Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon.
"Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah.
"Tania, kamu gimana sama om Nero? Udah apa belum?" tanya suara di seberang sana.
"Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos.
Benarkan Nero bilang begitu?
"Hah! Emang kamu cinta sama dia?"
"Ya gak, lah. Masa aku cinta sama om-om."
"Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan.
"Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal."
Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu
Mereka duduk termenung di bandara. Pesawat yang ditumpangi Bram terlambat tiba dari jadwal yang telah ditetapkan. Sudah setengah jam mereka menunggu, belum ada tanda-tanda akan landing. "Kok lama, ya?" Tania mulai bosan. Dia mengetukan jari telunjuk di meja. Mereka memilih sebuah restoran sambil menunggu. "Iya, nih. Tumben maskapai segede itu bisa delay." Nero menyeruput kopi panasnya, lalu mengambil sebuah roti sebagai cemilan pengganjal perut. Mereka terdiam dalam bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa kali Nero melirik orang-orang yang berjalan melewati tempat makan. Tania sendiri memilih untuk bermain game cacing yang sedang fenomenal. "Tania." Seorang memanggil namanya. Tania memalingkan wajah mendengar namanya disebut. Saat melihat siapa sosok yang menghampiri mereka, seketika pipinya memerah. Kenapa harus bertemu di sini, sih?
Tania mendorong tubuh Nero. Perlakuan lelaki itu membuatnya merasa tak nyaman. Tubuhnya meronta, belum bisa menerima sang suami. "Sayang," bisik Nero. Lelaki itu menatap sang istri dengan penuh hasrat dan menginginkannya sekarang. Saat ini juga. Apa dia salah? Tania terisak, itu membuat Nero urung. "Kok nangis?" Nero melepaskan rengkuhan, tidak tega juga kalau harus memaksa. Dia berbaring di samping istrinya, memandang wajah yang bersimbah air mata itu. "Om jahat," isak Tania. Dia membalik tubuh memunggungi lelaki itu. Nero merengkuh istrinya dari belakang. "Belum diapa-apain, kok." Nero memeluk Tania dengan lembut lalu mengusap kepalanya. Sesekali mengecup pucuknya dan mengacak rambut panjang itu. "Itu tangannya--" Tania melepaskan rengkuhan suaminya dan hendak bergeser menjauh. Namun, sebelum itu terjadi, Nero dengan sigap menariknya kembali. Kali ini posisi mereka berhadapan.
Tania berteriak kegirangan saat membuka pintu. Wajah Ovi yang cantik muncul di depan rumah mereka. Di tangannya terdapat banyak oleh-oleh yang dibawa dari Malaysia. "Tante!" Tania mengambur ke dalam pelukan wanita itu. "Sayang!" Ovi membalasnya dengan penuh kerinduan. Bibirnya mencium pipi kiri dan kanan Tania dengan gemas. "Kok tante enggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput," tanya Tania. "Jangan, Sayang. Nanti kamu capek. Lagi program hamil jangan banyak keluar. Di rumah aja," bisik Ovi sembari mengedipkan mata. Tania tertegun saat mendengar itu. Siapa yang dimaksud Ovi sedang program hamil. Gadis itu mengabaikannya dan mengajak tantenya masuk. "Ayo masuk, Tante. Bik Ijah habis masak. Kita makan dulu." Mereka masuk ke rumah sembari bercerita. Segala macam barang bawaan Ovi diletakkan di ruang tamu. "Wah, k
Di antara rasa takut dan ragu Tania mengetuk pintu kamar Nero. Berharapa suaminy akan berbaik hati membukakan. Setelah mendengarkan nasehat Ovi tadi, pikirannya sedikit terbuka. Ada yang berdenyut di dalam hati Tania jika membayangkan Nero berduaan dengan dengan wanita lain. Rasanya dia tidak rela dan tidak ikhlas. Jadi, siap ataupun belum, malam ini dia akan mencoba, menjadi istri yang taat dengan memberikan hak suaminya. Sudah terlalu lama Nero menunggu, Tania merasa bersalah telah mengabaikan suaminya. "Om! Om Nero!" Dia mengetuk sekali lagi karena yang pertama tidak mendapatkan respons. Terdengar derit pintu yang membuat Tania kaget. Saking gugupnya, gadis itu sampai tersental dan menutup mulut. "Apa?" tanya lelaki itu dingin. Nero b
Tania berjalan terjingkat-jingkat menuju dapur. Ada bagian tubuhnya yang terasa perih. Nero memang nakal, dia sudah menyerah, tapi suaminya itu malah mengulangi sekali lagi. Bahkan sebelum tidur, Nero masih menciumnya mesra, seperti tidak puas saja. Ovi dan Ijah hanya tersenyum geli melihatnya. Mereka berbisik-bisik berdua karena merasa lucu melihat kelakuan Tania. "Hayoo kakinya kenapa?" tanya Ovi menggoda, saat Tania mendekati mereka. "Kaki-ku sa-kit ..." Dia membuang muka. Wajahnya merona. Sungguh memalukan, kenapa mereka malah melakukannya di saat banyak orang di rumah? Jadinya dia diledek terus. Ini gara-gara perbuatan Nero. Eh, tapi bukannya kemarin malam dia yang masuk ke kamar lelaki itu duluan dan menawarkan diri? Aduh, malunya. "Kaki mana yang sakit?" Ovi menggoda. Ijah memilih untuk diam dan menyiapkan sarapan. "Tanteee ..." rengeknya manja. Untung saja Nero tidak membuat tanda apa pun y
Tania menggeliat di atas kasur, rasanya nyaman sekali tertidur. Sampai dia merasa sesuatu yang berat menindih tubuhnya dan diserang dengan berbagai cumbuan. Siapa ini? "Bangun anak manja. Sudah sore." Nero menangkup pipi istrinya dengan kuat, sehingga bibir Tania terlihat mengerucut ke depan. Lucu, membuatnya tertawa geli. Apalagi matanya masih terpejam, antar sadar dan tidak. Nero kembali menghadiahkan sebuah kecupan lembut, membuat Tania akhirnya membuka mata. Dia tertunduk malu, saat mendapati wajah suaminya sedang menatap mesra. "Aku nggak tau kalau kamu udah pulang?" Dia mengerjapkan mata berkali-kali. "Kamu enak banget tidurnya. Kaya' kebo." Nero mencubit hidungnya gemas. Tangannya mengusap helaian rambut yang terjuntai di pelipis. Aroma harum tubuh istrinya membuatnya menginginkan kemesraan lagi. "Tante mana?" "Di rumah papa. Nginap di sana." "Katanya mau jalan sama aku sore ini." Dia bergerak menyandarkan tubuhnya di head board ranjang. Kepalanya pusing, berdenyut sej
Seharian di rumah sakit membuat mereka kelelahan. Akhirnya, ketika jarum jam menunjukkan angka tiga sore, mereka memutuskan untuk pulang. Bram belum boleh dikunjungi siapapun termasuk keluarganya, sehingga menunggu di sana seperti melakukan sesuatu hal yang sia-sia. Hilir mudik karyawan kantor dan relasi yang berdatangan ke rumah sakit ingin membesuk, membuat mereka benar-benar kewalahan. Bram sendiri masih dalam koma walaupun masa kritisnya sudah lewat. Berbagai macam selang dan alat-alat medis menempel di tubuhnya. "Tolong jelaskan semuanya." Tania menatap Nero dan Ovi bergantian. Saat ini mereka berkumpul di kamar setelah tiba di rumah. Wajahnya tampak lemah dan lelah. Ovi sedari tadi membantu memijit pundaknya yang pegal. Dia sudah kehilangan rasa, semua bercampur aduk jadi satu. Melihat kondisi papanya yang lemah, tangisan tak berujung henti sejak pagi hingga air matanya kering. "Tania, sebenarnya ini berat kalau kita sampaikan ke kamu. Ini permintaan papamu sendiri agar ka
Ovi melanjutkan kisahnya. Harusnya Tania mendengar semua ini langsung dari mulut suaminya. Hanya saja, ada banyak hal yang akhirnya dia campuri karena salah paham di antara dua orang itu. Bukan maksudnya mendahului Nero. Hanya saja, sikap Tania yang menurutnya sudah keterlaluan, membuatnya harus turun tangan. Dia tidak ingin, rumah tangga yang baru seumur jagung ini retak. Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh, memang kadang menimbulkan banyak prasangka. Apalagi Nero tipe lelaki pengalah, yang memilih untuk menerima semua tuduhan daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Nero mengikhlaskan Andrea menikah. Dia merasa berhutang budi sama papa kamu karena udah ngasih kerjaan. Apalagi setelah dia lulus kuliah, Mas Bram ngangkat dia jadi staf khusus." Beberapa kali Ovi menarik napas sebelum melanjutkan cerita. "Nero orangnya jujur. Dia cerdas dan pintar. Cuma nasibnya yang kurang beruntung." "Mas belum pernah cerita apa-apa. Aku enggak tau masa lalunya, cuma tau dia rekan k
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa