Tania berjalan mendekati Airin. Dengan cepat Adrian menarik Airin ke belakang punggungnya. Perempuan itu pun nampak mendengus kesal. “Kak Rin, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujar Tania seraya berbalik berjalan keluar. Adrian menatap Airin. “Kalau dia berbuat tidak baik, Kakak harus membalasnya, ya,” ujar Adrian. “Kamu membuatku dalam masalah, Yan.” Mata Airin membulat. Laki-laki itu tersenyum. Bukankan Airin semakin terlihat menggemaskan bila bertingkah seperti itu? Tania telah duduk di loby ruang tunggu. Wajahnya terlihat kaku. Airin mengambil tempat di hadapannya. “Kak, kupikir sebaiknya Kak Rin pulang. Rasanya sangat tidak pantas jika Kakak menunggu Adrian, padahal jelas-jelas Adrian sudah memiliki tunangan. Lagi pula, Kakak bukan siapa-siapa Adrian lagi, kan? Jadi, aku mohon dengan amat sangat, menjauhlah dari Adrian.” “Tania, sejauh ini, hubungan kami masih dalam batasannya, kok. Jadi, tidak ada satu hal pun yang harus kamu khawatirkan.” “Itu, kan, menurut Kaka
Tania terus memaki-maki di sepanjang perjalanannya pulang. Perempuan itu benar-benar tidak lagi mentoleransi perbuatan Adrian. Tania terus membawa kendaraannya berbelok menuju sebuah cluster perumahan yang terbilang cukup mewah. Ia menghentikan kendaraan tepat di depan rumah dengan cat putih kombinasi abu-abu tua dengan dua buah pohon cemara tinggi menjulang. Tidak ada tumbuhan lain selain itu. Tania menekan bel dengan tidak sabaran. Seorang perempuan muncul dari balik pintu. “Tania? Loh, di mana Adrian?” tanya Hanna sembari celingukan. “Adrian meninggalkanku sendirian, Kak…” Hanna mengelus dada, lalu merangkul Tania yang mulai menangis. “Kak, aku tak tahan lagi…” Hanna membawa Tania ke ruang tengah dan mendudukannya di sana. “Bicaralah pelan-pelan, Tania…” “Aku memaksa untuk membawa mobilnya, agar aku bisa membawanya pulang. Tapi, bukannya naik, dia malah pergi naik taksi meninggalkan aku…” “Apa Sandy tahu?” Tania menggeleng. “Aku belum mengatakan ini pada Kak Sandy, Kak.” “
Adrian menatap Airin dalam. Memperhatikan tiap gerak perempuan di hadapannya. Bagaimana cara ia menyedok makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Ya, mereka tengah menikmati makan malam berdua dengan situasi yang berbeda. Setelah kebersamaan mereka tertebas untuk sementara waktu. Perpisahan dengan cara seperti itu ternyata amat menyakitkan. Dan, siapa pula yang menyangka, justru perpisahan itulah yang mampu menyulut terjadinya kisah baru. Kehilangan dan kesepian. Keduanya membentuk kerinduan yang menggulung hebat dalam jiwa. Airin menghentikan aktivitasnya lalu menatap Adrian. “Kenapa terus memandangku?” tanyanya. Adrian tersenyum. “Aku yang lapar, tapi Kak Rin yang lahap makan,” goda Adrian Airin cemberut. “Aku tidak makan sudah tiga harian,” protes Airin. “Kenapa? Apa sedemikian rindunya Kakak denganku?” lagi Adrian menggodanya. Airin tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Lalu berujar, “Entah apa yang memenuhi pikiranku.” “Kak, kita akan lanjutkan terapinya lagi, ya. Beberapa ha
“Airy; Novelis Ternama Rebut Tunangan ,Orang” Berita kontroversi tentang Airin tiba-tiba meledak di pagi itu. Baik melalui televisi, media massa hingga media online. Para penggemarnya saja tidak ada yang tahu seperti apa Airy, karena perempuan itu terkenal introvet dan cukup misterius. Bagaimana bisa? Tiba-tiba ada sebuah berita terhembus yang ‘katanya’ Airy merebut tunangan orang? Ini adalah angin segar bagi para jurnalis untuk menggodoknya! Setidaknya, mereka bisa mengeskspos seperti apa penampakan novelis yang selalu berhasil meledakkan novel-novelnya itu. Dering ponsel menjerit-jerit. Airin memincingkan mata, ketika cahaya mentari yang memaksa masuk melalui celah-celah jendela menerpa wajahnya. Dengan malas diambilnya ponsel yang semalaman tergeletak di atas nakas di sisi tempat tidur. “Ya, Juli…” “Airy, kamu baca berita pagi ini?” Suara Juli terdengar panik. Airin bangkit dari tidurnya. Perempuan itu kini duduk bersila di atas ranjang. “Ada apa Juli?” “Kamu masuk berita pagi
“Parah...!” Juli menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya. “Airy harus membereskan semuanya, atau karirnya sebagai penulis tamat!” Clara asistennya manggut-manggut. “Apa Airy mau tampil di muka publik?” tanya perempuan yang selalu berpakaian model harajuku itu. “Mau tidak mau. Pokoknya, dia harus tampil!” Clara terdiam, perempuan bergaya gothic itu nampak berpikir. “Carilah cara Claraku sayang. Nanti aku hadiahi kamu sesuatu yang pasti kamu akan suka.” “Deal!” Clara menjentikkan jari. Lalu segera berlalu dari hadapan Juli. “Kuharap, dia punya ide yang terbilang manusiawi,” desah Juli. *** Airin masih bergeming di dalam ruang kerjanya. Matanya terus menatap layar komputer, lalu mulai menyusun beberapa kalimat di sana. Ia menulis sesuatu yang terbetik begitu saja dalam pikirannya. Sebelum dering ponsel menguapkan segala hal yang terlintas. “Hai, Juli!” Sapanya pada seseorang yang tengah menanti Airin untuk menjawab panggilannya dari ujung sana. “Kamu sedang apa, Bebs?” tan
Hanna melempar remote televisi ke atas meja, usai menyaksikan wawancara Airin terkait kasus yang tengah menerpanya. “Jadi, dia dan Adrian saling mencintai? Ah! Bagaimana bisa mereka jadi tidak tahu malu seperti itu,” rutuknya. “Aku pulang.” Suara Sandy mengejutkannya. Perempuan itu serta merta bangkit dari sofa. Lalu bergegas menyambut kedatangan suaminya. “Hai, Sayang. Apa kamu lihat wawancara Airin tadi? Dia bilang, mereka saling mencintai, loh?” “Siapa maksudmu?” tanya Sandy seraya berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari dalam lemari es. “Airin dan adikmu, Adrian.” Hanna menarik kursi makan lalu duduk di sana. Sandy tertegun untuk sesaat. Lalu, segera memindahkan air dalam gelas itu ke perut. Serta merta, hawa dingin mengalir masuk melalui tenggorokannya. “Umm... bukankah itu terasa aneh?” Hanna menatap Sandy dengan tatapan menyelidik. “Ah! Tapi bagiku, rasanya kok keterlaluan, ya?” sambungnya. “Entahlah...” jawab Sandy cepat. “Sayang,” kembali
Satu minggu telah berlalu sejak perpindahan Adrian ke mess dokter. Airin mulai bekutat kembali dengan tulisan-tulisannya. Walaupun beberapa pembaca mulai meninggalkan novel-novelnya, bukan berarti Airin berhenti menulis. Adrian datang sesekali mengajaknya keluar untuk berbelanja atau berjalan-jalan sekedar mengusir penat. Hingga di satu minggu, bunyi ponsel Airin menjerit-jerit, tatkala ia tengah khusyuk di hadapan layar komputernya. Dahi Airin mengernyit. Itu panggilan dari Sandy. Namun, tidak lama kemudian, panggilan itu berganti menjadi notifikasi pesan. “Airin, kamu sedang apa?” tanya Sandy dalam pesannya. “Menulis.” Pesan terhenti sampai di sana. Airin kembali melakukan aktivitasnya. Hingga telponnya kembali berdering. “Hai, Kak!” Suara Adrian terdengar ceria. “Halo, Yan.” “Ummm… I miss you so much…” keluh Adrian. Airin tersenyum. “Mari bertemu…” “Tentu saja. Aku libur hari ini. Oh iya, Kakak sedang apa?” “Menulis…” “Hmmm… aku yang akan mengunjungimu, Kak. Menulislah d
Andrian sedikit kecewa melihat Airin datang bersama Sandy ke rumah sakit tempat Tania di rawat. Namun, ia berusaha keras menguasai diri. “Ah, Mario. Ini adikku Adrian,” Sandy memecah kebisuan antara Airin dan Adrian dengan memperkenalkan dokter muda itu pada Mario. “Bukankah dia dokter juga?” tanya Mario seraya menjabat tangan Adrian. “Mario,” ujar laki-laki itu mantap. Adrian hanya tersenyum seraya mengangguk. “Baiklah, aku tinggalkan kalian. Kapan-kapan, kita ngobrol sambil ngopi, ya…” Mario mengakhiri pertemuan itu dengan ramah. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang kalian lakukan di sini berdua?” tanya Adrian seraya menggandeng Airin. “Kebetulah kami bertemu di jalan,” ujar Sandy cepat. Airin menatap Sandy sekilas. “Apa Kakak sudah hubungi Kak Hanna?” tanya Adrian. “Aku akan menghubunginya,” Sandy menjawab cepat. “Baguslah. Itu artinya, Kak Airin tak perlu menunggunya.” Airin menatap Adrian yang ditatap hanya tersenyum simpul. Walau demikian, perempuan itu bisa melihat kecemb