Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang.
Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai.
"Kamu kenapa?"
Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur.
"Luka," jawabnya sesegukan.
"Bentar, om ambilin plester."
Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya.
"Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah lima tahun yang menangis karena balonnya diambil.
"Kamu ngapain main pisau segala? Biasanya gak pernah ke dapur juga."
Kali ini gliran Nero yang memarahinya. Gantian, biar seri. Satu sama.
"Aku mau masak mie. Aku lapar."
Suara rengekan Tania kali ini mirip seperti anak kecil yang ketahuan oleh ibunya sedang mencuri-curi bermain pisau di dapur.
"Kan bisa delivery. Ngapain juga masak? Biasanya kalau laper kamu kabur-kabur aja beli di luar," tanya Nero menyudutkan. Lelaki itu seperti seorang polisi yang sedang meng-interogasi seorang tahanan.
"Aku maunya indomie rebus pake sayur," jawab gadis itu dengan manja. Saat bicara saja bibirnya sengaja ditekuk begitu.
"Kenapa kamu enggak bangunin om?" tanya lelaki itu sedikit emosi.
Nero begitu panik saat melihat kondisi istrinya. Sementara itu, Tania masih meringis kesakitan dengan mulut yang meniup bagian luka.
Tania menatap suaminya dengan gamang, hendak berucap tetapi lidahnya kelu. Dalam hati gadis itu begumam, tentu saja dia tidak mau masuk ke kamar Nero. Dia takut.
"Kalau kayak gini, mulai besok Bik Ijah datang ke sini."
Nero mencoba membujuk Tania. Dia tidak tega melihat istrinya harus kerepotan di dapur, karena sejak kecil memang tidak pernah melakukannya.
"Jangan!" jawab gadis itu cepat.
Sikapnya benar-benar membuat Nero begitu geram. Setiap kali Tania membantah ucapannya, lelaki itu ingin menjewer kupingnya agar mau mengerti.
"Udah, jangan bantah!" Nero balik membentak. Lama-lama dia kesal juga.
Mendengar nada amarah Nero, suara tangisan Tania makin menjadi. Gadis itu sengaja terisak agar suaminya menjadi iba.
Setelah menikah, Nero membawa Tania tinggal di rumahnya. Itu juga atas permintaan Bram. Walaupun kepindahan mereka itu mirip seperti drama sinetron, penuh dengan derai air mata. Gadis itu awalnya tidak mau tinggal berdua saja dengan suaminya.
Bram meminta Ijah, pengasuh Tania sejak kecil diikut-sertakan. Namun, gadis itu menolak karena tidak mau ada orang lain di rumah Nero. Dia khawatir ada yang mengadu kepada sang papa karena tidak mau sekamar dengan suaminya. Semua orang dibuat bingung dengan sikapnya yang masih labil.
Selama ini Nero selalu mengirim sejumlah uang yang cukup untuk kebutuhan Tania sehari-hari. Itu di luar pemberian Bram yang dia tidak tahu berapa jumlahnya.
Untuk makan sehari-hari Nero membebaskan Tania memilih atau membeli apa saja yang disuka. Dia diberikan mobil tapi harus izin jika keluar rumah. Kadang-kadang Nero memesan online jika sedang tidak sibuk.
"Udah, jangan nangis. Maafin om, ya. Cuma khawatir kamu kenapa-napa." Nero meraih gadis itu dalam pelukannya. Kasihan juga anak ini.
Tania balas memeluk. Sebenarnya dia suka bermanja-manja seperti ini.
Jantung Nero berdetak lagi saat bersentuhan. Dia menelan ludah dengan wajah memerah. Kenapa sekarang rasanya berbeda?
"Eh, Om."
Tania melepaskan pelukannya. Nero juga ikut tersadar. Mereka sama-sama malu.
"Kamu tunggu. Duduk di situ. Om bikinkan mie rebus pake sayur."
Nero mengambil alih dapur. Biar begini juga dia masih lebih jago memegang pisau dibanding istrinya.
Tania mengangguk dan memilih duduk melihat omnya beratraksi memotong sayuran, merebus mie dan telur. Perutnya sudah sangat lapar minta diisi. Sepuluh menit semuanya selesai.
Nero meletakkan dua mangkok besar di meja makan. Mata Tania berbinar-binar melihatnya. Asap panas mie yang masih mengebul membuatnya kalap. Dia makan dengan lahap. Dua porsi indomie rebus habis dalam sekejap. Tania menambahkan banyak cabai di dalam kuahnya. Sehingga beberapa kali mulutnya berdecap karena kepedasan.
Anak-anak masa pertumbuhan makannya banyak juga. Nero berkata dalam hati sambil mengulum senyum. Dia sendiri sudah menghabiskan mie-nya sejak tadi. Memang enak, makan mie berkuah panas di tambah sayuran dan cabai rawit.
"Mulai besok Bik Ijah ke sini. Nanti om telepon papa." Nero masih mencoba membujuk rayu.
Tania menggeleng.
"Kenapa?" Lelaki itu menatap istrinya galak. Sengaja, selama ini dia sudah sabar menghadapi kelakuan bocah ini.
"Nanti Bik Ijah ngadu sama papa," katanya dengan wajah memelas. Memasang puppy eyes, membuat Nero menjadi tidak enak hati.
"Ngadu apa?" Tatapan matanya tajam. Mencari tau alasan kenapa gadis itu menolak.p
"Pokoknya aku enggak mau aja." Tania mengalihkan pembicaraan.
Akhirnya, dia mau juga bicara. Sebulan ini rumah mereka seperti neraka. Suara teriakan, amarah, isak tangis, dan bantingan pintu membuatnya tidak betah.
"Yaudah. Bik Ijah sampai sore saja. Habis itu pulang."
Tania balas menatap. Nero berasa perutnya mulas dilihat seperti itu.
"Terserah om aja, deh. Tapi gak usah bilang sama Bik Ijah, kalau kita pisah kamar ..."
Wajah Tania terlihat ketakutan saat mengatakan hal itu. Akhirnya dia mengalah juga, dengan syarat tentunya.
Nero mengerti. Ternyata ini alasannya kenapa dari awal dia tidak mau Ijah di bawa ke sini.
"Gitu dong dari tadi. Pake nangis segala."
"Iya, deh. Lagian aku bosen beli di luar. Makanya tadi pengen masak mie," jawabnya polos.
Melihat ekspresi Tania yang menggemaskan, rasanya Nero ingin menciumnya kalau begini.
"Lain kali kalau ada apa-apa bilang sama om," bujuknya. Kasihan juga dia melihat gadis itu terluka.
"Enggak mau. Aku takut." Matanya menatap Nero ragu. Sesekali melirik wajah lelaki itu. Batinnya berkata, dia suamimu Tania.
"Takut apa?" Nero menjadi bingung. Apalagi ini?
"Takut om marah."
Tania menunduk, memainkan sendok yang ada di mangkok. Tangannya gemetaran, gelisah karena suaminya sedang menatapnya tajam.
"Kenapa om harus marah?"
Nero melipat tangan di dada. Sebenarnya bukan untuk menakuti, hanya mengurangi grogi saat berdekatan dengan gadis ini.
Gadis? Iya. Tania masih gadis, belum dia sentuh sama sekali. Mungkin suatu saat dia akan melakukannya. Entah kapan waktunya tiba, semoga nanti akan ada keajaiban datang.
"Kan aku suka ngusir-ngusir. Aku sebel sama om." Dia tersipu malu saat mengakui semua kesalahannya.
Nero tertawa dalam hati. Dasar bocah. "Kenapa sebel?"
"Aku enggak mau nikahan sama om."
"Kan papa yang minta. Om nikahin kamu buat jagain." Kali ini Nero menggeser duduknya. Posisi mereka lebih berdekatan. Dia bahkan bisa berbisik di telinga Tania.
"Aku enggak terima." jawabnya cepat. Memang dia tidak mau kan?
"Tapi kita kan udah nikah. Gimana, dong?" Nero tersenyum geli. Lucu sekali kalau sudah begini.
"Om gak marah sama aku?"
"Enggak, asal kamu jangan ngambek terus. Om bingung harus gimana kalau kamu dikit-dikit marah."
Nero mengusap kepala Tania dengan lembut, memainkan anak rambut yang terjuntai di kening. Wajah gadis cantik itu berseri senang dengan senyum yang merekah indah.
"Yaudah besok Bik Ijah ke sini temenin aku. Tapi dia jangan nginap," Itulah syarat yang Tania ajukan.
Nero mengiyakan. Nada suaranya kali ini melembut penuh dengan kasih sayang. Lelaki itu mengalah lagi, daripada harus ribut dan membuat kepalanya semakin pusing.
"Asyik. Makasih, Om." Gadis itu hendak memeluknya, tapi tangannya yang luka tersenggol bahu Nero.
"Aduh!" Tania meringis.
"Kenapa lagi?" tanya Nero heran.
"Sakit ...."
"Hah, dasar manja. Baru luka sedikit sudah mewek. Belum kalau ku--"
Nero menggantung ucapan. Pikirannya sekarang berkelana entah ke mana.
Tania tampak ragu-ragu. Sedari tadi dia bolak-balik, ingin mendekati suaminya tetapi sungkan. Gadis itu mengusap telapak tangan berulang kali karena gugup. Nero nampak serius sekali mengerjakan laporan. Entah kenapa kali ini dia membawa semua alat kerja di ruang keluarga. Biasanya juga di dalam kamar. "Om." Tania mendekati Nero yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya. "Apa?" Nero menaikkan kacamata tetapi masih fokus menatap layar. Jika sudah banyak kerjaan begini, dia bisa lupa waktu. "Om," rengeknya lagi. Merasa diabaikan, Tania berkali-kali mencolek bahu bahu suaminya untuk meminta perhatian. "Apa?! Ngomong aja, gak usah manja." Nero masih mengetik sesuatu di keyboard. Dia sebenarnya tidak suka diganggu saat bekerja karena bisa hilang konsentrasi. Apalagi kalau pengganggunya cantik begini, bisa buyar semuanya.
"Pagi, Om." Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur. Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Pastinya cantik dan harum menggoda. Nero menatap meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan. "Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu per satu menu yang tersaji. "Bukan. Ini masakan Bibik," jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan. "Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero mencari sosok wanita paruh baya yang sedari tadi tak nampak. "Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawab Tania santai. "Ayo, makan. Om pasti lapar, kan? Aku temenin." Tania duduk di sebelah Nero, lalu mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya.
Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya. Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup. "Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero. Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali. "Ke Singapura," jawab Nero. "Masa?" "Kenapa, kangen sama papa ya?" Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpur
Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon. "Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah. "Tania, kamu gimana sama om Nero? Udah apa belum?" tanya suara di seberang sana. "Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos. Benarkan Nero bilang begitu? "Hah! Emang kamu cinta sama dia?" "Ya gak, lah. Masa aku cinta sama om-om." "Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan. "Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal." Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu
Mereka duduk termenung di bandara. Pesawat yang ditumpangi Bram terlambat tiba dari jadwal yang telah ditetapkan. Sudah setengah jam mereka menunggu, belum ada tanda-tanda akan landing. "Kok lama, ya?" Tania mulai bosan. Dia mengetukan jari telunjuk di meja. Mereka memilih sebuah restoran sambil menunggu. "Iya, nih. Tumben maskapai segede itu bisa delay." Nero menyeruput kopi panasnya, lalu mengambil sebuah roti sebagai cemilan pengganjal perut. Mereka terdiam dalam bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa kali Nero melirik orang-orang yang berjalan melewati tempat makan. Tania sendiri memilih untuk bermain game cacing yang sedang fenomenal. "Tania." Seorang memanggil namanya. Tania memalingkan wajah mendengar namanya disebut. Saat melihat siapa sosok yang menghampiri mereka, seketika pipinya memerah. Kenapa harus bertemu di sini, sih?
Tania mendorong tubuh Nero. Perlakuan lelaki itu membuatnya merasa tak nyaman. Tubuhnya meronta, belum bisa menerima sang suami. "Sayang," bisik Nero. Lelaki itu menatap sang istri dengan penuh hasrat dan menginginkannya sekarang. Saat ini juga. Apa dia salah? Tania terisak, itu membuat Nero urung. "Kok nangis?" Nero melepaskan rengkuhan, tidak tega juga kalau harus memaksa. Dia berbaring di samping istrinya, memandang wajah yang bersimbah air mata itu. "Om jahat," isak Tania. Dia membalik tubuh memunggungi lelaki itu. Nero merengkuh istrinya dari belakang. "Belum diapa-apain, kok." Nero memeluk Tania dengan lembut lalu mengusap kepalanya. Sesekali mengecup pucuknya dan mengacak rambut panjang itu. "Itu tangannya--" Tania melepaskan rengkuhan suaminya dan hendak bergeser menjauh. Namun, sebelum itu terjadi, Nero dengan sigap menariknya kembali. Kali ini posisi mereka berhadapan.
Tania berteriak kegirangan saat membuka pintu. Wajah Ovi yang cantik muncul di depan rumah mereka. Di tangannya terdapat banyak oleh-oleh yang dibawa dari Malaysia. "Tante!" Tania mengambur ke dalam pelukan wanita itu. "Sayang!" Ovi membalasnya dengan penuh kerinduan. Bibirnya mencium pipi kiri dan kanan Tania dengan gemas. "Kok tante enggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput," tanya Tania. "Jangan, Sayang. Nanti kamu capek. Lagi program hamil jangan banyak keluar. Di rumah aja," bisik Ovi sembari mengedipkan mata. Tania tertegun saat mendengar itu. Siapa yang dimaksud Ovi sedang program hamil. Gadis itu mengabaikannya dan mengajak tantenya masuk. "Ayo masuk, Tante. Bik Ijah habis masak. Kita makan dulu." Mereka masuk ke rumah sembari bercerita. Segala macam barang bawaan Ovi diletakkan di ruang tamu. "Wah, k
Di antara rasa takut dan ragu Tania mengetuk pintu kamar Nero. Berharapa suaminy akan berbaik hati membukakan. Setelah mendengarkan nasehat Ovi tadi, pikirannya sedikit terbuka. Ada yang berdenyut di dalam hati Tania jika membayangkan Nero berduaan dengan dengan wanita lain. Rasanya dia tidak rela dan tidak ikhlas. Jadi, siap ataupun belum, malam ini dia akan mencoba, menjadi istri yang taat dengan memberikan hak suaminya. Sudah terlalu lama Nero menunggu, Tania merasa bersalah telah mengabaikan suaminya. "Om! Om Nero!" Dia mengetuk sekali lagi karena yang pertama tidak mendapatkan respons. Terdengar derit pintu yang membuat Tania kaget. Saking gugupnya, gadis itu sampai tersental dan menutup mulut. "Apa?" tanya lelaki itu dingin. Nero b
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa