas, laki-laki itu malah meninggalkannya begitu saja. Mungkin, memang hanya Nero yang bisa.
"Om jahat! Nanti om Nero gak sayang lagi sama aku," jawabnya. Memang anak ini pintar sekali berbicara, pandai juga menjawab ucapan orang tua.
Bram menggelengkan karena tak habis pikir.
"Kok, ngomong gitu? Om Nero pasti tetap sayang sama kamu. Ini kan om nikah biar ada temannya. Kasian ke mana-mana sendirian. Tante Saskia juga baik sama kamu. Masa enggak boleh nikahan sama om."
Bram menjelaskan panjang lebar agar gadis kecil itu luluh.
"Tapi nanti Om sibuk. Enggak ajak Tania jalan-jalan lagi," jawabnya dengan bibir yang masih ditekuk.
Bram tertawa geli. Ternyata putrinya ini cemburu pada Saskia. Sejak kecil Tania memang dekat dengan omnya. Apalagi semenjak dia menjadi duda karena kematian istrinya. Nero yang selalu menemani, membujuk saat anak itu merajuk dan juga mengajak berjalan-jalan.
Bram memang sibuk mengelola perusahaan yang diwariskan oleh keluarga. Selama ini memang Nero yang banyak memberikan perhatian pada putrinya.
Semenjak tahu bahwa Nero akan menikah, Tania tidak terima. Anak itu merajuk berhari-hari dan menduga bahwa perhatian omnya akan terbagi. Tadinya untuk dia semua, sekarang harus berbagi dengan Saskia.
Tania merasa tantenya itu telah merebut om kesayangangnya. Dasar anak-anak.
Melihat Tania yang masih saja ngotot tak mau keluar, akhirnya Bram memutuskan untuk menyusul Nero ke depan dan meminta bantuan lelaki itu untuk membujuk. Jika putrinya tidak mau juga, acara akan akan dilanjutkan.
Gadis kecil itu membuat papanya kebingungan. Pasalnya, Nero tidak mau acara dimulai kalau keponakannya itu tidak ada. Lelaki itu mau kalau Tania ikut serta menyaksikan. Untung saja masih ada waktu dan penghulunya tidak terburu-buru. Jadi, masih bisa diusahakan.
"Ada apa, Mas?"
"Ngambek dia. Gak terima kamu mau nikah."
"Terus?"
"Kamu bujuk dulu sana. Mana tau mau keluar," pinta Bram.
"Acara udah mau dimulai, Mas. Kasihan penghulunya kalau kelamaan."
"Yaudah kalau gitu mulai aja. Gak usah nunggu Tania lagi. Kasihan Saskia juga," ucap Bram.
Mereka berunding sebentar, lalu Nero meminta izin ke dalam. Laki-laki itu akhirnya mengalah dan mengekori Bram. Mereka berdua segera masuk ke ruangan. Sedari tadi, semua orang sudah menunggu.
Sebelum Bram datang membujuk, sebenarnya sudah keluarga lain yang berusaha merayu Tania, tetapi tetap saja anak itu tidak mau.
"Kok cemberut?"
Nero menghampiri Tania dan berjongkok di hadapan gadis kecil itu. Tak perduli beskapnya akan menjadi kusut karena perbuatannya.
"Huh!"
Tania membuang pandangan dan melipat tangan di dada tanda tak mau bicara. Melihat kelakuannya, Bram dan Nero saling berpandangan kemudian tertawa. Lucu sekali memang.
"Ayo kita ke depan. Rame loh di luar."
"Gak mau!"
Nero menutup mulut karena geli, lalu berkata, "Banyak makanan, ada kue-kue sama bakso kesukaan Tania."
Mendengar kata-kata bakso, sikap Tania mulai berubah. Namun, dia kembali membuang pandangan karena tidak mau tergoda.
"Aku enggak mau!" Suara kecil itu nyaring terdengar.
Nero mengusap wajah, lalu menghela napas sebelum berbicara kembali.
"Masa'? Baksonya beneran enak. Om tadi makan sampai kepedesan."
Nero masih berusaha. Biasanya lama-kelamaan Tania akan melunak, hanya memang harus sabar. Anak ini pintar sehingga tak mudah dipengaruhi.
"Om jahat! Nanti Om udah enggak sayang aku lagi." Tania kembali menekuk bibir.
"Kata siapa om enggak sayang sama kamu?" tanya Nero penasaran. Ternyata inilah penyebab anak itu tidak mau keluar.
"Kata aku. Nanti kalau ada tante, Om enggak mau ajak aku jalan-jalan."
Nero tergelak lalu kembali mengatur mimik wajah agar terlihat serius.
"Ya enggak, lah. Om tetap sayang sama keponakan yang cantik ini." Nero mencubit pipi yang membuatnya gemas.
"Bohong!"
Tania memalingkan wajah. Ekspresinya yang sedang cemberut dengan bibir yang ditekuk membuat Nero mengulum senyum.
"Walaupun udah ada Tante Saskia, om tetap sayang sama kamu." Nero menunjukkan jari kelingkingnya.
"Beneran?" Mata kecil gadis itu berbinar senang.
Nero mengangguk untuk meyakinkan. Dalam hati berucap semoga Tania mau mendengarkan ucapannya kali ini.
"Janji?"
"Janji!" Nero mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.
"Kalau om bohong nanti aku ngambek." Gadis kecil berbulu mata lentik itu kembali memasang wajah cemberut.
Nero hanya bisa menggeleng melihatnya.
"Beneran. Sumpah!" Kali ini dia sedikit mengeraskan suara, supaya lebih menyakinkan.
"Yaudah kalau gitu. Aku mau makan bakso yang banyak."
Tania mengaitkan jari kelingkingnya ke jari Nero. Deal, sudah akur lagi mereka.
Nero menggandeng lengan Tania dan mereka keluar bersamaan. Acara pun dimulai. Ijab dan kabul sudah dilaksanakan. Kini, dia dan Saskia sudah sah menjadi suami istri.
Setelah melewati prosesi, kini para tamu dipersilakan untuk mencicipi hidangan. Tania mengambil kue-kue dan meminta semangkuk bakso. Tak lupa es krim dua rasaa yang dia suka.
Ovi, tantenya membantu menyuapkan makanan. Hari ini dia begitu senang. Ada banyak orang, juga makanan. Ada teman-teman yang seumuran dengannya. Jadi, dia bebas bermain dan tidak merasa kesepian lagi. Semua orang bisa bernapas lega.
Hingga sore menjelang, acara pernikahan pun selesai. Semua orang meninggalkan tempat itu dengan hati bahagia.
***
Baca ceritaku yang lain juga ya. Dijamin seru dan beda. Pesona Bos Tampan, Bawang Merah Bawang Putih, Perawan Menjadi Taruhan.
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen