Seorang perempuan berjalan cepat menuruni anak tangga lalu menuju pintu depan. Dengan hati-hati, perempuan itu membuka pintu lalu wajah cantiknya pun terlihat cerah ketika seorang laki-laki muda berdiri di depan pintu.“Apa dia benar-benar tidak di rumah?” tanya pemuda itu pada perempuan di hadapannya.“Dia sedang tugas keluar kota. Kamu mau masuk?” tawar perempuan yang nampak menggoda dengan gaun satin berwarna putih itu.Laki-laki itu nampak ragu. Sejujurnya, baru kali ini ia diminta datang oleh perempuan yang dikenalnya beberapa bulan belakangan melalui salah seorang temannya.“Kenapa? Kamu ragu, Van?” tanya perempuan itu. “Atau, apa sebaiknya kita keluar saja malam ini?”“Sejujurnya, aku tidak terlalu merasa save di sini, Mir,” laki-laki itu memberi alasan.“Baiklah. Aku mengerti.”Laki-laki itu tersenyum. “Jadi, bagaimana kalau kamu berganti pakaian dan kita menghabiskan malam di luar?”Perempuan itu tersenyum. “Baiklah. Kau mau menungguku di dalam atau di sini?”“Menurutmu?”Kem
Amanda menatap Airin yang tengah bangkit dari duduknya. Airin tersenyum. “Hai, Dokter Amanda?” sapa Airin ramah. “Hai.” Amanda menjawab singkat. Nampaknya perempuan itu tidak ingin beramah tamah dengan siapa pun dan tak berniat untuk berlama-lama berada di sana. Airin memahami itu, karena ia sempat mendengar percakapan mereka di dalam, sebelum Airin memutuskan untuk duduk di beranda hingga pembicaraan mereka selesai. Amanda berlalu dari hadapan Airin, menuju kea rah mobilnya yang terparkir. Dengan tanpa basa-basi, perempuan itu melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah Alfian. Airin menatap Alfian. Laki-laki itu berbalik, berusaha menghindari tatapan mata Airin. “Kenapa harus mematahkan hatinya dengan sangat kasar, Al,” ujar Airin seraya mengekori Alfian menuju dapur. Laki-laki menyobek sesachet cappuccino lalu menuangkan bubuknya ke dalam cangkir. Airin menghampiri, lalu mengambil cangkir berisi bubuk cappuccino di hadapan Alfian kemudian mengisinya dengan air. Setelah mengadu
Moza meletakkan dua gelas air mineral di hadapan Alfian dan Airin. Di luar sana, mendung mulai menggantung. Sebentar saja, mungkin rancak hujan akan menyapa bumi. Nadia, bocah cilik dengan rambut di gelung asal itu duduk tidak jauh dari mereka. Ia sibuk bercerita dengan boneka pandanya yang buta.Airin terus menatap ke arah bocah cilik itu seraya sesekali tersenyum. “Seandainya pernikahanku di karuniai seorang bocah mungil seperti itu, mungkin jalan hidupku akan berbeda,” pikir perempuan itu.“Sejak kapan kamu tinggal di sini?” tanya Alfian pada adik perempuannya.“Setahun yang lalu, Kak.”Alfian manggut-manggut. Matanya mengawasi sekeliling. Lalu, jatuh pada bocah cilik di sudut ruang.“Nadia. Dia anak keduaku, Kak. Kakaknya meninggal ketika berusia 9 bulan karena kejang.”“Di mana suamimu?”Moza menggeleng. “Setelah melahirkan Nadia, dia pergi bersama perempu
Siang yang begitu terik. Airin duduk di salah satu ruang tunggu penjara perempuan. Wajah perempuan itu tampak cerah tatkala Hanna muncul dari balik pintu.“Hai, Han,” sapanya tulus.Hanna tersenyum. “Bagaimana kabarmu, Airin?”“Seperti yang kamu lihat. Aku mungkin baik-baik saja, atau sebaliknya. Entahlah…”Hanna tersenyum. “Bagaimana kabar Adrian? Kemarin Sandy mulai mengeluhkan perilaku adiknya itu.”Wajah Airin nampak sedih. “Entah. Kupikir ia akan menghubungi kakak laki-lakinya. Tapi, aku salah…”“Sudahlah. Mungkin dia butuh waktu. Kami telah menyulitkan hidupnya secara tidak langsung kemarin.”Airin tersenyum.“Tania pun menanyakan kabarnya pada Sandy,” desah Hanna.“Jadi, dia tidak menghubungi Tania?”Hanna menggeleng. “Kurasa, sebelum Adrian pergi mereka sempat bertengkar hebat.”“Benarkah?”“Adrian tidak sungguh-sungguh menerima Tania kembali. Itu yang aku tahu.”Airin terdiam.“Kamu harus tahu bagaimana mempertahankan apa yang kamu miliki, Airin.”“Aku terkesan padamu, Han. K
“Apa? Kamu mau kembali?” Niel menatap Adrian dengan tatapan mata tak percaya. “Kamu serius?”Adrian mengangguk seraya menggigit pizza-nya. Daniela tampak menghela napas. Menatap ke sekeliling, kemudian mengalihkan pandangannya menatap ke arah Caesar salad yang berada di hadapannya.“Kenapa kamu tidak makan saladnya? Apa rasanya tidak enak?” tanya Adrian.“Rasanya tidak berubah. Masih sama.”“Lalu?” Adrian masih menatap ke arah Daniela polos. “Apa kamu mau menukarnya dengan pizza saja. Kamu tidak sempat makan kemarin, kan?”“Kalau aku ikut denganmu, bagaimana?” Daniela bertanya tanpa berniat menjawab tawaran Adrian untuk menukar Caesar salad miliknya dengan pizza.Ganti Adrian menatap ke arah sahabatnya itu. “Ikut pulang ke negaraku?”“Itu negaraku juga. Aku lahir di sana, jangan lupa, Yan.”Adrian tersenyum. “Aku se
Airin duduk di meja makan dengan kikuk di sisi Alfian. Moza tetap dengan perilaku yang sama; dingin menatap Airin. “Hari ini, kuharap kamu tidak ada acara apa pun, Airin,” ujar Alfian.“Kenapa?”“Moza dan aku akan mengangtar mama. Jadi, kami minta tolong supaya kamu bisa menjemput Nadia nanti.”“Oh…ten-tentu saja. Pergilah. Aku akan menjemput Nadia.”“Bisakah kamu memasak untuk makan siang, Airin?” tanya sang Bibi hati-hati. “Pamanmu ada sedikit pekerjaan. Bibi kahawatir saat dia pulang nanti tidak ada makanan.”“Ah, baik, Bi. Jangan khawatir. Sebelum menjemput Nadia, Airin pasti masak dulu.”Sang bibi tersenyum.“Jangan sampai terlambat menjemput Nadia,” ujar Moza dingin. “Aku tidak suka Nadia menunggu terlalu lama di sekolah.”“Tenang saja. Aku akan menjemput tepat waktu.”Mereka kembali menikmati sarapan pagi itu tanpa bicara lagi. Hingga semuanya bersiap untuk pergi. Paman Airin pergi lebih awal. Tentu saja, hal itu membuat Airin merasa lega. Setidaknya, ia akan lebih leluasa un
“Aku tidak suka caramu, Al. Sungguh,” protes Airin sepulangnya dari rumah sakit.“Airin, aku tahu aku bersalah. Tapi, orang itu tidak boleh dibiarkan bebas begitu saja setelah apa yang dia lakukan padamu.”“Apa pedulimu, Al. Bahkan, seandainya kamu benar-benar peduli, harusnya dulu kamu menolongku.”Alfian terdiam.“Lihat, apa yang ayahmu lakukan padaku, Al. Seharusnya kamu malu telah menjebak laki-laki itu.”Airin mulai terisak. “Kamu tahu, Al. Akulah yang menjadi korban di sini. Aku!”“Airin, maafkan aku. Aku akui aku memang pengecut karena memperalatmu. Tapi, sungguh aku tak pernah berniat untuk mencelakaimu.”“Kau memang bajingan, Al…” desah perempuan itu. “Keluar dari kamarku… keluar!” Airin mendorong tubuh Alfian dengan kasar. Laki-laki itu pun tidak mau berdebat dengan sepupunya, ia pun keluar dari kamar Airin.Airin mulai menangis di dalam kamarnya.“Jangan ganggu dia dulu, Al,” Bibi Airin berujar ketika Alfian duduk di meja makan. Perempuan itu tengah menyiapkan makan malam u
Airin menatap langit-langit kamar. Rasanya berat untuk memaknai tiap hal yang telah dilaluinya. Namun, mau tidak mau ia pun harus memikirkannya secara mendalam.Perempuan itu pun bangkit dari tidurnya, lalu berjalan menuju balkon. Tinggal di istana Alfian bersama Moza, Nadia, dan bibinya adalah pilihan paling bijaksana yang bisa dilakukannya. Apalagi, ketika secara tiba-tiba netranya menatap Nadia yang tengah berlarian di halaman mengejar kupu-kupu bersama Moza, ibunya. Moza melambaikan tangan ke arah Airin, ketika ia menyadari bahwa Airin tengah memperhatikan mereka. Airin tersenyum, kemudian meninggalkan balkon. Keluar dari kamarnya menuju halaman.“Bi Rin,” Nadia menabraknya, lalu memeluk Airin erat yang di balas dengan pelukan oleh perempuan itu.“Halo, Sayang. Berapa ekor kupu-kupu yang kamu dapat, Nad?”Nadia menggeleng, “Mereka terbang terlalu tinggi,” keluhnya. Airin pun tersenyum.“Kamu sudah sarapan?” tanya Moza. “Mama membuat sup jamur pagi ini. Tadi, aku ingin membangunkanm