“Parah...!” Juli menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya. “Airy harus membereskan semuanya, atau karirnya sebagai penulis tamat!” Clara asistennya manggut-manggut. “Apa Airy mau tampil di muka publik?” tanya perempuan yang selalu berpakaian model harajuku itu. “Mau tidak mau. Pokoknya, dia harus tampil!” Clara terdiam, perempuan bergaya gothic itu nampak berpikir. “Carilah cara Claraku sayang. Nanti aku hadiahi kamu sesuatu yang pasti kamu akan suka.” “Deal!” Clara menjentikkan jari. Lalu segera berlalu dari hadapan Juli. “Kuharap, dia punya ide yang terbilang manusiawi,” desah Juli. *** Airin masih bergeming di dalam ruang kerjanya. Matanya terus menatap layar komputer, lalu mulai menyusun beberapa kalimat di sana. Ia menulis sesuatu yang terbetik begitu saja dalam pikirannya. Sebelum dering ponsel menguapkan segala hal yang terlintas. “Hai, Juli!” Sapanya pada seseorang yang tengah menanti Airin untuk menjawab panggilannya dari ujung sana. “Kamu sedang apa, Bebs?” tan
Hanna melempar remote televisi ke atas meja, usai menyaksikan wawancara Airin terkait kasus yang tengah menerpanya. “Jadi, dia dan Adrian saling mencintai? Ah! Bagaimana bisa mereka jadi tidak tahu malu seperti itu,” rutuknya. “Aku pulang.” Suara Sandy mengejutkannya. Perempuan itu serta merta bangkit dari sofa. Lalu bergegas menyambut kedatangan suaminya. “Hai, Sayang. Apa kamu lihat wawancara Airin tadi? Dia bilang, mereka saling mencintai, loh?” “Siapa maksudmu?” tanya Sandy seraya berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari dalam lemari es. “Airin dan adikmu, Adrian.” Hanna menarik kursi makan lalu duduk di sana. Sandy tertegun untuk sesaat. Lalu, segera memindahkan air dalam gelas itu ke perut. Serta merta, hawa dingin mengalir masuk melalui tenggorokannya. “Umm... bukankah itu terasa aneh?” Hanna menatap Sandy dengan tatapan menyelidik. “Ah! Tapi bagiku, rasanya kok keterlaluan, ya?” sambungnya. “Entahlah...” jawab Sandy cepat. “Sayang,” kembali
Satu minggu telah berlalu sejak perpindahan Adrian ke mess dokter. Airin mulai bekutat kembali dengan tulisan-tulisannya. Walaupun beberapa pembaca mulai meninggalkan novel-novelnya, bukan berarti Airin berhenti menulis. Adrian datang sesekali mengajaknya keluar untuk berbelanja atau berjalan-jalan sekedar mengusir penat. Hingga di satu minggu, bunyi ponsel Airin menjerit-jerit, tatkala ia tengah khusyuk di hadapan layar komputernya. Dahi Airin mengernyit. Itu panggilan dari Sandy. Namun, tidak lama kemudian, panggilan itu berganti menjadi notifikasi pesan. “Airin, kamu sedang apa?” tanya Sandy dalam pesannya. “Menulis.” Pesan terhenti sampai di sana. Airin kembali melakukan aktivitasnya. Hingga telponnya kembali berdering. “Hai, Kak!” Suara Adrian terdengar ceria. “Halo, Yan.” “Ummm… I miss you so much…” keluh Adrian. Airin tersenyum. “Mari bertemu…” “Tentu saja. Aku libur hari ini. Oh iya, Kakak sedang apa?” “Menulis…” “Hmmm… aku yang akan mengunjungimu, Kak. Menulislah d
Andrian sedikit kecewa melihat Airin datang bersama Sandy ke rumah sakit tempat Tania di rawat. Namun, ia berusaha keras menguasai diri. “Ah, Mario. Ini adikku Adrian,” Sandy memecah kebisuan antara Airin dan Adrian dengan memperkenalkan dokter muda itu pada Mario. “Bukankah dia dokter juga?” tanya Mario seraya menjabat tangan Adrian. “Mario,” ujar laki-laki itu mantap. Adrian hanya tersenyum seraya mengangguk. “Baiklah, aku tinggalkan kalian. Kapan-kapan, kita ngobrol sambil ngopi, ya…” Mario mengakhiri pertemuan itu dengan ramah. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang kalian lakukan di sini berdua?” tanya Adrian seraya menggandeng Airin. “Kebetulah kami bertemu di jalan,” ujar Sandy cepat. Airin menatap Sandy sekilas. “Apa Kakak sudah hubungi Kak Hanna?” tanya Adrian. “Aku akan menghubunginya,” Sandy menjawab cepat. “Baguslah. Itu artinya, Kak Airin tak perlu menunggunya.” Airin menatap Adrian yang ditatap hanya tersenyum simpul. Walau demikian, perempuan itu bisa melihat kecemb
Adrian meletakkan semangkuk havermut di atas meja. Tania nampak masih tergolek di atas tempat tidurnya. Perempuan itu berangsur-angsur mulai membaik dan dokter telah mengizinkannya pulang hari ini. Ia terbangun tatkala Adrian membuka kaca jendela. “Ah! Sudah pagi…”desahnya. “Ya. Bangun dan segera habiskan sarapanmu.” Tania berusaha bangun dari tidurnya, lalu mengambil segelas air putih dan memindahkan isinya ke dalam perut. “Hari ini kita bisa pulang. Aku akan antar kau ke rumah orang tuamu.” “Jangan. Aku akan pulang ke apartemenku saja.” “Mereka akan sangat khawatir, Tania.” “Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri, Adrian.” Adrian terdiam. “Apa kamu bosan menemaniku?” tanya Tania pelan. “Bukan karena bosan, Tania. Tapi, lebih kepada aku yang tak bisa setiap waktu ada di sisimu. Kau tahu, aku terlalu lama mengabaikan Kak Rin. Selain itu, pekerjaanku pun menunggu.” Tania tersenyum. “Maafkan aku, Yan. Seharusnya, aku lebih tahu diri.” “Aku yang seharusnya minta
Di satu pagi yang terbilang mendung. Airin masih duduk di atas ranjang, sembari menatap kosong ke luar jendela. Sepanjang malam ia terjaga. Bukan untuk membereskan naskah, namun karena rasa cemas yang menekannya sedemikian rupa. Tidak ada satu ide pun yang terbetik dalam pikirannya kecuali masa lalu yang muncul tanpa diminta. Bukankah hingga detik ini, ia terus berusaha menghapus mimpi buruk di masa lalunya itu? Alih-alih menghilang, justru mimpi buruk itu kini memaksa hadir di depan mata. Ah! Seandainya saja Airin bisa lebih terbuka pada Adrian tentang masa lalunya, apakah laki-laki itu bisa membantunya? Masa lalu itu seolah lautan yang menenggelamkan dirinya dalam waktu yang begitu lama. Dan, hal itu membuatnya merasa frustasi. Namun, untuk berkata jujur pada Adrian pun ia merasa belum siap. Ada banyak kekhawatiran bercokol di kepalanya. Bagaimana bila laki-laki itu justru meninggalkannya atau hanya bersamanya karena merasa kasihan. Airin membenci kondisi itu dan kondisinya saat ini
Hanna terduduk di atas kursi tunggu, merenung. Ia dinyatakan positif hamil, dengan usia kandungannya menginjak 8 minggu. Hanna ragu dengan kondisinya saat ini. Melihat hubungannya dengan Sandy yang lambat laun semakin terasa memburuk. Ia bingung harus berkata apa kepada laki-laki itu mengenai kehamilannya. Apa dia harus bicara dengan wajah berseri-seri atau sebaliknya. Hingga di satu malam, Hanna menemui laki-laki yang tengah duduk terpekur di pinggir kolam renang itu. Ia tak banyak bicara, hanya memberikan alat test kehamilan pada suaminya, lalu pergi begitu saja setelah laki-laki itu menerimanya. Sandy tertegun tatkala melihat dua garis merah yang nampak jelas itu. “Ya Tuhan, lihatlah. Kami benar-benar pasangan yang abnormal,” keluhnya kemudian. *** Pagi itu di dalam ruang kerjanya, Sandy hanya bisa duduk terpaku. Entah ia harus merasa bahagia atau sebaliknya. Ia ingin mengakhiri neraka rumah tangganya dan merebut hati Airin kembali. Namun, kehamilan Hanna serta merta membuatnya
Adrian merasakan penat. Usai sesi konselingnya berakhir, ia mulai berjalan menyusuri koridor dan menaiki tangga darurat menuju roof top. Hanya di tempat inilah ia bisa menghisap rokok demi menetralkan pikirannya. Adrian menyalakan sebatang rokok dengan pematik, duduk berjongkok di sudut. Angin dingin berhembus di cuaca yang teramat cerah. Angin itu menebar kerinduannya pada Airin. Laki-laki itu tersenyum masam. Biar bagaimana pun dia benci kondisi seperti ini. Seharusnya Airin melarangnya menemui Tania. Bukan, justru sebaliknya. Ia bertransformasi menjadi ibu peri yang memberi ruang kepadanya dengan Tania. Dan, mengapa Tania berubah menjadi sosok yang tidak egois seperti dulu. Ini benar-benar memuakkan. Keduanya nampak aneh di mata Adrian. Sebuah pesan dari Tania masuk mengganggu siangnya yang tenang. “Adrian hari ini bisa datang ke apartemenku?” Laki-laki itu tampak berpikir sesaat. “Aku akan tanyakan kepada Airin.” Jawab Adrian. “Baiklah. Jangan memaksakan diri, ya.” Balasan Tania