Airin tertegun ketika Juli menyerahkan sebuah amplop berwarna kuning gading padanya, saat perempuan itu mengunjunginya di kantor. “Apa ini?” tanya Airin seraya menerima amplop tersebut. Netranya menatap Juli heran. “Buka saja. Nanti kamu juga tahu,” ujar Juli datar. Airin membuka amplop itu dan menarik secarik surat yang ada di dalamnya. Dibukanya surat tersebut. Airin menatap tulisan tangan Adrian yang tertera di sana dan mulai membaca kata demi kata yang digoreskan oleh lelaki itu. Perempuan itu pun terdiam, merasa seakan udara di sekelingnya menghampa dan napasnya pun terhenti. “Sebenarnya, apa yang kamu inginkan Airin? Apakah seperti itu?” Juli bertanya dengan nada menyindir. Airin menghela napas panjang. Lalu melipat kembali suratnya, sembari berujar pelan, “Ka-kapan kamu menerima surat ini, Juli?” tanya Airin. “Kemarin.” Airin kembali menghela napas panjang. “Baiklah. Te-terima kasih. A-aku harus pergi sekarang,” Airin berujar dengan kikuk. Perempuan itu keluar dari ru
Cahaya mentari menyusup melalui celah-celah pepohonan pinus. Seorang perempuan duduk di atas ayunan kayu, seraya membaca buku, tepat di halaman samping sebuah rumah putih bergaya Eropa. Disisinya, secangkir kopi dalam cangkir hitam nampak masih mengeluarkan asap tipis. Perempuan itu menutup buku bacaannya. Matanya menatap rerimbunan bunga lily paris dengan warna merah mudanya yang cantik. Seulas senyum terlukis di bibirnya. Tidak terasa lima tahun telah berlalu. Semua telah berubah, kecuali keberadaannya. Ia masihlah perempuan yang sama. Seorang penulis novel yang tetap rutin mengunjungi psikiatri untuk mendapatkan obat mood stabilizer. Airin menghela napas panjang. Ia bangkit dari duduknya lalu mulai berjalan menuju pintu samping. Mengambil ponselnya yang sejak tadi berada di atas sofa tak jauh dari pintu masuk, tepat di sisi jendela bergordyn putih yang bergerak ditiup angin. Sebuah pesan tertulis di sana. “Airin, hari ini aku akan mengunjungi Hanna. Apa kamu ingin menitipkan sesua
Seorang perempuan berjalan cepat menuruni anak tangga lalu menuju pintu depan. Dengan hati-hati, perempuan itu membuka pintu lalu wajah cantiknya pun terlihat cerah ketika seorang laki-laki muda berdiri di depan pintu.“Apa dia benar-benar tidak di rumah?” tanya pemuda itu pada perempuan di hadapannya.“Dia sedang tugas keluar kota. Kamu mau masuk?” tawar perempuan yang nampak menggoda dengan gaun satin berwarna putih itu.Laki-laki itu nampak ragu. Sejujurnya, baru kali ini ia diminta datang oleh perempuan yang dikenalnya beberapa bulan belakangan melalui salah seorang temannya.“Kenapa? Kamu ragu, Van?” tanya perempuan itu. “Atau, apa sebaiknya kita keluar saja malam ini?”“Sejujurnya, aku tidak terlalu merasa save di sini, Mir,” laki-laki itu memberi alasan.“Baiklah. Aku mengerti.”Laki-laki itu tersenyum. “Jadi, bagaimana kalau kamu berganti pakaian dan kita menghabiskan malam di luar?”Perempuan itu tersenyum. “Baiklah. Kau mau menungguku di dalam atau di sini?”“Menurutmu?”Kem
Amanda menatap Airin yang tengah bangkit dari duduknya. Airin tersenyum. “Hai, Dokter Amanda?” sapa Airin ramah. “Hai.” Amanda menjawab singkat. Nampaknya perempuan itu tidak ingin beramah tamah dengan siapa pun dan tak berniat untuk berlama-lama berada di sana. Airin memahami itu, karena ia sempat mendengar percakapan mereka di dalam, sebelum Airin memutuskan untuk duduk di beranda hingga pembicaraan mereka selesai. Amanda berlalu dari hadapan Airin, menuju kea rah mobilnya yang terparkir. Dengan tanpa basa-basi, perempuan itu melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah Alfian. Airin menatap Alfian. Laki-laki itu berbalik, berusaha menghindari tatapan mata Airin. “Kenapa harus mematahkan hatinya dengan sangat kasar, Al,” ujar Airin seraya mengekori Alfian menuju dapur. Laki-laki menyobek sesachet cappuccino lalu menuangkan bubuknya ke dalam cangkir. Airin menghampiri, lalu mengambil cangkir berisi bubuk cappuccino di hadapan Alfian kemudian mengisinya dengan air. Setelah mengadu
Moza meletakkan dua gelas air mineral di hadapan Alfian dan Airin. Di luar sana, mendung mulai menggantung. Sebentar saja, mungkin rancak hujan akan menyapa bumi. Nadia, bocah cilik dengan rambut di gelung asal itu duduk tidak jauh dari mereka. Ia sibuk bercerita dengan boneka pandanya yang buta.Airin terus menatap ke arah bocah cilik itu seraya sesekali tersenyum. “Seandainya pernikahanku di karuniai seorang bocah mungil seperti itu, mungkin jalan hidupku akan berbeda,” pikir perempuan itu.“Sejak kapan kamu tinggal di sini?” tanya Alfian pada adik perempuannya.“Setahun yang lalu, Kak.”Alfian manggut-manggut. Matanya mengawasi sekeliling. Lalu, jatuh pada bocah cilik di sudut ruang.“Nadia. Dia anak keduaku, Kak. Kakaknya meninggal ketika berusia 9 bulan karena kejang.”“Di mana suamimu?”Moza menggeleng. “Setelah melahirkan Nadia, dia pergi bersama perempu
Siang yang begitu terik. Airin duduk di salah satu ruang tunggu penjara perempuan. Wajah perempuan itu tampak cerah tatkala Hanna muncul dari balik pintu.“Hai, Han,” sapanya tulus.Hanna tersenyum. “Bagaimana kabarmu, Airin?”“Seperti yang kamu lihat. Aku mungkin baik-baik saja, atau sebaliknya. Entahlah…”Hanna tersenyum. “Bagaimana kabar Adrian? Kemarin Sandy mulai mengeluhkan perilaku adiknya itu.”Wajah Airin nampak sedih. “Entah. Kupikir ia akan menghubungi kakak laki-lakinya. Tapi, aku salah…”“Sudahlah. Mungkin dia butuh waktu. Kami telah menyulitkan hidupnya secara tidak langsung kemarin.”Airin tersenyum.“Tania pun menanyakan kabarnya pada Sandy,” desah Hanna.“Jadi, dia tidak menghubungi Tania?”Hanna menggeleng. “Kurasa, sebelum Adrian pergi mereka sempat bertengkar hebat.”“Benarkah?”“Adrian tidak sungguh-sungguh menerima Tania kembali. Itu yang aku tahu.”Airin terdiam.“Kamu harus tahu bagaimana mempertahankan apa yang kamu miliki, Airin.”“Aku terkesan padamu, Han. K
“Apa? Kamu mau kembali?” Niel menatap Adrian dengan tatapan mata tak percaya. “Kamu serius?”Adrian mengangguk seraya menggigit pizza-nya. Daniela tampak menghela napas. Menatap ke sekeliling, kemudian mengalihkan pandangannya menatap ke arah Caesar salad yang berada di hadapannya.“Kenapa kamu tidak makan saladnya? Apa rasanya tidak enak?” tanya Adrian.“Rasanya tidak berubah. Masih sama.”“Lalu?” Adrian masih menatap ke arah Daniela polos. “Apa kamu mau menukarnya dengan pizza saja. Kamu tidak sempat makan kemarin, kan?”“Kalau aku ikut denganmu, bagaimana?” Daniela bertanya tanpa berniat menjawab tawaran Adrian untuk menukar Caesar salad miliknya dengan pizza.Ganti Adrian menatap ke arah sahabatnya itu. “Ikut pulang ke negaraku?”“Itu negaraku juga. Aku lahir di sana, jangan lupa, Yan.”Adrian tersenyum. “Aku se
Airin duduk di meja makan dengan kikuk di sisi Alfian. Moza tetap dengan perilaku yang sama; dingin menatap Airin. “Hari ini, kuharap kamu tidak ada acara apa pun, Airin,” ujar Alfian.“Kenapa?”“Moza dan aku akan mengangtar mama. Jadi, kami minta tolong supaya kamu bisa menjemput Nadia nanti.”“Oh…ten-tentu saja. Pergilah. Aku akan menjemput Nadia.”“Bisakah kamu memasak untuk makan siang, Airin?” tanya sang Bibi hati-hati. “Pamanmu ada sedikit pekerjaan. Bibi kahawatir saat dia pulang nanti tidak ada makanan.”“Ah, baik, Bi. Jangan khawatir. Sebelum menjemput Nadia, Airin pasti masak dulu.”Sang bibi tersenyum.“Jangan sampai terlambat menjemput Nadia,” ujar Moza dingin. “Aku tidak suka Nadia menunggu terlalu lama di sekolah.”“Tenang saja. Aku akan menjemput tepat waktu.”Mereka kembali menikmati sarapan pagi itu tanpa bicara lagi. Hingga semuanya bersiap untuk pergi. Paman Airin pergi lebih awal. Tentu saja, hal itu membuat Airin merasa lega. Setidaknya, ia akan lebih leluasa un
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf
Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan