Pagi itu Adrian bangun lebih awal. Ia ingin mantan kakak iparnya tidak melakukan apa-apa, kecuali menjalankan beberapa daftar list yang sudah dibuatnya. Hari ini, Adrian akan mengajaknya keluar rumah untuk melakukan perjalanan. Ia benar-benar ingin membuat Airin lebih rileks. Airin terheran-heran, ketika Adrian sudah menyiapkan segalanya. Sarapan dalam kotak piknik, setermos kopi dan yang lebih mengherankan lagi, Adrian telah membereskan rumah. “Kakak hanya butuh membereskan diri Kakak saja,” ujarnya sembari memasukan beberapa camilan ke dalam ransel. “Kita mau ke mana?” tanya Airin bingung seraya garuk-garuk kepala. “Ada sesuatu yang akan kita lakukan, Kak.” Airin masih bergeming ditempatnya. “Jangan terlalu lama. Nanti kita bisa terjebak macet di jalan.” Airin pun menurut. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Perempuan itu tak perlu menghabiskan waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Lalu, segera bersia-siap. “Bawalah beberapa pakaian, Kak.” Suara Adrian dari lantai bawah t
Seorang bocah cilik menatap kosong ke arah pemakaman yang masih nampak basah. Taburan bunga setaman meninggalkan aroma yang masih terendus kuat dalam silia hidung. “Ayah, katakan! Apa yang harus Airin lakukan sekarang,” desah bocah cilik berkulit putih itu. “A-Airin takut, Yah. Airin bingung. Airin benar-benar ingin menangis, Yah. Tapi, sampai sekarang, air mata Airin tidak juga bisa keluar. Airin pun ingin seperti anak-anak lain, saat mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, mereka punya ayah dan ibu yang akan memberitahu mereka harus berbuat apa…” “Ayah selalu berkata, kalau Ayah tak ingin punya anak cengeng, kan? Tapi Ayah, untuk kali ini, izinkan Airin menjadi anak cengeng. Izinkan Airin menangis. Izinkan Airin untuk menjadi anak manja yang ingin dipeluk oleh ibu dan ayahnya. Airin ingin seperti itu, Yah…” Nyatanya, bocah Airin memang telah berusaha keras untuk meneteskan air mata. Tapi, butiran bening itu pun tak kunjung leleh dari netranya. Dan, apakah dengan begitu ia harus
Adrian terbangun ketika ia mendengar Airin muntah-muntah di dalam kamar mandi. Perempuan itu mengeluarkan semua isi perutnya tanpa sisa. “Kakak sakit?” tanya Adrian, ketika ia melihat Airin keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perempuan itu menggeleng. “Lalu?” “Aku hanya sedikit mual, Yan. Tapi, aku baik-baik saja, kok.” Adrian terdiam. “Sebaiknya aku tidur, Yan.” Airin berujar sambil mematikan laptopnya. Lalu, berjalan menuju ranjang setelahnya. Adrian bangkit dari duduknya, Ia berjalan ke sisi ranjang Airin. Memasangkan selimut, setelah Airin merebahkan diri. “Istirahatlah, Kak.” Airin tersenyum, lalu membalikkan badan, memunggungi Adrian. Laki-laki itu pun mulai mematikan lampu besar dan menggantinya dengan lampu meja yang lebih temaram. Sebelum ia kembali merebahkan diri. Airin sebentar menoleh ke arah Adrian yang mulai kembali tertidur, lalu kembali menatap ke arah dinding di hadapannya. Air matanya leleh. Ia benci harus mengingat kejadian itu. **** Cahaya bulan
Di koridor rumah sakit, Adrian dan Tania saling berhadapan. Tania yang nampak cantik dengan blouse bunga-bunga merah itu, terlihat begitu percaya diri di hadapan Adrian. Ia yakin, apa yang terjadi di antara mereka pasti dapat terselesaikan. “Kita sudah bertunangan, Yan. Ingat itu!” ujar Tania seraya menatap Adrian lembut. “Aku akan berusaha keras merubah perilakuku. Mungkin, kemarin aku terlalu posesif dan kasar padamu. Tapi, aku memiliki alasan yang jelas untuk itu, Yan. Bahwa aku cemburu!” “Apa pun alasanmu, Tania. Kupikir, kita harus membicarakan lagi hubungan kita. Sejujurnya, aku ingin mengakhiri semuanya.” Jantung Tania berdegup. Namun, perempuan itu coba menahan diri agar emosinya tidak terpancing. “Apa karena perempuan itu?” tanyanya hati-hati. “Entahlah,” jawab Adrian pelan. “Aku hanya ingin melepaskanmu. Itu saja.” “Adrian,” Tania berujar seraya tersenyum miring. “Mana bisa kau memberiku alasan seperti itu?” “Lalu, alasan apa yang kau inginkan, Tania? Aku jatuh cinta pa
Airin meletakkan secangkir teh di atas meja. “Sebenarnya, aku sedikit kecewa. Bila ternyata Kak Rin tidak tahu apa pun,” desah Tania. Airin duduk di hadapan Tania. Ia berkata sembari menatap ke arah perempuan itu dalam, “Kenapa kamu tidak tanyakan pada Adrian saja?” Tania menggeleng. “Kami selalu bertengkar bila membahas ini.” Airin menggaruk belakang lehernya sebentar, lalu kembali berujar, “Kupikir, Adrian adalah orang yang paling bisa diajak bicara.” “Benarkah?” Tania menatap Airin dalam. “Sepanjang pengetahuanku,” jawab Airin cepat. “Aku telah lama mengenalnya.” Tania terdiam. Lalu, perempuan itu pun mulai berkata, “Sepertinya, kalian sangat dekat?” Airin terdiam. “Entahlah.” Ia menggeleng, kemudian kembali berujar, “Aku tak ingin bicara sesuatu yang aku sendiri tidak terlalu yakin. Sebaiknya, kau tanyakan saja padanya.” Tania membuang arah pandangnya pada rak-rak buku. Lalu, ia mulai bangkit dari duduknya, berjalan menuju tumpukan buku novel yang tersusun rapi. “Kau peni
Sandy duduk dengan gelisah di hadapan Airin. Mantan istrinya itu masih terus menunggu, setiap kalimat yang akan meluncur dari bibir laki-laki yang pernah mengisi hatinya dengan jutaan bunga warna-warni. Namun akhirnya, dengan kakinya sendiri, taman bunga yang tumbuh dengan subur itu diinjak-injaknya sampai mati. “Airin. Aku yakin, kau pasti mengenal Tania? Perempuan itu telah mengikat janji pertunangan dengan Adrian. Itu sebabnya, tolong jaga nama baik keluarga Keenan. Adrian tidak boleh meninggalkan Tania hanya untuk bersamamu.” “Aku tidak pernah meminta Adrian untuk berada di sisiku. Bukankah kamu sendiri yang mengirimnya ke sini, Kak? Lalu, bila ternyata dia terikat olehku, apa itu juga salahku?” “Airin… kau tak mengerti. Aku mencemaskanmu. Itu sebabnya aku mengirimnya.” “Sandy!Persetanlah dengan itu semua!” Sandy tertegun. Airin tidak pernah sekasar itu padanya, walaupun ia dalam kondisi buruk sekali pun. “Bukan padaku,” ujar Airin kemudian, “tapi pada Adrian. Kamu harus bica
Langkah kaki Airin terhenti tepat di depan halaman rumah, sepulangnya dari kantor Juli. Perempuan itu tertegun tatkala menemukan Sandy berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya. “Apa aku mengejutkanmu?” Sandy membuka suara. “Ya. Pastinya…” jawab Airin. Sandy nampak menghela napas panjang. “Aku tidak tahu alasanmu terus menerus menemuiku, Kak. Bila itu karena Tania dan Adrian, sebaiknya kamu bicara dengannya, bukan denganku.” “Bukan hanya tentang Tania dan Adrian. Tapi, ini juga tentang rasa bersalahku padamu.” Airin membuang arah tatapnya. “Airin, aku tahu, aku telah bersalah padamu.” “Cukup, Kak. Aku tidak ingin membahasnya lagi. Kamu sudah memutuskan untuk pergi dariku, itu artinya, semua telah selesai.” “Airin…” “Kumohon, berhentilah menggangguku…” Usai bicara demikian, Airin berlalu. “Aku tidak akan kemana-mana, bila kamu tidak mau bicara dan memaafkanku Airin,” ujar Sandy. Airin tidak bergeming. Ia terus melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu menutup pintu. Di balik
Adrian memarkirkan kendaraannya di halaman rumah Airin. Ia tertegun, tatkala melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah Airin. Yang membuatnya heran. Ia merasa tidak asing dengan mobil itu. Dengan perlahan, lelaki itu pun memasuki teras dan mendapati pintu rumah tertutup. Adrian mulai menekan bel. Pintu pun dibuka. Nampak kepala Airin menyembul dari balik pintu. Laki-laki itu agak sedikit lega, karena ia tidak perlu menunggu terlalu lama. “Adrian…” mata Airin membulat. “Kamu pulang cepat?” “Kenapa Kakak begitu terkejut?” “Hmm… ada Sandy di sini,” jawab Airin terus terang. Adrian menatap Airin yag nampak kikuk di hadapannya. “Apa aku boleh masuk?” sindir Adrian. Seolah sadar sedari tadi Airin hanya membuka pintu separuh, ia pun mulai membuka pintu itu lebar-lebar. “Ma-masuklah, Yan.” Airin berdiri di sisi pintu seraya menatap Adrian, sedang yang ditatap hanya melirik sekilas lalu berlalu menuju tangga. Airin menutup pintu lalu dengan segera mengejar Adrian. Sandy yang diam-