Airin termangu di depan jendela kamar. Obrolannya dengan Alfian membuatnya jatuh dalam perenungan. Terngiang kembali ucapan Alfian di telinganya, ia tidak ingin Airin berkorban lagi. Bagaimana mungkin ini serupa dejavu? Airin dan Adrian di hadapan dengan situasi yang sama. Parahnya, ini adalah Moza. Sepupunya sendiri.Airin bergerak menuju balkon kamar. Perempuan itu berjalan mondar-mandir. “Apakah aku boleh bertindak egois, walau untuk kali ini saja?” gumamnya dalam hati. Lalu, perempuan itu melemparkan arah pandangnya ke ayunan kayu tempat ia biasa menghabiskan waktu. Matanya menatap Alfian tengah di sana dengan rokoknya.“Seandainya kami benar-benar tidak ada yang mengalah, apa kamu akan mendukungmu atau adikmu, Al? Lalu bila ternyata Adrian lebih memilihku, apa kamu akan membelaku?”Usai Airin berkata demikian dalam hati, Alfian menoleh ke arahnya. Airin berdebar secara tiba-tiba. Ia tidak menyangka kalau laki-laki itu memergoki Airin yang tengah menatap arahnya. Alfian melambaika
Adrian secara tiba-tiba mencium Daniela. Hingga perempuan itu merasakan ada hentakan besar yang mengguncang dadanya. Daniela menempelkan telapak tangannya di pipi Adrian, namun laki-laki itu menarik bibirnya kembali. Mereka pun saling menatap.“Niel, aku tak merasakan debarannya sama sekali,” gumam Adrian.“Bajingan kau, Yan.”Daniela beringsut mundur lalu kembali menikmati mie instan dalam mangkuknya.“Kau mungkin benar, aku impoten.”Perempuan di hadapan Adrian mendengus. “Perempuan itu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.”Tidak ada pembicaraan yang berarti setelahnya. Mereka telah larut dalam pikiran mereka masing-masing.***Daniela menatap langit-langit kamar, ketika ia membaringkan diri di atas ranjang salah satu hotel bintang lima. Perempuan itu menyentuh bibirnya dengan ujung jemari tangan kanan. Masih bisa dirasakan olehnya hangat dan basahnya bibir Adrian di sana.“Yan, aku telah mengejarmu sampai ke tempat ini. Apakah kamu belum juga mengakhiri mimpimu?” keluh Dan
Airin menatap Adrian yang baru saja menutup panggilannya. Namun, ia memutuskan untuk berpura-pura tidak peduli.“Makanlah, Yan,” tawar Airin.Adrian tersenyum, laki-laki itu kembali duduk ditempatnya seraya menatap perempuan yang duduk di hadapannya dengan menyilangkan kaki. Airin belum berubah dan Adrian sangat merindukan perempuan itu. Rindu menatapnya tatkala menikmati secangkir kopi di halaman belakang. Airin si perempuan kopi itu benar-benar membius Adrian dengan segala keunikannya.Airin berdehem berusaha menyadarkan Adrian yang tampak melamun seraya menatap ke arahnya itu.“Ada apa, Yan? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Airin pelan.“Rasanya seperti mimpi, Kak,” jawab Adrian. “Kupikir kita tidak akan pernah bicara seperti ini lagi.”Airin tersenyum.“Bagaimana Kak Rin bisa berbuat seperti itu padaku.”Airin menggenggam jemari tangan Adrian. “Yan, maafkan aku,” ujarnya dengan mata sendu.Adrian tersenyum. “Aku sudah lama memaafkan Kak Rin.”“Kalau kamu ingin menghukumku, ak
Adrian terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ia sempat melihat Airin yang berdiri di belakang Moza, namun Airin memberi kode untuk ia tidak memberikan gerakan apa pun karena Moza tampaknya belum menyadari kehadiran Airin di sana. “Aku sakit. Yan. Dan, dokter sudah memastikan kemungkinkan aku tidak akan selamat,” ujar Moza. “Mungkin kamu akan berpikir aku adalah perempuan yang menjijikan karena berusaha memaksamu untuk menerima cintaku dengan menggunakan penyakitku. Tapi, aku berpikir, aku ingin bahagia diakhir cerita hidupku. Memiliki kekasih yang tidak pernah meninggalkanku hingga maut menjemputku. Dengan begitu, aku berpikir kematian nampaknya tidak terlalu menakutkan.” “Hmmm… Moza, maafkan aku. Tapi sejujurnya, pernyataanmu ini terlalu mendadak. Kamu membuatku bingung.” “Kamu tidak harus terburu-buru menjawabnya, Yan. Aku masih memiliki waktu untuk menunggu.” Moza terhuyung, dengan cepat Air
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men
Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf