Airin terbaring di atas ranjang tanpa daya ketika Adrian masuk sembari membawakannya segelas air mineral dan beberapa pil di atas piring kecil. Laki-laki itu menghampirinya dan membantu mendudukan Airin, lalu menyerahkan piring tersebut kehadapan Airin. “Minumlah, Kak. Kakak akan membutuhkannya,” ujar Adrian. Airin pun menurut. Diminumnya pil-pil itu dan didorongnya dengan air. Lalu, kembali perempuan jelita itu berbaring. Adrian menarik selimut tipis di bawah kaki Airin untuk menutupi tubuh mantan kakak iparnya itu. “Istirahatlah,” ujarnya sambil menatap Airin yang tengah menatap kosong ke arah langit-langit kamar. “Adrian… apa aku sudah benar-benar gila sekarang?” tanya Airin pelan. Adrian tersenyum dengan ragu ia meletakkan telapak tangannya di kening Airin, lalu membelai kepala perempuan yang umurnya cukup terpaut jauh darinya itu. “Kau hanya marah, Kak,” terang Adrian, “jadi sebaiknya sekarang, tenangkan dirimu dan tidurlah,” sambungnya lagi. “Aku takut…,” desah Airin, “San
Adrian tersenyum melihat Airin tertegun. Pernyataan spontan yang dilemparnya sebenarnya bukan tanpa alasan. “Dasar konyol…” rutuk Airin kemudian. Berusaha mengalihkan pembicaraan dan juga menguasai debaran jantungnya sendiri. Adrian tertawa, “Kak, aku serius…” godanya lagi. “Kalau kamu mulai ngaco seperti itu, sebaiknya kamu cari tempat tinggal lain,” ujar Airin sembari meninggalkan laki-laki itu yang terus meledeknya. Airin memasuki kamar kerjanya. Setelah perpisahannya dengan Sandy, perempuan itu jarang sekali tidur di kamar utama. Ia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerja yang dipenuhi oleh rak-rak buku serta ranjang berukuran kecil itu. Ia menyalakan komputernya. Namun, tidak melakukan apa-apa di sana. Matanya hanya menatap lurus-lurus ke arah layar komputer, lalu menarik napas panjang. Di tempat lain, Adrian terdiam di bawah shower yang mengguyur tubuh polosnya. “Bagaimana jika aku jatuh cinta?” desahnya dalam hati. “Sepertinya, aku mulai terbawa suasana. Dan, bersa
Hujan deras mengguyur ketika hari merangkak gelap. Adrian duduk di sebuah kafe menikmati secangkir espresso sendirian. Kedatangan Tania serta pertengkaran kecil yang terjadi di antara dia dan Sandy di ruang prakteknya siang tadi, membuat otaknya mengusut seketika. Sebuah notifikasi pesan terpampang di layar ponselnya. “Adrian, apa kamu masih di rumah sakit?” Sebuah pesan dari Airin. Adrian tersenyum, lalu mulai membalasnya, “Aku sudah di luar rumah sakit, Kak. Di sini hujan.” Ponselnya berdering. Airin melakukan panggilan. “Halo, Kak.” “Kamu di mana, Yan? Aku ada di depan rumah sakitmu,” suara Airin terdengar dari ujung sana. “Untuk apa Kakak di sana?” “Hmm… aku baru saja bertemu dengan Juli.” “Ah! Aku sudah tidak di sana. Aku ada di kafe tidak jauh dari rumah sakit, Kak.” “Oh begitu.” “Aku akan menyusulmu ke sana,” ujar Adrian. “Tidak perlu. Biar aku yang menemuimu di sana. Kamu share saja lokasinya , ya? Bye!” “Tapi, Kak…” Airin telah mematikan ponselnya. “Bukan Airin
Adrian menatap Airin yang masih terbengong-bengong setelah mereka berciuman. “Kak, aku ingin bersamamu…” ujar Adrian kemudian. Airin tidak bisa memikirkan apa pun kecuali berusaha keras menurunkan degub jantungnya sendiri. Debaran itu terlalu kuatnya, hingga mampu mengosongkan pikiran dan membungkam mulutnya. “Adrian, apa yang kamu lakukan?” Hanya itu, sepenggal kalimat yang mampu diucapkan oleh Airin. “Aku ingin bersamamu, Kak. Mari kita menikah…” “Kamu pasti mabuk?” Airin menggelengkan kepala. “Untuk kali ini, aku memaafkan perbuatanmu…” ujar Airin kemudian berlalu meninggalkan Adrian yang terpaku di tempatnya. **** Airin kembali duduk di depan komputer dalam ruang kerjanya. Perempuan itu menyentuh bibirnya dengan jemari tangan. Ia merasakan jantungnya seolah akan meledak. Debarannya begitu kuat. Airin mulai menangis. Kesedihan bergelayut begitu dalam dalam palung hatinya. Ia mulai meragu dengan segala yang terhampar di hadapannya. Sandy yang menghancurkannya dan Adrian yang
Pagi itu Adrian bangun lebih awal. Ia ingin mantan kakak iparnya tidak melakukan apa-apa, kecuali menjalankan beberapa daftar list yang sudah dibuatnya. Hari ini, Adrian akan mengajaknya keluar rumah untuk melakukan perjalanan. Ia benar-benar ingin membuat Airin lebih rileks. Airin terheran-heran, ketika Adrian sudah menyiapkan segalanya. Sarapan dalam kotak piknik, setermos kopi dan yang lebih mengherankan lagi, Adrian telah membereskan rumah. “Kakak hanya butuh membereskan diri Kakak saja,” ujarnya sembari memasukan beberapa camilan ke dalam ransel. “Kita mau ke mana?” tanya Airin bingung seraya garuk-garuk kepala. “Ada sesuatu yang akan kita lakukan, Kak.” Airin masih bergeming ditempatnya. “Jangan terlalu lama. Nanti kita bisa terjebak macet di jalan.” Airin pun menurut. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Perempuan itu tak perlu menghabiskan waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Lalu, segera bersia-siap. “Bawalah beberapa pakaian, Kak.” Suara Adrian dari lantai bawah t
Seorang bocah cilik menatap kosong ke arah pemakaman yang masih nampak basah. Taburan bunga setaman meninggalkan aroma yang masih terendus kuat dalam silia hidung. “Ayah, katakan! Apa yang harus Airin lakukan sekarang,” desah bocah cilik berkulit putih itu. “A-Airin takut, Yah. Airin bingung. Airin benar-benar ingin menangis, Yah. Tapi, sampai sekarang, air mata Airin tidak juga bisa keluar. Airin pun ingin seperti anak-anak lain, saat mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, mereka punya ayah dan ibu yang akan memberitahu mereka harus berbuat apa…” “Ayah selalu berkata, kalau Ayah tak ingin punya anak cengeng, kan? Tapi Ayah, untuk kali ini, izinkan Airin menjadi anak cengeng. Izinkan Airin menangis. Izinkan Airin untuk menjadi anak manja yang ingin dipeluk oleh ibu dan ayahnya. Airin ingin seperti itu, Yah…” Nyatanya, bocah Airin memang telah berusaha keras untuk meneteskan air mata. Tapi, butiran bening itu pun tak kunjung leleh dari netranya. Dan, apakah dengan begitu ia harus
Adrian terbangun ketika ia mendengar Airin muntah-muntah di dalam kamar mandi. Perempuan itu mengeluarkan semua isi perutnya tanpa sisa. “Kakak sakit?” tanya Adrian, ketika ia melihat Airin keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perempuan itu menggeleng. “Lalu?” “Aku hanya sedikit mual, Yan. Tapi, aku baik-baik saja, kok.” Adrian terdiam. “Sebaiknya aku tidur, Yan.” Airin berujar sambil mematikan laptopnya. Lalu, berjalan menuju ranjang setelahnya. Adrian bangkit dari duduknya, Ia berjalan ke sisi ranjang Airin. Memasangkan selimut, setelah Airin merebahkan diri. “Istirahatlah, Kak.” Airin tersenyum, lalu membalikkan badan, memunggungi Adrian. Laki-laki itu pun mulai mematikan lampu besar dan menggantinya dengan lampu meja yang lebih temaram. Sebelum ia kembali merebahkan diri. Airin sebentar menoleh ke arah Adrian yang mulai kembali tertidur, lalu kembali menatap ke arah dinding di hadapannya. Air matanya leleh. Ia benci harus mengingat kejadian itu. **** Cahaya bulan
Di koridor rumah sakit, Adrian dan Tania saling berhadapan. Tania yang nampak cantik dengan blouse bunga-bunga merah itu, terlihat begitu percaya diri di hadapan Adrian. Ia yakin, apa yang terjadi di antara mereka pasti dapat terselesaikan. “Kita sudah bertunangan, Yan. Ingat itu!” ujar Tania seraya menatap Adrian lembut. “Aku akan berusaha keras merubah perilakuku. Mungkin, kemarin aku terlalu posesif dan kasar padamu. Tapi, aku memiliki alasan yang jelas untuk itu, Yan. Bahwa aku cemburu!” “Apa pun alasanmu, Tania. Kupikir, kita harus membicarakan lagi hubungan kita. Sejujurnya, aku ingin mengakhiri semuanya.” Jantung Tania berdegup. Namun, perempuan itu coba menahan diri agar emosinya tidak terpancing. “Apa karena perempuan itu?” tanyanya hati-hati. “Entahlah,” jawab Adrian pelan. “Aku hanya ingin melepaskanmu. Itu saja.” “Adrian,” Tania berujar seraya tersenyum miring. “Mana bisa kau memberiku alasan seperti itu?” “Lalu, alasan apa yang kau inginkan, Tania? Aku jatuh cinta pa
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf
Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan