Di koridor rumah sakit, Adrian dan Tania saling berhadapan. Tania yang nampak cantik dengan blouse bunga-bunga merah itu, terlihat begitu percaya diri di hadapan Adrian. Ia yakin, apa yang terjadi di antara mereka pasti dapat terselesaikan. “Kita sudah bertunangan, Yan. Ingat itu!” ujar Tania seraya menatap Adrian lembut. “Aku akan berusaha keras merubah perilakuku. Mungkin, kemarin aku terlalu posesif dan kasar padamu. Tapi, aku memiliki alasan yang jelas untuk itu, Yan. Bahwa aku cemburu!” “Apa pun alasanmu, Tania. Kupikir, kita harus membicarakan lagi hubungan kita. Sejujurnya, aku ingin mengakhiri semuanya.” Jantung Tania berdegup. Namun, perempuan itu coba menahan diri agar emosinya tidak terpancing. “Apa karena perempuan itu?” tanyanya hati-hati. “Entahlah,” jawab Adrian pelan. “Aku hanya ingin melepaskanmu. Itu saja.” “Adrian,” Tania berujar seraya tersenyum miring. “Mana bisa kau memberiku alasan seperti itu?” “Lalu, alasan apa yang kau inginkan, Tania? Aku jatuh cinta pa
Airin meletakkan secangkir teh di atas meja. “Sebenarnya, aku sedikit kecewa. Bila ternyata Kak Rin tidak tahu apa pun,” desah Tania. Airin duduk di hadapan Tania. Ia berkata sembari menatap ke arah perempuan itu dalam, “Kenapa kamu tidak tanyakan pada Adrian saja?” Tania menggeleng. “Kami selalu bertengkar bila membahas ini.” Airin menggaruk belakang lehernya sebentar, lalu kembali berujar, “Kupikir, Adrian adalah orang yang paling bisa diajak bicara.” “Benarkah?” Tania menatap Airin dalam. “Sepanjang pengetahuanku,” jawab Airin cepat. “Aku telah lama mengenalnya.” Tania terdiam. Lalu, perempuan itu pun mulai berkata, “Sepertinya, kalian sangat dekat?” Airin terdiam. “Entahlah.” Ia menggeleng, kemudian kembali berujar, “Aku tak ingin bicara sesuatu yang aku sendiri tidak terlalu yakin. Sebaiknya, kau tanyakan saja padanya.” Tania membuang arah pandangnya pada rak-rak buku. Lalu, ia mulai bangkit dari duduknya, berjalan menuju tumpukan buku novel yang tersusun rapi. “Kau peni
Sandy duduk dengan gelisah di hadapan Airin. Mantan istrinya itu masih terus menunggu, setiap kalimat yang akan meluncur dari bibir laki-laki yang pernah mengisi hatinya dengan jutaan bunga warna-warni. Namun akhirnya, dengan kakinya sendiri, taman bunga yang tumbuh dengan subur itu diinjak-injaknya sampai mati. “Airin. Aku yakin, kau pasti mengenal Tania? Perempuan itu telah mengikat janji pertunangan dengan Adrian. Itu sebabnya, tolong jaga nama baik keluarga Keenan. Adrian tidak boleh meninggalkan Tania hanya untuk bersamamu.” “Aku tidak pernah meminta Adrian untuk berada di sisiku. Bukankah kamu sendiri yang mengirimnya ke sini, Kak? Lalu, bila ternyata dia terikat olehku, apa itu juga salahku?” “Airin… kau tak mengerti. Aku mencemaskanmu. Itu sebabnya aku mengirimnya.” “Sandy!Persetanlah dengan itu semua!” Sandy tertegun. Airin tidak pernah sekasar itu padanya, walaupun ia dalam kondisi buruk sekali pun. “Bukan padaku,” ujar Airin kemudian, “tapi pada Adrian. Kamu harus bica
Langkah kaki Airin terhenti tepat di depan halaman rumah, sepulangnya dari kantor Juli. Perempuan itu tertegun tatkala menemukan Sandy berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya. “Apa aku mengejutkanmu?” Sandy membuka suara. “Ya. Pastinya…” jawab Airin. Sandy nampak menghela napas panjang. “Aku tidak tahu alasanmu terus menerus menemuiku, Kak. Bila itu karena Tania dan Adrian, sebaiknya kamu bicara dengannya, bukan denganku.” “Bukan hanya tentang Tania dan Adrian. Tapi, ini juga tentang rasa bersalahku padamu.” Airin membuang arah tatapnya. “Airin, aku tahu, aku telah bersalah padamu.” “Cukup, Kak. Aku tidak ingin membahasnya lagi. Kamu sudah memutuskan untuk pergi dariku, itu artinya, semua telah selesai.” “Airin…” “Kumohon, berhentilah menggangguku…” Usai bicara demikian, Airin berlalu. “Aku tidak akan kemana-mana, bila kamu tidak mau bicara dan memaafkanku Airin,” ujar Sandy. Airin tidak bergeming. Ia terus melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu menutup pintu. Di balik
Adrian memarkirkan kendaraannya di halaman rumah Airin. Ia tertegun, tatkala melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah Airin. Yang membuatnya heran. Ia merasa tidak asing dengan mobil itu. Dengan perlahan, lelaki itu pun memasuki teras dan mendapati pintu rumah tertutup. Adrian mulai menekan bel. Pintu pun dibuka. Nampak kepala Airin menyembul dari balik pintu. Laki-laki itu agak sedikit lega, karena ia tidak perlu menunggu terlalu lama. “Adrian…” mata Airin membulat. “Kamu pulang cepat?” “Kenapa Kakak begitu terkejut?” “Hmm… ada Sandy di sini,” jawab Airin terus terang. Adrian menatap Airin yag nampak kikuk di hadapannya. “Apa aku boleh masuk?” sindir Adrian. Seolah sadar sedari tadi Airin hanya membuka pintu separuh, ia pun mulai membuka pintu itu lebar-lebar. “Ma-masuklah, Yan.” Airin berdiri di sisi pintu seraya menatap Adrian, sedang yang ditatap hanya melirik sekilas lalu berlalu menuju tangga. Airin menutup pintu lalu dengan segera mengejar Adrian. Sandy yang diam-
Tania berjalan mendekati Airin. Dengan cepat Adrian menarik Airin ke belakang punggungnya. Perempuan itu pun nampak mendengus kesal. “Kak Rin, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujar Tania seraya berbalik berjalan keluar. Adrian menatap Airin. “Kalau dia berbuat tidak baik, Kakak harus membalasnya, ya,” ujar Adrian. “Kamu membuatku dalam masalah, Yan.” Mata Airin membulat. Laki-laki itu tersenyum. Bukankan Airin semakin terlihat menggemaskan bila bertingkah seperti itu? Tania telah duduk di loby ruang tunggu. Wajahnya terlihat kaku. Airin mengambil tempat di hadapannya. “Kak, kupikir sebaiknya Kak Rin pulang. Rasanya sangat tidak pantas jika Kakak menunggu Adrian, padahal jelas-jelas Adrian sudah memiliki tunangan. Lagi pula, Kakak bukan siapa-siapa Adrian lagi, kan? Jadi, aku mohon dengan amat sangat, menjauhlah dari Adrian.” “Tania, sejauh ini, hubungan kami masih dalam batasannya, kok. Jadi, tidak ada satu hal pun yang harus kamu khawatirkan.” “Itu, kan, menurut Kaka
Tania terus memaki-maki di sepanjang perjalanannya pulang. Perempuan itu benar-benar tidak lagi mentoleransi perbuatan Adrian. Tania terus membawa kendaraannya berbelok menuju sebuah cluster perumahan yang terbilang cukup mewah. Ia menghentikan kendaraan tepat di depan rumah dengan cat putih kombinasi abu-abu tua dengan dua buah pohon cemara tinggi menjulang. Tidak ada tumbuhan lain selain itu. Tania menekan bel dengan tidak sabaran. Seorang perempuan muncul dari balik pintu. “Tania? Loh, di mana Adrian?” tanya Hanna sembari celingukan. “Adrian meninggalkanku sendirian, Kak…” Hanna mengelus dada, lalu merangkul Tania yang mulai menangis. “Kak, aku tak tahan lagi…” Hanna membawa Tania ke ruang tengah dan mendudukannya di sana. “Bicaralah pelan-pelan, Tania…” “Aku memaksa untuk membawa mobilnya, agar aku bisa membawanya pulang. Tapi, bukannya naik, dia malah pergi naik taksi meninggalkan aku…” “Apa Sandy tahu?” Tania menggeleng. “Aku belum mengatakan ini pada Kak Sandy, Kak.” “
Adrian menatap Airin dalam. Memperhatikan tiap gerak perempuan di hadapannya. Bagaimana cara ia menyedok makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Ya, mereka tengah menikmati makan malam berdua dengan situasi yang berbeda. Setelah kebersamaan mereka tertebas untuk sementara waktu. Perpisahan dengan cara seperti itu ternyata amat menyakitkan. Dan, siapa pula yang menyangka, justru perpisahan itulah yang mampu menyulut terjadinya kisah baru. Kehilangan dan kesepian. Keduanya membentuk kerinduan yang menggulung hebat dalam jiwa. Airin menghentikan aktivitasnya lalu menatap Adrian. “Kenapa terus memandangku?” tanyanya. Adrian tersenyum. “Aku yang lapar, tapi Kak Rin yang lahap makan,” goda Adrian Airin cemberut. “Aku tidak makan sudah tiga harian,” protes Airin. “Kenapa? Apa sedemikian rindunya Kakak denganku?” lagi Adrian menggodanya. Airin tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Lalu berujar, “Entah apa yang memenuhi pikiranku.” “Kak, kita akan lanjutkan terapinya lagi, ya. Beberapa ha