Tania tampak ragu-ragu. Sedari tadi dia bolak-balik, ingin mendekati suaminya tetapi sungkan. Gadis itu mengusap telapak tangan berulang kali karena gugup.
Nero nampak serius sekali mengerjakan laporan. Entah kenapa kali ini dia membawa semua alat kerja di ruang keluarga. Biasanya juga di dalam kamar.
"Om." Tania mendekati Nero yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya.
"Apa?"
Nero menaikkan kacamata tetapi masih fokus menatap layar. Jika sudah banyak kerjaan begini, dia bisa lupa waktu.
"Om," rengeknya lagi.
Merasa diabaikan, Tania berkali-kali mencolek bahu bahu suaminya untuk meminta perhatian.
"Apa?! Ngomong aja, gak usah manja."
Nero masih mengetik sesuatu di keyboard. Dia sebenarnya tidak suka diganggu saat bekerja karena bisa hilang konsentrasi. Apalagi kalau pengganggunya cantik begini, bisa buyar semuanya.
Raut wajah Tania langsung berubah dengan bibir ditekuk. Akhirnya dia memilih diam sembari menunggu suaminya selesai.
Nero tersadar karena sudah bersikap kasar kepada istrinya.
"Kamu mau apa?" Dia melepas kacamata dan berbalik menghadap gadis itu.
"Ini."
Tania menyodorkan sebuah brosur. Penerimaan calon mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi negeri. Dia sudah melingkari kolom pada tulisan fakultas kedokteran.
"Kamu mau kuliah?" Nero menutup laptop, lalu meletakkan kacamata di meja.
"Iya. Boleh, kan om?"
Senyum Tania terukir indah. Dalam hatinya berdoa semoga saja sang suami memberikan restu. Untuk itu, dia akan merayu sekuat tenaga.
"Om sih gak masalah. Tapi kamu harus ngomong ke papa dulu."
"Kok izin papa? Kan kalau udah jadi istri, harusnya izin sama suami aja."
Setelah mengucapkan itu, Tania langsung menutup mulut. Dia baru sadar kalau kelepasan bicara.
Nero bergumam dalam hati. Sejak kapan Tania sadar kalau dia sudah menjadi istri. Lagipula dia belum menjadi suami yang sebenarnya, karena belum mendapatkan hak.
"Kalau papa pasti gak boleh." Tania mulai merajuk dan mengeluarkan jurus andalannya.
Nero tahu betul. Jika Bram tidak setuju atas kemauan putrinya, Tania pasti akan merayunya untuk mempengaruhi sang papa.
"Kamu udah bilang sama papa, belum?"
"Belum."
"Nah, kan, belum dicoba. Kok sudah langsung bilang gak boleh."
Nero mengulum senyum. Sebenarnya dia sudah menduga kalau Bram pasti keberatan. Lelaki paruh baya itu bukannya tidak mau Tania melanjutkan pendidikan. Namun, dia mempunyai rencana lain.
"Tapi nanti om temenin ketemu papa, ya. Aku malu." Gadis itu memilin baju. Matanya mencuri pandang ke arah suaminya.
"Malu kenapa?" tanya Nero bingung.
"Kan aku masih ngambek sama papa."
Bibirnya yang mengerucut itu membuat Nero gemas.
Kenapa sekarang kamu jadi semakin cantik, batin Nero.
"Makanya kalau kamu ditelepon papa ya diangkat. Masa begitu sama orang tua sendiri."
Nero mulai menasehati. Anak seumuran Tania memang masih labil. Mereka belum tahu mana yang baik dan buruk dan harus diarahkan. Kadang mereka berbuat semaunya, asalkan hati senang.
"Habisnya papa jahat. Papa malah maksa aku nikah sa--"
Hampir saja Tania kelepasan bicara lagi. Jangan sampai suaminya marah. Bisa gagal semua rencana.
Nero tersenyum mendengar itu lalu menggeleng berulang kali. Tanpa diberitahupun, dia sudah menduga apa yang ada di benak Tania.
"Nanti om temenin. Tapi kamu ngomong sendiri. Kalau papa setuju, om juga oke. Asal kamu belajar yang rajin." Nero mengusap kepala istrinya sebagai tanda sayang.
Mendengar itu, Tania besorak. Wajahnya berbinar sehingga aura kecantikannya semakin bertambah.
"Kalau gitu, besok kita ke rumah papa?"
Nero mengangguk tanpa menjawab. Itu membuat Tania semakin senang.
"Makasih, Om." Tania memeluk Nero dengan erat lalu mendaratkan sebuah sentuhan di pipi sang suami.
Seketika Nero tersentak dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal Tania hanya menyentuh pipinya, dan itu bahkan sudah biasa.
Nero tersenyum geli. Sentuhan itu sudah dua tahun ini tak pernah dia rasakan. Ketika Tania melakukannya, itu terasa begitu asing.
Nero telah berjanji di makam sang istri bahwa tidak akan nakal lagi. Dia akan menjadi pria baik-baik. Dulu, sebelum menikahi Saskia, lelaki itu memang sering berganti wanita. Namun, cinta yang dalam kepada wanita itu membuatnya berubah.
Sentuhan tadi cukup menyentak Nero karena baru sadar kalau dua tahun ini kesepian. Tidak pernah ada wanita yang singgah di hatinya sampai pernikahan dengan Tania terjadi.
Beberapa wanita sempat menggoda Nero. Namun, lelaki itu mengalihkan pikirannya dengan sibuk bekerja. Dan entah kenapa, sejak hubungannya membaik dengan Tania, dia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Nero mulai memikirkan Tania. Mulai membayangkan dan memimpikan istrinya. Hatinya mulai menghangat. Apalagi gadis itu sudah bertahun-tahun mengisi harinya, sejak masih kecil.
Apakah dia sedang kasmaran?
"Tidak Nero. Kamu tidak boleh menyentuh Tania. Dia pasti akan semakin membencimu."
Benak Nero berkata lain. Lelaki itu memilih mengalah dan membiarkan pernikahan mereka hanya status di atas kertas. Hingga kelak masanya tiba.
Ketika Tania benar-benar matang dan siap mengambil alih perusahaan papanya.
"Kamu cukup tahu diri, Nero. Kamu hanya diminta untuk menjaganya hingga masa itu tiba."
***
"Ehem."
Suara batuk Bram memecah kesunyian.
Tiga orang itu duduk berhadapan. Tania memandang wajah papanya dengan sedikit segan.
"Jadi?"
Bram memandang dua orang itu bergantian. Melihat raut wajah Tania yang kektakutan, dia ingin tertawa. Putri kecilnya ini memang menggemaskan siapa saja.
"Paaa ... maafin aku," ucap Tania memelas.
Bram hanya mengangguk sembari menyentuh dagunya. Dia sengaja memasang ekspresi galak karena ingin mengerjai putrinya.
"Mas, gini ...."
Nero memulai pembicaraan dengan menjelaskan satu per satu apa yang diinginkan Tania. Kalau menunggu gadis itu bicara, sepertinya akan memakan waktu yang lama. Jadi dia berinisiatif mengambil alih.
"Kami datang karena Tania ada yang mau dibicarakan sama Mas."
Bram mendelik menatap putrinya, sementara Nero diam-diam mengulum senyum.
"Oh, ya? Masih butuh papa rupanya?" tanya Bram.
"Paaa ..."
Tania mulai merengek dan melirik suaminya berkali-kali untuk meminta bantuan. Namun, kali ini Nero menolak karena gadis itu harus menyampaikan sendiri keinginannya.
"Sudah ngomong aja."
Nero memberikan dukungan. Melihat wajah istrinya yang memelas begitu, rasanya dia tidak tega juga.
Tania membuka tas dan mengeluarkan brosur tadi. Lalu, dengan cepat dia menyerahkan kertas itu kepada Bram.
"Aku pengen kuliah, Pa."
Bram mengambilnya lalu mulai membaca. Lelaki paruh baya itu tersenyum geli saat memandang Nero.
"Kamu beneran pengen kuliah?"
"Iya. Boleh kan, Pa?"
Tania menggeser duduk agar semakin mendekat. Tangannya kini melingkari pinggang Bram dan memeluknya erat.
"Kok, tanya papa. Harusnya tanya suami, boleh apa enggak. Kan udah jadi istri."
Bram mengedipkan mata ke arah Nero.
"Tapi om Nero bilang setuju, kalau papa juga setuju," jawab Tania.
Bram mendelik mendengar penuturan putrinya barusan. "Om? Suami dipanggil om?"
"Loh, terus dipanggil apa?" tanya gadis itu polos.
"Mamas, dong. Gak sopan kalau bilang om. Status kan udah berubah." Bram mulai berulah lagi.
Nero hanya bisa tersenyum melihat kelakuan dua orang ini. Dalam hati bergumam,anak dan papanya sama saja.
"Mamas? Gak pantes. Udah tua," ucap Tania sembari mengernyitkan dahi.
Mendengar itu, Nero merutuk dalam hati. Wajahnya berubah masam mendengar ucapan Tania tadi. Usianya memang sudah akan memasuki angka empat puluh. Namun, wajahnya tetap segar dan tak tampak tua.
"Jadi, gimana, Pa? Boleh kan, ya?" tanya Tania merengek lagi.
"Hem ... kedokteran, ya?"
Tania mengangguk.
"Kenapa gak bisnis aja? Nanti kalau udah selesai bisa bantu Nero di kantor."
Bram mencoba bernegosiasi. Biasanya putrinya akan menurut.
"Aku gak suka. Aku mau jadi dokter aja," tolak Tania.
"Sekolah dokter itu lama. Sibuk. Banyak praktek, nanti gak ngurus suami. Papa kurang setuju." Kali ini, nada suara Bram terdengar lebih keras.
Mendengar kata-kata tidak setuju dari Bram, Tania melotot dan melepaskan pelukannya.
"Om Nero kan udah gede. Masa mau diurusin aku juga?"
Tania memang masih masih anak-anak dan belum mengerti kewajiban istri.
"Ya jangan. Gak boleh gitu kalau udah jadi istri. Tetap harus ngurusin. Ngelayanin suami." Bram menekankan kalimat terakhir.
Nero yang sedari tadi hanya mendengarkan mereka bicara, mulai mengerti ke mana arah ucapan Bram.
"Ngelayanin apa?" Tania kembali bertanya.
"Ya semua. Bikin sarapan. Mijetin kalau suami capek. Siapin baju kerja. Apa yang dibutuhkan suami kan bisa tanya. Termasuk--"
Bram kembali mengedipkan matanya ke arah menantunya. Nero membuang pandangan dan mengulum senyum saat melihat ekspresi nakal di wajah sahabatnya itu.
"Termasuk?" Tania bertanya lagi. Ucapan papanya ini benar-benar sukar dipahami.
"Di kamar," jawab Bram lugas.
Tania terdiam. Bukannya selama ini dia pisah kamar sama Nero. Lagipula, kalau mereka tidur sekamar, Nero mau ngapain coba? Apa itu? Dia tidak mau.
Wajah Tania berubah masam, lalu menatap Nero dengan pandangan tajam.
Melihat tatapan istrinya, Nero menjadi serba salah.
"Mas, aku gak apa-apa kalau Tania mau kuliah. Lagian aku juga sibuk jarang di rumah. Intinya nih, boleh gak Tania kuliah dulu?"
Nero segera mengambil alih pembicaraan. Dia sudah tau Bram pasti akan menyinggung soal cucu. Hal yang belum bisa mereka penuhi untuk saat ini.
"Papa sih oke aja kalau kamu mau lanjutin kuliah. Tapi, ada syaratnya!" kata Bram tegas.
"Apa?" Wajah Tania berbinar. Ada harapan di sana, untuk masa depan dan cita-citanya.
"Papa mau dikasih cucu dulu."
Nero mengusap wajah tanda menyerah. Sudah satu minggu ini, Bram setiap hari datang ke ruangannya hanya untuk membahas soal cucu.
Dari melihatkan foto bayi yang lucu. Cara memandikan bayi. Nama-nama bayi sesuai jenis kelamin, hingga model pakaian bayi keluaran terbaru.
Bram terlihat ngebet sekali. Nero sendiri memang tidak memiliki anak dengan Saskia. Penyakit yang diderita istrinya, tidak memungkinkan wanita itu mengandung.
"Maksud papa apa? Cucu?"
"Ya, kamu hamil. Kasih cucu buat papa. Kalian--" Bram menyatukan dua tanganya membentuk dua orang bermesraan.
"Kalian--" Bram kembali mengulang gerakannya tadi.
Nero tak kuasa menahan tawa. Papa mertuanya ini memang sungguh keterlaluan.
"Om Nero!!"
Tania membentak suaminya sehingga lelaki itu terkejut. Bram sendiri menahan gelak melihat tingkah putrinya.
Nero seketika menutup mulut.
"Aku gak mau," ucap Tania melakukan perlawanan.
"Ya gak usah kuliah kalau gitu. Di rumah aja. Sambil belajar-belajar sama Nero ngurus perusahaan."
"Tapi, Pa ...."
"Mas. Maksud Tania begini. Kalau dia hamil, nanti gimana kuliahnya? Justeru malah repot." Nero menyela dan ikut merayu Bram karena merasa kasihan kepada istrinya.
"Ya ditunda kalau gitu. Kamu hamil dulu. Kasih papa cucu. Tahun depan boleh kuliah. Kedokteran juga boleh," kata Bram tegas.
Ya ampun! Nero benar-benar pusing melihat dua orang ini karena tidak ada yang mau mengalah.
"Kalau gak boleh, aku mau pulang!" Tania mengambil tasnya dan segera berlari ke depan. Dia menyetop sebuah taksi yang lewat dan kabur begitu saja.
Nero dan Bram gelagapan, tak menyangka jika gadis itu akan berbuat nekat.
"Cepat-cepat, susul Tania." Bram mendorong bahu menantunya.
Nero mengambil kunci mobil dan mengejar taksi itu sebelum terlambat. Lelaki itu benar-benar tak menyangka joka negosisasi hari ini gagal.
Sementara itu di dalam taksi, Tania terisak-isak. Hingga beberapa menit kemudian, mereka hanya memutari jalanan ibu kota. Supirnya belum berani bertanya ke mana arah tujuan, karena gadis itu masih terus saja menangis.
"Pagi, Om." Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur. Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Pastinya cantik dan harum menggoda. Nero menatap meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan. "Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu per satu menu yang tersaji. "Bukan. Ini masakan Bibik," jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan. "Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero mencari sosok wanita paruh baya yang sedari tadi tak nampak. "Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawab Tania santai. "Ayo, makan. Om pasti lapar, kan? Aku temenin." Tania duduk di sebelah Nero, lalu mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya.
Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya. Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup. "Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero. Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali. "Ke Singapura," jawab Nero. "Masa?" "Kenapa, kangen sama papa ya?" Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpur
Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon. "Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah. "Tania, kamu gimana sama om Nero? Udah apa belum?" tanya suara di seberang sana. "Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos. Benarkan Nero bilang begitu? "Hah! Emang kamu cinta sama dia?" "Ya gak, lah. Masa aku cinta sama om-om." "Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan. "Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal." Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu
Mereka duduk termenung di bandara. Pesawat yang ditumpangi Bram terlambat tiba dari jadwal yang telah ditetapkan. Sudah setengah jam mereka menunggu, belum ada tanda-tanda akan landing. "Kok lama, ya?" Tania mulai bosan. Dia mengetukan jari telunjuk di meja. Mereka memilih sebuah restoran sambil menunggu. "Iya, nih. Tumben maskapai segede itu bisa delay." Nero menyeruput kopi panasnya, lalu mengambil sebuah roti sebagai cemilan pengganjal perut. Mereka terdiam dalam bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa kali Nero melirik orang-orang yang berjalan melewati tempat makan. Tania sendiri memilih untuk bermain game cacing yang sedang fenomenal. "Tania." Seorang memanggil namanya. Tania memalingkan wajah mendengar namanya disebut. Saat melihat siapa sosok yang menghampiri mereka, seketika pipinya memerah. Kenapa harus bertemu di sini, sih?
Tania mendorong tubuh Nero. Perlakuan lelaki itu membuatnya merasa tak nyaman. Tubuhnya meronta, belum bisa menerima sang suami. "Sayang," bisik Nero. Lelaki itu menatap sang istri dengan penuh hasrat dan menginginkannya sekarang. Saat ini juga. Apa dia salah? Tania terisak, itu membuat Nero urung. "Kok nangis?" Nero melepaskan rengkuhan, tidak tega juga kalau harus memaksa. Dia berbaring di samping istrinya, memandang wajah yang bersimbah air mata itu. "Om jahat," isak Tania. Dia membalik tubuh memunggungi lelaki itu. Nero merengkuh istrinya dari belakang. "Belum diapa-apain, kok." Nero memeluk Tania dengan lembut lalu mengusap kepalanya. Sesekali mengecup pucuknya dan mengacak rambut panjang itu. "Itu tangannya--" Tania melepaskan rengkuhan suaminya dan hendak bergeser menjauh. Namun, sebelum itu terjadi, Nero dengan sigap menariknya kembali. Kali ini posisi mereka berhadapan.
Tania berteriak kegirangan saat membuka pintu. Wajah Ovi yang cantik muncul di depan rumah mereka. Di tangannya terdapat banyak oleh-oleh yang dibawa dari Malaysia. "Tante!" Tania mengambur ke dalam pelukan wanita itu. "Sayang!" Ovi membalasnya dengan penuh kerinduan. Bibirnya mencium pipi kiri dan kanan Tania dengan gemas. "Kok tante enggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput," tanya Tania. "Jangan, Sayang. Nanti kamu capek. Lagi program hamil jangan banyak keluar. Di rumah aja," bisik Ovi sembari mengedipkan mata. Tania tertegun saat mendengar itu. Siapa yang dimaksud Ovi sedang program hamil. Gadis itu mengabaikannya dan mengajak tantenya masuk. "Ayo masuk, Tante. Bik Ijah habis masak. Kita makan dulu." Mereka masuk ke rumah sembari bercerita. Segala macam barang bawaan Ovi diletakkan di ruang tamu. "Wah, k
Di antara rasa takut dan ragu Tania mengetuk pintu kamar Nero. Berharapa suaminy akan berbaik hati membukakan. Setelah mendengarkan nasehat Ovi tadi, pikirannya sedikit terbuka. Ada yang berdenyut di dalam hati Tania jika membayangkan Nero berduaan dengan dengan wanita lain. Rasanya dia tidak rela dan tidak ikhlas. Jadi, siap ataupun belum, malam ini dia akan mencoba, menjadi istri yang taat dengan memberikan hak suaminya. Sudah terlalu lama Nero menunggu, Tania merasa bersalah telah mengabaikan suaminya. "Om! Om Nero!" Dia mengetuk sekali lagi karena yang pertama tidak mendapatkan respons. Terdengar derit pintu yang membuat Tania kaget. Saking gugupnya, gadis itu sampai tersental dan menutup mulut. "Apa?" tanya lelaki itu dingin. Nero b
Tania berjalan terjingkat-jingkat menuju dapur. Ada bagian tubuhnya yang terasa perih. Nero memang nakal, dia sudah menyerah, tapi suaminya itu malah mengulangi sekali lagi. Bahkan sebelum tidur, Nero masih menciumnya mesra, seperti tidak puas saja. Ovi dan Ijah hanya tersenyum geli melihatnya. Mereka berbisik-bisik berdua karena merasa lucu melihat kelakuan Tania. "Hayoo kakinya kenapa?" tanya Ovi menggoda, saat Tania mendekati mereka. "Kaki-ku sa-kit ..." Dia membuang muka. Wajahnya merona. Sungguh memalukan, kenapa mereka malah melakukannya di saat banyak orang di rumah? Jadinya dia diledek terus. Ini gara-gara perbuatan Nero. Eh, tapi bukannya kemarin malam dia yang masuk ke kamar lelaki itu duluan dan menawarkan diri? Aduh, malunya. "Kaki mana yang sakit?" Ovi menggoda. Ijah memilih untuk diam dan menyiapkan sarapan. "Tanteee ..." rengeknya manja. Untung saja Nero tidak membuat tanda apa pun y
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa