“Apa? Kamu mau kembali?” Niel menatap Adrian dengan tatapan mata tak percaya. “Kamu serius?”
Adrian mengangguk seraya menggigit pizza-nya. Daniela tampak menghela napas. Menatap ke sekeliling, kemudian mengalihkan pandangannya menatap ke arah Caesar salad yang berada di hadapannya.
“Kenapa kamu tidak makan saladnya? Apa rasanya tidak enak?” tanya Adrian.
“Rasanya tidak berubah. Masih sama.”
“Lalu?” Adrian masih menatap ke arah Daniela polos. “Apa kamu mau menukarnya dengan pizza saja. Kamu tidak sempat makan kemarin, kan?”
“Kalau aku ikut denganmu, bagaimana?” Daniela bertanya tanpa berniat menjawab tawaran Adrian untuk menukar Caesar salad miliknya dengan pizza.
Ganti Adrian menatap ke arah sahabatnya itu. “Ikut pulang ke negaraku?”
“Itu negaraku juga. Aku lahir di sana, jangan lupa, Yan.”
Adrian tersenyum. “Aku se
Airin duduk di meja makan dengan kikuk di sisi Alfian. Moza tetap dengan perilaku yang sama; dingin menatap Airin. “Hari ini, kuharap kamu tidak ada acara apa pun, Airin,” ujar Alfian.“Kenapa?”“Moza dan aku akan mengangtar mama. Jadi, kami minta tolong supaya kamu bisa menjemput Nadia nanti.”“Oh…ten-tentu saja. Pergilah. Aku akan menjemput Nadia.”“Bisakah kamu memasak untuk makan siang, Airin?” tanya sang Bibi hati-hati. “Pamanmu ada sedikit pekerjaan. Bibi kahawatir saat dia pulang nanti tidak ada makanan.”“Ah, baik, Bi. Jangan khawatir. Sebelum menjemput Nadia, Airin pasti masak dulu.”Sang bibi tersenyum.“Jangan sampai terlambat menjemput Nadia,” ujar Moza dingin. “Aku tidak suka Nadia menunggu terlalu lama di sekolah.”“Tenang saja. Aku akan menjemput tepat waktu.”Mereka kembali menikmati sarapan pagi itu tanpa bicara lagi. Hingga semuanya bersiap untuk pergi. Paman Airin pergi lebih awal. Tentu saja, hal itu membuat Airin merasa lega. Setidaknya, ia akan lebih leluasa un
“Aku tidak suka caramu, Al. Sungguh,” protes Airin sepulangnya dari rumah sakit.“Airin, aku tahu aku bersalah. Tapi, orang itu tidak boleh dibiarkan bebas begitu saja setelah apa yang dia lakukan padamu.”“Apa pedulimu, Al. Bahkan, seandainya kamu benar-benar peduli, harusnya dulu kamu menolongku.”Alfian terdiam.“Lihat, apa yang ayahmu lakukan padaku, Al. Seharusnya kamu malu telah menjebak laki-laki itu.”Airin mulai terisak. “Kamu tahu, Al. Akulah yang menjadi korban di sini. Aku!”“Airin, maafkan aku. Aku akui aku memang pengecut karena memperalatmu. Tapi, sungguh aku tak pernah berniat untuk mencelakaimu.”“Kau memang bajingan, Al…” desah perempuan itu. “Keluar dari kamarku… keluar!” Airin mendorong tubuh Alfian dengan kasar. Laki-laki itu pun tidak mau berdebat dengan sepupunya, ia pun keluar dari kamar Airin.Airin mulai menangis di dalam kamarnya.“Jangan ganggu dia dulu, Al,” Bibi Airin berujar ketika Alfian duduk di meja makan. Perempuan itu tengah menyiapkan makan malam u
Airin menatap langit-langit kamar. Rasanya berat untuk memaknai tiap hal yang telah dilaluinya. Namun, mau tidak mau ia pun harus memikirkannya secara mendalam.Perempuan itu pun bangkit dari tidurnya, lalu berjalan menuju balkon. Tinggal di istana Alfian bersama Moza, Nadia, dan bibinya adalah pilihan paling bijaksana yang bisa dilakukannya. Apalagi, ketika secara tiba-tiba netranya menatap Nadia yang tengah berlarian di halaman mengejar kupu-kupu bersama Moza, ibunya. Moza melambaikan tangan ke arah Airin, ketika ia menyadari bahwa Airin tengah memperhatikan mereka. Airin tersenyum, kemudian meninggalkan balkon. Keluar dari kamarnya menuju halaman.“Bi Rin,” Nadia menabraknya, lalu memeluk Airin erat yang di balas dengan pelukan oleh perempuan itu.“Halo, Sayang. Berapa ekor kupu-kupu yang kamu dapat, Nad?”Nadia menggeleng, “Mereka terbang terlalu tinggi,” keluhnya. Airin pun tersenyum.“Kamu sudah sarapan?” tanya Moza. “Mama membuat sup jamur pagi ini. Tadi, aku ingin membangunkanm
Moza keluar dari ruang pemeriksaan dengan wajah pucat pasi. Ia terduduk di kursi tunggu dengan kebingungan.“Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada udara.Terbayang dalam benaknya wajah Nadia, sang putri. Apa yang akan gadis cilik itu jalani bila ia tidak berhasil menyelamatkan diri dari penyakit yang menggerogotinya di beberapa hari ke depan? Apa ia akan mengikhlaskan senyum manis dari bibir putrinya itu memudar?“Ya Tuhan… kenapa Engkau memberikan ujian bertubi-tubi seperti ini?”Tiba-tiba, kebencian menyeruak masuk dalam hati dan mempengaruhi pikirannya. “Aku harus memintanya untuk bertanggung jawab. Dia tidak bisa meninggalkan beban begitu besar padaku. Seenaknya dia menikmati hari bersama perempuan itu, tapi mengabaikan aku dan darah dagingnya,” Moza mulai merutuk.Perempuan itu pun bangkit. Dengan pikiran berkecamuk, ia keluar dari rumah sakit. Namun sampai di lobi dia limbung, lalu jatuh tak sadarkan diri.***Airin tengah duduk di depan komputernya ketika ponseln
Suara bel pintu terdengar seantero rumah. Airin berjalan cepat lalu membuka pintu depan. Ia tertegun untuk sesaat melihat sosok Alfian ada di balik pintu.“Hai, Airin. Bagaimana kondisi rumah,” ujar Alfian seraya masuk ke dalam.“Semua baik-baik saja.”Alfian menatap Airin sekilas. Ternyata sepupunya masih bersikap dingin padanya. “Paman Al!” suara Nadia memecah kesunyian di antara keduanya. Alfian tersenyum lalu menggendong Nadia yang memeluknya erat.“Paman, Bibi Airin akan mengajakku piknik bila Paman kembali dari tugas. Berarti, kita bisa piknik besok, kan?”“Hmm… benarkah?”Nadia mengangguk.“Kenapa bibi Airin tidak bicara pada paman?”“Ah serius, Paman?”Nadia melorot dari gendongan pamannya, lalu menatap ke arah Airin. Meminta penjelasan.“Paman baru datang. Bibi tidak mungkin bicara karena paman belum istirahat,” Airin berdaih, yang serta merta membuat Alfian tersenyum.“Minta bibi Airin buatkan paman air jeruk nipis,” ujar Alfian seraya mengerlingkan mata kepada Nadia.“Bibi
Gurat bahagia tampak jelas tergambar di wajah Moza ketika Alfian datang bersama Adrian sore itu.“Ini kejutan,” ujar perempuan yang tampak cantik dengan balutan baju hijau bercorak abstrak.“Apa kalian memasak sesuatu yang luar biasa hari ini?” tanya Alfian cepat seraya memberi kode pada Adrian untuk masuk.“Kami akan menyiapkannya cepat. Ini salahmu, Al. Harusnya kamu memberi kabar, kalau akan pulang bersama Adrian,” protes Moza.“Kami bertemu secara tak sengaja, tadi.” Alfian berlalu menuju tangga dan hilang di balik pintu.Adrian tersenyum.“Duduklah, Yan. Begitulah Alfian,” keluh Moza. “Oh iya, kamu mau minum apa?” tawar perempuan itu kemudian.“Apa saja, Moz.”Setelah tersenyum, Moza berlalu dari ruangan itu.Adrian duduk di sana seraya menyapu seluruh pandangannya ke arah ruangan dengan ornamen-ornamen indah yang dimilikinya. Setidaknya rumah ini tiga hingga lima kali lebih besar dari rumah yang dibangun Sandy dan Airin.Alfian baru saja selesai mandi, ia menatap ke arah ayunan k
Airin termangu di depan jendela kamar. Obrolannya dengan Alfian membuatnya jatuh dalam perenungan. Terngiang kembali ucapan Alfian di telinganya, ia tidak ingin Airin berkorban lagi. Bagaimana mungkin ini serupa dejavu? Airin dan Adrian di hadapan dengan situasi yang sama. Parahnya, ini adalah Moza. Sepupunya sendiri.Airin bergerak menuju balkon kamar. Perempuan itu berjalan mondar-mandir. “Apakah aku boleh bertindak egois, walau untuk kali ini saja?” gumamnya dalam hati. Lalu, perempuan itu melemparkan arah pandangnya ke ayunan kayu tempat ia biasa menghabiskan waktu. Matanya menatap Alfian tengah di sana dengan rokoknya.“Seandainya kami benar-benar tidak ada yang mengalah, apa kamu akan mendukungmu atau adikmu, Al? Lalu bila ternyata Adrian lebih memilihku, apa kamu akan membelaku?”Usai Airin berkata demikian dalam hati, Alfian menoleh ke arahnya. Airin berdebar secara tiba-tiba. Ia tidak menyangka kalau laki-laki itu memergoki Airin yang tengah menatap arahnya. Alfian melambaika
Adrian secara tiba-tiba mencium Daniela. Hingga perempuan itu merasakan ada hentakan besar yang mengguncang dadanya. Daniela menempelkan telapak tangannya di pipi Adrian, namun laki-laki itu menarik bibirnya kembali. Mereka pun saling menatap.“Niel, aku tak merasakan debarannya sama sekali,” gumam Adrian.“Bajingan kau, Yan.”Daniela beringsut mundur lalu kembali menikmati mie instan dalam mangkuknya.“Kau mungkin benar, aku impoten.”Perempuan di hadapan Adrian mendengus. “Perempuan itu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.”Tidak ada pembicaraan yang berarti setelahnya. Mereka telah larut dalam pikiran mereka masing-masing.***Daniela menatap langit-langit kamar, ketika ia membaringkan diri di atas ranjang salah satu hotel bintang lima. Perempuan itu menyentuh bibirnya dengan ujung jemari tangan kanan. Masih bisa dirasakan olehnya hangat dan basahnya bibir Adrian di sana.“Yan, aku telah mengejarmu sampai ke tempat ini. Apakah kamu belum juga mengakhiri mimpimu?” keluh Dan