Seorang bocah cilik menatap kosong ke arah pemakaman yang masih terlihat basah. Taburan bunga setaman meninggalkan aroma yang masih terendus kuat dalam silia hidung.“Ayah, katakan! Apa yang harus Rin lakukan sekarang,” desah bocah cilik berkulit putih itu. “A-Airin takut, Yah. Airin bingung. Airin pengen banget nangis. Tapi, kenapa sampai sekarang air mata Airin nggak juga bisa keluar. Seandainya ayah dan ibu masih ada, pasti Airin nggak sebingung ini.”“Rin ingat, ayah selalu bilang, kalau ayah nggak ingin punya anak cengeng, kan? Tapi Yah, untuk kali ini, Airin ingin menjadi anak cengeng. Izinkan Airin menangis. Izinkan Airin untuk menjadi anak manja yang ingin dipeluk oleh ibu dan ayahnya. Airin ingin seperti itu, Yah…”Nyatanya, bocah Airin memang telah berusaha keras untuk meneteskan air mata. Tapi, butiran bening itu pun tidak kunjung leleh dari netranya. Dan, apakah dengan begitu ia harus bersyukur atau justru bersedih? Kekerasan sang ayah dalam mendidiknya, ternyata telah mem
-23-Masa Lalu Airin (3)Adrian terbangun ketika ia mendengar Airin muntah-muntah di dalam kamar mandi. Perempuan itu mengeluarkan semua isi perutnya tanpa sisa.“Kakak sakit?” tanya Adrian, ketika ia melihat Airin keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perempuan itu menggeleng.“Lalu?”“Aku hanya sedikit mual, Yan. Tapi, aku baik-baik saja, kok.”Adrian terdiam.“Sebaiknya aku tidur, Yan.” Airin berujar sambil mematikan laptopnya. Lalu, berjalan menuju ranjang setelahnya.Adrian bangkit dari duduknya, Ia berjalan ke sisi ranjang Airin. Memasangkan selimut, setelah Airin merebahkan diri.“Istirahatlah, Kak.”Airin tersenyum, lalu membalikkan badan, memunggungi Adrian. Laki-laki itu pun mulai mematikan lampu besar dan menggantinya dengan lampu meja yang lebih temaram. Sebelum ia kembali merebahkan diri.Airin sebentar menoleh ke arah Adrian yang mulai kembali tertidur, lalu kembali menatap ke arah dinding di hadapannya. Air matanya leleh. Ia benci harus mengingat kejadian itu.***
Di koridor rumah sakit, Adrian dan Tania saling berhadapan. Tania tampil cantik dengan blouse bunga-bunga merah itu. Ia kelihatan begitu percaya diri di hadapan Adrian. Sampai detik ini, perempuan itu masih sangat yakin bahwa apa yang terjadi di antara mereka pasti dapat terselesaikan.“Kita sudah bertunangan, Yan. Ingat itu!” ujar Tania seraya menatap Adrian lembut. “Aku akan berusaha keras merubah perilakuku. Mungkin, kemarin aku terlalu posesif dan kasar padamu. Tapi, aku memiliki alasan yang jelas untuk itu, Yan. Aku cemburu!”“Apa pun alasanmu, Tania. Kupikir, kita memang harus membicarakan kembali hubungan kita. Sejujurnya, aku ingin mengakhiri semuanya.”Jantung Tania berdegup. Namun, perempuan itu coba menahan diri agar emosinya tidak terpancing. “Apa karena perempuan itu?” tanyanya hati-hati.“Entahlah,” jawab Adrian pelan. “Aku hanya ingin melepaskanmu. Itu saja.”“Adrian,” Tania berujar seraya tersenyum miring. “Mana bisa kau memberiku alasan seperti itu?”“Lalu, alasan apa
Airin meletakkan secangkir teh di atas meja tepat di hadapan Tania yang tengah duduk di atas sofa pendek.“Sebenarnya, aku sedikit kecewa. Ternyata Kak Rin tidak tahu apa pun,” perempuan itu berujar seraya menatap ke arah Airin.Airin duduk di hadapan Tania. Ia berkata sembari menatap ke arah perempuan itu dalam, “Kenapa kamu tidak tanyakan pada Adrian saja?”Tania menggeleng. “Kami selalu bertengkar bila membahas ini.”Airin mengusap belakang lehernya sebentar, lalu kembali berujar, “Kupikir, Adrian adalah orang yang paling bisa diajak bicara.”“Benarkah?” Tania menatap Airin dalam.“Sepanjang pengetahuanku,” jawab Airin cepat. “Aku telah lama mengenalnya.”Tania terdiam. Lalu, perempuan itu pun mulai berkata, “Sepertinya, kalian sangat dekat?”Airin terdiam. “Entahlah.” Ia menggeleng, kemudian kembali berujar, “Aku tak ingin bicara sesuatu yang aku sendiri nggak terlalu yakin. Sebaiknya, kamu tanyakan saja padanya.”Tania membuang arah pandangnya pada rak-rak buku. Lalu, ia mulai ban
Sandy duduk dengan gelisah di hadapan Airin. Mantan istrinya itu masih terus menunggu, setiap kalimat yang akan meluncur dari bibir laki-laki yang pernah mengisi hatinya dengan jutaan bunga warna-warni itu. Namun akhirnya, dengan kakinya sendiri pun, taman bunga yang tumbuh dengan subur itu diinjak-injaknya sampai mati.“Airin. Aku yakin, kau pasti mengenal Tania? Perempuan itu telah bertunangan dengan Adrian. Itu sebabnya, tolong jaga nama baik keluarga Keenan. Adrian tidak boleh meninggalkan Tania hanya untuk bersamamu.”“Aku nggak pernah meminta Adrian untuk berada di sisiku. Bukankah kamu sendiri yang mengirimnya ke sini, Kak? Dan, kalau pada akhirnya dia terikat padaku, apa itu juga salahku?”“Airin… kamu nggak mengerti juga, ya. Kalau aku mencemaskanmu. Itu sebabnya aku mengirimnya.”“Sandy! Persetanlah dengan itu semua!”Sandy tertegun. Airin tidak pernah sekasar itu padanya, walaupun ia dalam kondisi buruk sekali pun.“Bukan padaku,” ujar Airin kemudian, “tapi pada Adrian. Kamu
Langkah kaki Airin terhenti tepat di depan halaman rumah, sepulangnya dari kantor Juli. Perempuan itu tertegun tatkala menemukan Sandy berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya.“Apa aku mengejutkanmu?” Sandy membuka suara.“Ya. Pastinya…” jawab Airin.Sandy nampak menghela napas panjang.“Aku tidak tahu alasanmu terus menerus menemuiku, Kak. Bila itu karena Tania dan Adrian, sebaiknya kamu bicara dengannya, bukan denganku.”“Bukan hanya tentang Tania dan Adrian. Tapi, ini juga tentang rasa bersalahku padamu.”Airin membuang arah tatapnya.“Airin, aku tahu, aku telah bersalah padamu.”“Cukup, Kak. Aku tidak ingin membahasnya lagi. Kamu sudah memutuskan untuk pergi dariku, itu artinya, semua telah selesai.”“Airin…”“Kumohon, berhentilah menggangguku…”Usai bicara demikian, Airin berlalu.“Aku tidak akan pergi, kalau kamu tidak mau bicara dan memaafkanku Airin,” ujar Sandy.Airin tidak bergeming. Ia terus melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu menutup pintu. Di balik pintu, perempuan i
Adrian memarkirkan kendaraannya di halaman rumah Airin. Ia tertegun, tatkala melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah Airin. Yang membuatnya heran. Ia merasa tidak asing dengan mobil itu. Secara perlahan, lelaki itu pun memasuki teras dan mendapati pintu rumah tertutup. Adrian mulai menekan bel. Pintu pun dibuka. Tampak kepala Airin menyembul dari balik pintu. Laki-laki itu agak sedikit lega, karena ia tidak perlu menunggu terlalu lama.“Adrian…” mata Airin membulat. “Kamu pulang cepat?”“Kenapa Kakak begitu terkejut?”“Hmm… ada Sandy di sini,” jawab Airin terus terang.Adrian menatap Airin yang terlihat kikuk di hadapannya.“Apa aku boleh masuk?” sindir Adrian.Seolah sadar sedari tadi Airin hanya membuka pintu separuh, ia pun mulai membuka pintu itu lebar-lebar.“Ma-masuklah, Yan.” Airin berdiri di sisi pintu seraya menatap Adrian, sedang yang ditatap hanya melirik sekilas lalu berlalu menuju tangga.Airin menutup pintu lalu dengan segera mengejar Adrian. Sandy yang diam-diam
Tania berjalan mendekati Airin. Dengan cepat Adrian menarik Airin ke belakang punggungnya. Perempuan itu pun mendengus kesal.“Kak Rin, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujar Tania seraya berbalik berjalan keluar.Adrian menatap Airin. “Kalau dia berbuat nggak sepantasnya, Kakak harus membalasnya, ya,” ujar Adrian.“Kamu membuatku dalam masalah, Yan.” Mata Airin membulat. Laki-laki itu tersenyum. Bukankan Airin semakin terlihat menggemaskan bila bertingkah seperti itu?Tania telah duduk di loby ruang tunggu dengan wajah kaku. Airin mengambil tempat di hadapannya.“Kak, sebaiknya Kak Rin pulang saja. Kok, rasanya sangat tidak pantas kalau Kakak menunggu Adrian, padahal jelas-jelas Adrian sudah punya tunangan. Lagi pula, Kakak bukan siapa-siapa Adrian lagi, kan? Jadi, aku mohon dengan amat sangat, menjauhlah dari Adrian.”“Tania, sejauh ini, hubungan kami masih dalam batasannya, kok. Jadi, nggak ada satu hal pun yang harus kamu khawatirkan.”“Itu, kan, menurut Kakak? Tapi, baga
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf
Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan