Suara bel pintu terdengar seantero rumah. Airin berjalan cepat lalu membuka pintu depan. Ia tertegun untuk sesaat melihat sosok Alfian ada di balik pintu.“Hai, Airin. Bagaimana kondisi rumah,” ujar Alfian seraya masuk ke dalam.“Semua baik-baik saja.”Alfian menatap Airin sekilas. Ternyata sepupunya masih bersikap dingin padanya. “Paman Al!” suara Nadia memecah kesunyian di antara keduanya. Alfian tersenyum lalu menggendong Nadia yang memeluknya erat.“Paman, Bibi Airin akan mengajakku piknik bila Paman kembali dari tugas. Berarti, kita bisa piknik besok, kan?”“Hmm… benarkah?”Nadia mengangguk.“Kenapa bibi Airin tidak bicara pada paman?”“Ah serius, Paman?”Nadia melorot dari gendongan pamannya, lalu menatap ke arah Airin. Meminta penjelasan.“Paman baru datang. Bibi tidak mungkin bicara karena paman belum istirahat,” Airin berdaih, yang serta merta membuat Alfian tersenyum.“Minta bibi Airin buatkan paman air jeruk nipis,” ujar Alfian seraya mengerlingkan mata kepada Nadia.“Bibi
Gurat bahagia tampak jelas tergambar di wajah Moza ketika Alfian datang bersama Adrian sore itu.“Ini kejutan,” ujar perempuan yang tampak cantik dengan balutan baju hijau bercorak abstrak.“Apa kalian memasak sesuatu yang luar biasa hari ini?” tanya Alfian cepat seraya memberi kode pada Adrian untuk masuk.“Kami akan menyiapkannya cepat. Ini salahmu, Al. Harusnya kamu memberi kabar, kalau akan pulang bersama Adrian,” protes Moza.“Kami bertemu secara tak sengaja, tadi.” Alfian berlalu menuju tangga dan hilang di balik pintu.Adrian tersenyum.“Duduklah, Yan. Begitulah Alfian,” keluh Moza. “Oh iya, kamu mau minum apa?” tawar perempuan itu kemudian.“Apa saja, Moz.”Setelah tersenyum, Moza berlalu dari ruangan itu.Adrian duduk di sana seraya menyapu seluruh pandangannya ke arah ruangan dengan ornamen-ornamen indah yang dimilikinya. Setidaknya rumah ini tiga hingga lima kali lebih besar dari rumah yang dibangun Sandy dan Airin.Alfian baru saja selesai mandi, ia menatap ke arah ayunan k
Airin termangu di depan jendela kamar. Obrolannya dengan Alfian membuatnya jatuh dalam perenungan. Terngiang kembali ucapan Alfian di telinganya, ia tidak ingin Airin berkorban lagi. Bagaimana mungkin ini serupa dejavu? Airin dan Adrian di hadapan dengan situasi yang sama. Parahnya, ini adalah Moza. Sepupunya sendiri.Airin bergerak menuju balkon kamar. Perempuan itu berjalan mondar-mandir. “Apakah aku boleh bertindak egois, walau untuk kali ini saja?” gumamnya dalam hati. Lalu, perempuan itu melemparkan arah pandangnya ke ayunan kayu tempat ia biasa menghabiskan waktu. Matanya menatap Alfian tengah di sana dengan rokoknya.“Seandainya kami benar-benar tidak ada yang mengalah, apa kamu akan mendukungmu atau adikmu, Al? Lalu bila ternyata Adrian lebih memilihku, apa kamu akan membelaku?”Usai Airin berkata demikian dalam hati, Alfian menoleh ke arahnya. Airin berdebar secara tiba-tiba. Ia tidak menyangka kalau laki-laki itu memergoki Airin yang tengah menatap arahnya. Alfian melambaika
Adrian secara tiba-tiba mencium Daniela. Hingga perempuan itu merasakan ada hentakan besar yang mengguncang dadanya. Daniela menempelkan telapak tangannya di pipi Adrian, namun laki-laki itu menarik bibirnya kembali. Mereka pun saling menatap.“Niel, aku tak merasakan debarannya sama sekali,” gumam Adrian.“Bajingan kau, Yan.”Daniela beringsut mundur lalu kembali menikmati mie instan dalam mangkuknya.“Kau mungkin benar, aku impoten.”Perempuan di hadapan Adrian mendengus. “Perempuan itu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.”Tidak ada pembicaraan yang berarti setelahnya. Mereka telah larut dalam pikiran mereka masing-masing.***Daniela menatap langit-langit kamar, ketika ia membaringkan diri di atas ranjang salah satu hotel bintang lima. Perempuan itu menyentuh bibirnya dengan ujung jemari tangan kanan. Masih bisa dirasakan olehnya hangat dan basahnya bibir Adrian di sana.“Yan, aku telah mengejarmu sampai ke tempat ini. Apakah kamu belum juga mengakhiri mimpimu?” keluh Dan
Airin menatap Adrian yang baru saja menutup panggilannya. Namun, ia memutuskan untuk berpura-pura tidak peduli.“Makanlah, Yan,” tawar Airin.Adrian tersenyum, laki-laki itu kembali duduk ditempatnya seraya menatap perempuan yang duduk di hadapannya dengan menyilangkan kaki. Airin belum berubah dan Adrian sangat merindukan perempuan itu. Rindu menatapnya tatkala menikmati secangkir kopi di halaman belakang. Airin si perempuan kopi itu benar-benar membius Adrian dengan segala keunikannya.Airin berdehem berusaha menyadarkan Adrian yang tampak melamun seraya menatap ke arahnya itu.“Ada apa, Yan? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Airin pelan.“Rasanya seperti mimpi, Kak,” jawab Adrian. “Kupikir kita tidak akan pernah bicara seperti ini lagi.”Airin tersenyum.“Bagaimana Kak Rin bisa berbuat seperti itu padaku.”Airin menggenggam jemari tangan Adrian. “Yan, maafkan aku,” ujarnya dengan mata sendu.Adrian tersenyum. “Aku sudah lama memaafkan Kak Rin.”“Kalau kamu ingin menghukumku, ak
Adrian terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ia sempat melihat Airin yang berdiri di belakang Moza, namun Airin memberi kode untuk ia tidak memberikan gerakan apa pun karena Moza tampaknya belum menyadari kehadiran Airin di sana. “Aku sakit. Yan. Dan, dokter sudah memastikan kemungkinkan aku tidak akan selamat,” ujar Moza. “Mungkin kamu akan berpikir aku adalah perempuan yang menjijikan karena berusaha memaksamu untuk menerima cintaku dengan menggunakan penyakitku. Tapi, aku berpikir, aku ingin bahagia diakhir cerita hidupku. Memiliki kekasih yang tidak pernah meninggalkanku hingga maut menjemputku. Dengan begitu, aku berpikir kematian nampaknya tidak terlalu menakutkan.” “Hmmm… Moza, maafkan aku. Tapi sejujurnya, pernyataanmu ini terlalu mendadak. Kamu membuatku bingung.” “Kamu tidak harus terburu-buru menjawabnya, Yan. Aku masih memiliki waktu untuk menunggu.” Moza terhuyung, dengan cepat Air
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men