Adrian tersenyum melihat Airin tertegun. Pernyataan spontan yang dilemparnya sebenarnya bukan tanpa alasan. “Dasar konyol…” rutuk Airin kemudian. Berusaha mengalihkan pembicaraan dan juga menguasai debaran jantungnya sendiri. Adrian tertawa, “Kak, aku serius…” godanya lagi. “Kalau kamu mulai ngaco seperti itu, sebaiknya kamu cari tempat tinggal lain,” ujar Airin sembari meninggalkan laki-laki itu yang terus meledeknya. Airin memasuki kamar kerjanya. Setelah perpisahannya dengan Sandy, perempuan itu jarang sekali tidur di kamar utama. Ia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerja yang dipenuhi oleh rak-rak buku serta ranjang berukuran kecil itu. Ia menyalakan komputernya. Namun, tidak melakukan apa-apa di sana. Matanya hanya menatap lurus-lurus ke arah layar komputer, lalu menarik napas panjang. Di tempat lain, Adrian terdiam di bawah shower yang mengguyur tubuh polosnya. “Bagaimana jika aku jatuh cinta?” desahnya dalam hati. “Sepertinya, aku mulai terbawa suasana. Dan, bersa
Hujan deras mengguyur ketika hari merangkak gelap. Adrian duduk di sebuah kafe menikmati secangkir espresso sendirian. Kedatangan Tania serta pertengkaran kecil yang terjadi di antara dia dan Sandy di ruang prakteknya siang tadi, membuat otaknya mengusut seketika. Sebuah notifikasi pesan terpampang di layar ponselnya. “Adrian, apa kamu masih di rumah sakit?” Sebuah pesan dari Airin. Adrian tersenyum, lalu mulai membalasnya, “Aku sudah di luar rumah sakit, Kak. Di sini hujan.” Ponselnya berdering. Airin melakukan panggilan. “Halo, Kak.” “Kamu di mana, Yan? Aku ada di depan rumah sakitmu,” suara Airin terdengar dari ujung sana. “Untuk apa Kakak di sana?” “Hmm… aku baru saja bertemu dengan Juli.” “Ah! Aku sudah tidak di sana. Aku ada di kafe tidak jauh dari rumah sakit, Kak.” “Oh begitu.” “Aku akan menyusulmu ke sana,” ujar Adrian. “Tidak perlu. Biar aku yang menemuimu di sana. Kamu share saja lokasinya , ya? Bye!” “Tapi, Kak…” Airin telah mematikan ponselnya. “Bukan Airin
Adrian menatap Airin yang masih terbengong-bengong setelah mereka berciuman. “Kak, aku ingin bersamamu…” ujar Adrian kemudian. Airin tidak bisa memikirkan apa pun kecuali berusaha keras menurunkan degub jantungnya sendiri. Debaran itu terlalu kuatnya, hingga mampu mengosongkan pikiran dan membungkam mulutnya. “Adrian, apa yang kamu lakukan?” Hanya itu, sepenggal kalimat yang mampu diucapkan oleh Airin. “Aku ingin bersamamu, Kak. Mari kita menikah…” “Kamu pasti mabuk?” Airin menggelengkan kepala. “Untuk kali ini, aku memaafkan perbuatanmu…” ujar Airin kemudian berlalu meninggalkan Adrian yang terpaku di tempatnya. **** Airin kembali duduk di depan komputer dalam ruang kerjanya. Perempuan itu menyentuh bibirnya dengan jemari tangan. Ia merasakan jantungnya seolah akan meledak. Debarannya begitu kuat. Airin mulai menangis. Kesedihan bergelayut begitu dalam dalam palung hatinya. Ia mulai meragu dengan segala yang terhampar di hadapannya. Sandy yang menghancurkannya dan Adrian yang
Pagi itu Adrian bangun lebih awal. Ia ingin mantan kakak iparnya tidak melakukan apa-apa, kecuali menjalankan beberapa daftar list yang sudah dibuatnya. Hari ini, Adrian akan mengajaknya keluar rumah untuk melakukan perjalanan. Ia benar-benar ingin membuat Airin lebih rileks. Airin terheran-heran, ketika Adrian sudah menyiapkan segalanya. Sarapan dalam kotak piknik, setermos kopi dan yang lebih mengherankan lagi, Adrian telah membereskan rumah. “Kakak hanya butuh membereskan diri Kakak saja,” ujarnya sembari memasukan beberapa camilan ke dalam ransel. “Kita mau ke mana?” tanya Airin bingung seraya garuk-garuk kepala. “Ada sesuatu yang akan kita lakukan, Kak.” Airin masih bergeming ditempatnya. “Jangan terlalu lama. Nanti kita bisa terjebak macet di jalan.” Airin pun menurut. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Perempuan itu tak perlu menghabiskan waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Lalu, segera bersia-siap. “Bawalah beberapa pakaian, Kak.” Suara Adrian dari lantai bawah t
Seorang bocah cilik menatap kosong ke arah pemakaman yang masih nampak basah. Taburan bunga setaman meninggalkan aroma yang masih terendus kuat dalam silia hidung. “Ayah, katakan! Apa yang harus Airin lakukan sekarang,” desah bocah cilik berkulit putih itu. “A-Airin takut, Yah. Airin bingung. Airin benar-benar ingin menangis, Yah. Tapi, sampai sekarang, air mata Airin tidak juga bisa keluar. Airin pun ingin seperti anak-anak lain, saat mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, mereka punya ayah dan ibu yang akan memberitahu mereka harus berbuat apa…” “Ayah selalu berkata, kalau Ayah tak ingin punya anak cengeng, kan? Tapi Ayah, untuk kali ini, izinkan Airin menjadi anak cengeng. Izinkan Airin menangis. Izinkan Airin untuk menjadi anak manja yang ingin dipeluk oleh ibu dan ayahnya. Airin ingin seperti itu, Yah…” Nyatanya, bocah Airin memang telah berusaha keras untuk meneteskan air mata. Tapi, butiran bening itu pun tak kunjung leleh dari netranya. Dan, apakah dengan begitu ia harus
Adrian terbangun ketika ia mendengar Airin muntah-muntah di dalam kamar mandi. Perempuan itu mengeluarkan semua isi perutnya tanpa sisa. “Kakak sakit?” tanya Adrian, ketika ia melihat Airin keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perempuan itu menggeleng. “Lalu?” “Aku hanya sedikit mual, Yan. Tapi, aku baik-baik saja, kok.” Adrian terdiam. “Sebaiknya aku tidur, Yan.” Airin berujar sambil mematikan laptopnya. Lalu, berjalan menuju ranjang setelahnya. Adrian bangkit dari duduknya, Ia berjalan ke sisi ranjang Airin. Memasangkan selimut, setelah Airin merebahkan diri. “Istirahatlah, Kak.” Airin tersenyum, lalu membalikkan badan, memunggungi Adrian. Laki-laki itu pun mulai mematikan lampu besar dan menggantinya dengan lampu meja yang lebih temaram. Sebelum ia kembali merebahkan diri. Airin sebentar menoleh ke arah Adrian yang mulai kembali tertidur, lalu kembali menatap ke arah dinding di hadapannya. Air matanya leleh. Ia benci harus mengingat kejadian itu. **** Cahaya bulan
Di koridor rumah sakit, Adrian dan Tania saling berhadapan. Tania yang nampak cantik dengan blouse bunga-bunga merah itu, terlihat begitu percaya diri di hadapan Adrian. Ia yakin, apa yang terjadi di antara mereka pasti dapat terselesaikan. “Kita sudah bertunangan, Yan. Ingat itu!” ujar Tania seraya menatap Adrian lembut. “Aku akan berusaha keras merubah perilakuku. Mungkin, kemarin aku terlalu posesif dan kasar padamu. Tapi, aku memiliki alasan yang jelas untuk itu, Yan. Bahwa aku cemburu!” “Apa pun alasanmu, Tania. Kupikir, kita harus membicarakan lagi hubungan kita. Sejujurnya, aku ingin mengakhiri semuanya.” Jantung Tania berdegup. Namun, perempuan itu coba menahan diri agar emosinya tidak terpancing. “Apa karena perempuan itu?” tanyanya hati-hati. “Entahlah,” jawab Adrian pelan. “Aku hanya ingin melepaskanmu. Itu saja.” “Adrian,” Tania berujar seraya tersenyum miring. “Mana bisa kau memberiku alasan seperti itu?” “Lalu, alasan apa yang kau inginkan, Tania? Aku jatuh cinta pa
Airin meletakkan secangkir teh di atas meja. “Sebenarnya, aku sedikit kecewa. Bila ternyata Kak Rin tidak tahu apa pun,” desah Tania. Airin duduk di hadapan Tania. Ia berkata sembari menatap ke arah perempuan itu dalam, “Kenapa kamu tidak tanyakan pada Adrian saja?” Tania menggeleng. “Kami selalu bertengkar bila membahas ini.” Airin menggaruk belakang lehernya sebentar, lalu kembali berujar, “Kupikir, Adrian adalah orang yang paling bisa diajak bicara.” “Benarkah?” Tania menatap Airin dalam. “Sepanjang pengetahuanku,” jawab Airin cepat. “Aku telah lama mengenalnya.” Tania terdiam. Lalu, perempuan itu pun mulai berkata, “Sepertinya, kalian sangat dekat?” Airin terdiam. “Entahlah.” Ia menggeleng, kemudian kembali berujar, “Aku tak ingin bicara sesuatu yang aku sendiri tidak terlalu yakin. Sebaiknya, kau tanyakan saja padanya.” Tania membuang arah pandangnya pada rak-rak buku. Lalu, ia mulai bangkit dari duduknya, berjalan menuju tumpukan buku novel yang tersusun rapi. “Kau peni