Ovi menyodorkan sesendok nasi ke mulut keponakannya. Sejak pagi Tania tidak mau makan. Padahal acara padat. Bisa batal kalau sampai dia sakit.
"Ayo, Sayang. Makan dulu," bujuk Ovi.
"Tania gak lapar, Tante," tolaknya.
"Nanti kamu lemes, loh. Nanti malam mau lanjut acara lagi. Masa' pengantin baru sakit habis nikahan," bujuk Ovi lembut.
Membuat Tania menerima keadaan memang sulit. Ovi menunggu cukup lama hingga akhirnya gadis itu menurut, menghabiskan sesuap demi sesuap makanan yang ada. Dia sama sekali tidak berselera melihat menu apa pun.
Tania merasa hampa. Semua rasa bercampur menjadi satu di dadanya. Sedih, marah, kecewa, juga benci. Kecewa kepada semua orang. Kepada papa dan keluarganya. Dengan Nero apalagi. Rasa sayangnya kini berubah menjadi benci.
"Habis makan kamu istirahat bentar. Tadi tante udah bilang sama yang lain, kamu gak boleh digangguin dulu."
Ovi dengan sabar menyuapkan Tania makan. Tangannya tak luput mengusap bekas tangis di mata gadis itu.
"Iya, Tante," jawab Tania lemah.
"Nah, sesuap lagi. Habis ini kamu istirahat. Nanti sore tante bangunin, siap-siap buat resepsi. Sekarang kamu tidur aja dulu."
Ovi membereskan sisa makanan dan meletakkannya di meja, karena nanti diambil pelayan hotel. Dia juga membantu Tania berganti pakaian dan membersihkan make-up. Lalu, menuntunnya ke ranjang.
Ovi membiarkan Tania beristirahat sebentar. Hari ini pasti berat baginya. Sekarang baru pukul dua siang dan masih ada waktu.
Setelah akad nikah tadi, Ovi sengaja membawa gadis itu ke kamar. Dia tidak mau keponakannya dicecar banyak pertanyaan, mengingat kondisi mental yang belum siap.
Mereka akan melanjutkan acara resepsi nanti malam. Bram mengadakan pesta besar-besaran. Dia memesan hotel ini untuk acara pernikahan dan juga beberapa kamar untuk menginap keluarga, beserta koleganya dari luar kota.
Ovi menghela napas. Seandainya tidak tinggal di luar negeri, mungkin dia bisa menjaga dan melindungi Tania. Mengasihi dan menyayangi gadis itu seperti anak sendiri.
Bram tidak mengizinkan Tania ikut dengannya, dengan alasan tidak mau berpisah jauh dengan sang putri. Kakaknya itu memilih merawat putrinya dengan dibantu pengasuh dan Nero.
Sekarang Tania harus menikah dengan Nero. Ovi tidak bisa membayangkan jika dia menjadi gadis itu. Mungkin sikapnya akan sama, menolak mentah-mentah perjodohan.
Tania masih muda, baru lulus sekolah menengah umum. Dia belum mengerti apa itu pernikahan. Gadis itu justeru dipaksa untuk mengikat janji sehidup semati, dengan orang yang tidak dia inginkan.
Andaikan dulu Bram menyerahkan Tania kepadanya untuk dirawat, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Ovi merasa kakaknya tidak mempercayainya. Air mata wanita itu pun menetes.
* * *
Ovi berjalan menuju tempat acara tadi berlangsung. Beberapa tamu dan keluarga masih berkumpul, berbincang-bincang sembari makan. Ada juga yang kembali ke kamar untuk beristirahat.
Sedangkan wedding organizer masih sibuk mengubah panggung tempat akad tadi, menjadi tempat resepsi. Berbagai macam bunga yang cantik mengiasi ruangan, mulai dari pintu masuk sampai ke dalam. Segala jenis sajian dipersiapkan untuk menjamu para tamu. Hilir mudik orang-orang tidak mengurangi kesakralan acara tadi.
Bram memang pintar menyusun rencana, hingga banyak orang yang tidak tahu bahwa pernikahan itu dilakukan terpaksa oleh kedua pengantinya.
Jika Ovi menjadi Tania, mungkin dia memilih akan lari meninggalkan acara. Namunn gadis itu tetap menjalaninya walaupun terpaksa. Untunglah akhirnya dia menurut dan tidak berbuat macam-macam.
Ovi jadi teringat akan pernikahan dulu dengan Mike. Suasananya sama, seluruh ruangan dihiasi dengan bunga-bunga. Hanya saja dulu mereka sangat bahagia.
"Hai, Darl. Duduk di sini."
Mike menarik kursi untuk istrinya. Ovi ikut bergabung di meja dan mengambil makanan.
"Tania mana?" tanya Bram.
"Istirahat di kamar. Semalaman dia gak tidur. Kasian kalau dia capek. Bentar lagi, kan, lanjut resepsi," jawab Ovi.
"Dia sudah makan?" tanya Mike dengan bahasa Indonesia yang agak kaku.
"Udah, tadi aku suapin. Masih manja, padahal sudah jadi istri."
Saat mengucapkan itu, Ovi tersenyum mengerling Nero. Sementara itu, yang dilirik hanya diam sedari tadi dengan wajah yang memerah. Namun, lelaki itu berusaha memasang ekpresi biasa saja di depan semua orang, walaupun hatinya berdebar tak karuan.
"Nero, sana ke kamar. Temani Tania. Kamu juga butuh istirahat. Acara nanti malam padat. Undangan rame." Bram menyuruh menantunya masuk.
"Nanti aja, Mas. Masih mau ngobrol di sini," tolaknya halus.
"Loh kok panggil mas? Panggil papa, dong." Mike menggoda Nero.
Mereka semua tertawa. Nero sendiri hanya bisa tersipu malu karena sejak tadi menjadi bahan bercanda oleh yang lain.
"Sudah sana. Kamu istirahat. Lagian di kamar juga sama istri sendiri," ucap Bram sembari mengedipkan mata.
"Mas ini." Nero menunduk dengan wajah memerah.
"Kamu gak usah malu-malu, Nero. Kayak belum pernah nikah aja." Ovi menggodanya lagi. Lalu mereka kembali tergelak.
"Yaudah, aku pamit dulu."
Nero meninggalkan meja dan berjalan ke arah lift, lalu menekan tombol menuju kamarnya.
* * *
Nero berdiri lama di depan pintu. Dia merasa bimbang, hendak masuk atau tidak. Kunci kamar sedari tadi hanya dia genggam. Tangannya gemetaran setiap kali hendak membuka pintu.
Ada Tania di dalam. Sekarang dia sudah bukan gadis kecil lagi, tetapi sudah tumbuh menjadi wanita yang cantik. Bahkan, saat ini sudah sah menjadi istrinya.
"Ayolah Nero, masuk saja. Tania pasti juga pasti ketiduran karena kelelahan," Benaknya berbisik. Keringat Nero bercucuran, padahal di sini tidak panas sama sekali.
"Kamu hanya perlu masuk kamar. Lalu berganti pakaian dan beristirahat. Ini juga kamarmu." Bisikan itu terus bergema di kepalanya.
"Bagaimana kalau Tania marah dan mengusirnya?" Pertanyaan itu kembali bergulir memenuhi benaknya.
Setelah tahu mereka dijodohkan dan harus menikah, Tania menghindari Nero. Gadis itu marah dan mengatakan bahwa laki-laki itu sengaja menjebak dan ingin menghancurkan masa depannya. Dia berpikir Nero sengaja ingin menguasai perusahaan sang papa dengan cara menikahinya.
Nero hanya bisa terdiam dan menerima semua tuduhan itu. Janji kepada kepada Bram untuk merahasiakan semua masih dia pegang teguh. Hingga saatnya tiba, lelaki itu sendiri yang akan bicara kepada putrinya.
"Masuk saja. Gak apa-apa. Jika dia marah, kamu cuma perlu diam. Mungkin kamu bisa menenangkannya." Suara-suara itu bergaung kembali.
Sekarang semua sudah berbeda. Tania bukan gadis kecilnya lagi. Menyentuhnya sudah tak sama seperti dulu. Dalam kegamangan hati, Nero mengambil keputusan. Akhirnya, dengan mengumpulkan sedikit keberanian, dia masuk juga.
Nero berjalan pelan. Tania sedang tertidur lelap. Suara dengkur halusnya terdengar. Dengan perlahan lelaki itu menutup pintu. Lalu mengganti pakaian dan mencuci wajah.
Nero meragu hendak tidur di mana. Tubuh besarnya pasti tidak cukup jika berbaring di sofa. Kakinya pasti akan menekuk. Pinggang juga terasa sakit jika dipaksakan.
Lama menimbang, akhirnya Nero naik ke ranjang. Tubuhnya lelah, hati dan pikiran juga.
Lagipula, dia tidak akan berbuat maca-macam walaupun mereka sudah menjadi suami istri.Sejak awal Bram memintanya menikahi Tania, hari-hari dirasakan Nero begitu berat. Juga penuh dengan konflik, tuduhan, dan penolakan yang tiada henti. Dia pasrah menerima. Semua sudah ada resiko, bukan?
Diantara rasa bimbang yang berkecamuk di benaknya, tak lama Nero ikut terlelap.
Ketukan di pintu membuat Tania tersadar dari tidurnya. Dia menggeliat malas. "Taniaaaa ... ini Tante." Ovi mengetuk pintu pelan. Sedari tadi dia menunggu di luar tapi belum ada jawaban. Padahal mereka sudah ditunggu untuk dirias untuk acara resepsi. Mendengar suara ketukan, Tania membuka mata. Dia terbangun dengan kepala yang terasa berat. Wanita itu tiba-tiba tersadar kalau ada yang memeluknya dari belakang, padahal rasanya tadi tidur sendirian. Tania membalikkan badan dan terkejut setengah mati. "Om Nero!!" Nero tersentak. Di
Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang. Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai. "Kamu kenapa?" Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur. "Luka," jawabnya sesegukan. "Bentar, om ambilin plester." Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya. "Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah
Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang. Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai. "Kamu kenapa?" Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur. "Luka," jawabnya sesegukan. "Bentar, om ambilin plester." Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya. "Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah
Tania tampak ragu-ragu. Sedari tadi dia bolak-balik, ingin mendekati suaminya tetapi sungkan. Gadis itu mengusap telapak tangan berulang kali karena gugup. Nero nampak serius sekali mengerjakan laporan. Entah kenapa kali ini dia membawa semua alat kerja di ruang keluarga. Biasanya juga di dalam kamar. "Om." Tania mendekati Nero yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya. "Apa?" Nero menaikkan kacamata tetapi masih fokus menatap layar. Jika sudah banyak kerjaan begini, dia bisa lupa waktu. "Om," rengeknya lagi. Merasa diabaikan, Tania berkali-kali mencolek bahu bahu suaminya untuk meminta perhatian. "Apa?! Ngomong aja, gak usah manja." Nero masih mengetik sesuatu di keyboard. Dia sebenarnya tidak suka diganggu saat bekerja karena bisa hilang konsentrasi. Apalagi kalau pengganggunya cantik begini, bisa buyar semuanya.
"Pagi, Om." Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur. Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Pastinya cantik dan harum menggoda. Nero menatap meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan. "Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu per satu menu yang tersaji. "Bukan. Ini masakan Bibik," jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan. "Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero mencari sosok wanita paruh baya yang sedari tadi tak nampak. "Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawab Tania santai. "Ayo, makan. Om pasti lapar, kan? Aku temenin." Tania duduk di sebelah Nero, lalu mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya.
Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya. Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup. "Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero. Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali. "Ke Singapura," jawab Nero. "Masa?" "Kenapa, kangen sama papa ya?" Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpur
Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon. "Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah. "Tania, kamu gimana sama om Nero? Udah apa belum?" tanya suara di seberang sana. "Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos. Benarkan Nero bilang begitu? "Hah! Emang kamu cinta sama dia?" "Ya gak, lah. Masa aku cinta sama om-om." "Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan. "Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal." Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu
Mereka duduk termenung di bandara. Pesawat yang ditumpangi Bram terlambat tiba dari jadwal yang telah ditetapkan. Sudah setengah jam mereka menunggu, belum ada tanda-tanda akan landing. "Kok lama, ya?" Tania mulai bosan. Dia mengetukan jari telunjuk di meja. Mereka memilih sebuah restoran sambil menunggu. "Iya, nih. Tumben maskapai segede itu bisa delay." Nero menyeruput kopi panasnya, lalu mengambil sebuah roti sebagai cemilan pengganjal perut. Mereka terdiam dalam bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa kali Nero melirik orang-orang yang berjalan melewati tempat makan. Tania sendiri memilih untuk bermain game cacing yang sedang fenomenal. "Tania." Seorang memanggil namanya. Tania memalingkan wajah mendengar namanya disebut. Saat melihat siapa sosok yang menghampiri mereka, seketika pipinya memerah. Kenapa harus bertemu di sini, sih?
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa