Adrian menghabiskan waktu untuk merenung di sepanjang perjalanannya pulang. Mengapa ia cemas terhadap Airin. Benarkah tersiram air panas hanyalah kecelakaan kecil yang tidak sengaja dilakukannya. Atau, itu salah satu bentuk dari self harm? Dan, Tania. Ia benar-benar kesal pada perempuan itu. Bukankah kecemburuannya tidak beralasan sama sekali. Namun, setelah mengumpati perempuan itu dalam hati, Adrian mulai melakukan proyeksi diri. Tentang apa yang dilihat Tania darinya. Apa Tania membaca kekhawatiran yang tak selayaknya. Ah! Ingatan Adrian terlempar pada beberapa masa ke belakang. Saat itu, Adrian masih SMA. Dan, Sandy pulang ke rumah untuk memperkenalkan Airin pada kedua orang tuanya. Di mata Adrian saat itu, Airin adalah perempuan tercantik yang pernah dilihatnya, walaupun ia tengah menjalin cinta monyet dengan salah satu teman SMA-nya, yang hingga detik ini, ia lupa siapa nama perempuan yang suka menuntut dibelikan whitening itu. Pernikahan Sandy dan Airin, benar-benar membuat A
Airin terbaring di atas ranjang tanpa daya ketika Adrian masuk sembari membawakannya segelas air mineral dan beberapa pil di atas piring kecil. Laki-laki itu menghampirinya dan membantu mendudukan Airin, lalu menyerahkan piring tersebut kehadapan Airin. “Minumlah, Kak. Kakak akan membutuhkannya,” ujar Adrian. Airin pun menurut. Diminumnya pil-pil itu dan didorongnya dengan air. Lalu, kembali perempuan jelita itu berbaring. Adrian menarik selimut tipis di bawah kaki Airin untuk menutupi tubuh mantan kakak iparnya itu. “Istirahatlah,” ujarnya sambil menatap Airin yang tengah menatap kosong ke arah langit-langit kamar. “Adrian… apa aku sudah benar-benar gila sekarang?” tanya Airin pelan. Adrian tersenyum dengan ragu ia meletakkan telapak tangannya di kening Airin, lalu membelai kepala perempuan yang umurnya cukup terpaut jauh darinya itu. “Kau hanya marah, Kak,” terang Adrian, “jadi sebaiknya sekarang, tenangkan dirimu dan tidurlah,” sambungnya lagi. “Aku takut…,” desah Airin, “San
Adrian tersenyum melihat Airin tertegun. Pernyataan spontan yang dilemparnya sebenarnya bukan tanpa alasan. “Dasar konyol…” rutuk Airin kemudian. Berusaha mengalihkan pembicaraan dan juga menguasai debaran jantungnya sendiri. Adrian tertawa, “Kak, aku serius…” godanya lagi. “Kalau kamu mulai ngaco seperti itu, sebaiknya kamu cari tempat tinggal lain,” ujar Airin sembari meninggalkan laki-laki itu yang terus meledeknya. Airin memasuki kamar kerjanya. Setelah perpisahannya dengan Sandy, perempuan itu jarang sekali tidur di kamar utama. Ia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerja yang dipenuhi oleh rak-rak buku serta ranjang berukuran kecil itu. Ia menyalakan komputernya. Namun, tidak melakukan apa-apa di sana. Matanya hanya menatap lurus-lurus ke arah layar komputer, lalu menarik napas panjang. Di tempat lain, Adrian terdiam di bawah shower yang mengguyur tubuh polosnya. “Bagaimana jika aku jatuh cinta?” desahnya dalam hati. “Sepertinya, aku mulai terbawa suasana. Dan, bersa
Hujan deras mengguyur ketika hari merangkak gelap. Adrian duduk di sebuah kafe menikmati secangkir espresso sendirian. Kedatangan Tania serta pertengkaran kecil yang terjadi di antara dia dan Sandy di ruang prakteknya siang tadi, membuat otaknya mengusut seketika. Sebuah notifikasi pesan terpampang di layar ponselnya. “Adrian, apa kamu masih di rumah sakit?” Sebuah pesan dari Airin. Adrian tersenyum, lalu mulai membalasnya, “Aku sudah di luar rumah sakit, Kak. Di sini hujan.” Ponselnya berdering. Airin melakukan panggilan. “Halo, Kak.” “Kamu di mana, Yan? Aku ada di depan rumah sakitmu,” suara Airin terdengar dari ujung sana. “Untuk apa Kakak di sana?” “Hmm… aku baru saja bertemu dengan Juli.” “Ah! Aku sudah tidak di sana. Aku ada di kafe tidak jauh dari rumah sakit, Kak.” “Oh begitu.” “Aku akan menyusulmu ke sana,” ujar Adrian. “Tidak perlu. Biar aku yang menemuimu di sana. Kamu share saja lokasinya , ya? Bye!” “Tapi, Kak…” Airin telah mematikan ponselnya. “Bukan Airin
Adrian menatap Airin yang masih terbengong-bengong setelah mereka berciuman. “Kak, aku ingin bersamamu…” ujar Adrian kemudian. Airin tidak bisa memikirkan apa pun kecuali berusaha keras menurunkan degub jantungnya sendiri. Debaran itu terlalu kuatnya, hingga mampu mengosongkan pikiran dan membungkam mulutnya. “Adrian, apa yang kamu lakukan?” Hanya itu, sepenggal kalimat yang mampu diucapkan oleh Airin. “Aku ingin bersamamu, Kak. Mari kita menikah…” “Kamu pasti mabuk?” Airin menggelengkan kepala. “Untuk kali ini, aku memaafkan perbuatanmu…” ujar Airin kemudian berlalu meninggalkan Adrian yang terpaku di tempatnya. **** Airin kembali duduk di depan komputer dalam ruang kerjanya. Perempuan itu menyentuh bibirnya dengan jemari tangan. Ia merasakan jantungnya seolah akan meledak. Debarannya begitu kuat. Airin mulai menangis. Kesedihan bergelayut begitu dalam dalam palung hatinya. Ia mulai meragu dengan segala yang terhampar di hadapannya. Sandy yang menghancurkannya dan Adrian yang
Pagi itu Adrian bangun lebih awal. Ia ingin mantan kakak iparnya tidak melakukan apa-apa, kecuali menjalankan beberapa daftar list yang sudah dibuatnya. Hari ini, Adrian akan mengajaknya keluar rumah untuk melakukan perjalanan. Ia benar-benar ingin membuat Airin lebih rileks. Airin terheran-heran, ketika Adrian sudah menyiapkan segalanya. Sarapan dalam kotak piknik, setermos kopi dan yang lebih mengherankan lagi, Adrian telah membereskan rumah. “Kakak hanya butuh membereskan diri Kakak saja,” ujarnya sembari memasukan beberapa camilan ke dalam ransel. “Kita mau ke mana?” tanya Airin bingung seraya garuk-garuk kepala. “Ada sesuatu yang akan kita lakukan, Kak.” Airin masih bergeming ditempatnya. “Jangan terlalu lama. Nanti kita bisa terjebak macet di jalan.” Airin pun menurut. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Perempuan itu tak perlu menghabiskan waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Lalu, segera bersia-siap. “Bawalah beberapa pakaian, Kak.” Suara Adrian dari lantai bawah t
Seorang bocah cilik menatap kosong ke arah pemakaman yang masih nampak basah. Taburan bunga setaman meninggalkan aroma yang masih terendus kuat dalam silia hidung. “Ayah, katakan! Apa yang harus Airin lakukan sekarang,” desah bocah cilik berkulit putih itu. “A-Airin takut, Yah. Airin bingung. Airin benar-benar ingin menangis, Yah. Tapi, sampai sekarang, air mata Airin tidak juga bisa keluar. Airin pun ingin seperti anak-anak lain, saat mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, mereka punya ayah dan ibu yang akan memberitahu mereka harus berbuat apa…” “Ayah selalu berkata, kalau Ayah tak ingin punya anak cengeng, kan? Tapi Ayah, untuk kali ini, izinkan Airin menjadi anak cengeng. Izinkan Airin menangis. Izinkan Airin untuk menjadi anak manja yang ingin dipeluk oleh ibu dan ayahnya. Airin ingin seperti itu, Yah…” Nyatanya, bocah Airin memang telah berusaha keras untuk meneteskan air mata. Tapi, butiran bening itu pun tak kunjung leleh dari netranya. Dan, apakah dengan begitu ia harus
Adrian terbangun ketika ia mendengar Airin muntah-muntah di dalam kamar mandi. Perempuan itu mengeluarkan semua isi perutnya tanpa sisa. “Kakak sakit?” tanya Adrian, ketika ia melihat Airin keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perempuan itu menggeleng. “Lalu?” “Aku hanya sedikit mual, Yan. Tapi, aku baik-baik saja, kok.” Adrian terdiam. “Sebaiknya aku tidur, Yan.” Airin berujar sambil mematikan laptopnya. Lalu, berjalan menuju ranjang setelahnya. Adrian bangkit dari duduknya, Ia berjalan ke sisi ranjang Airin. Memasangkan selimut, setelah Airin merebahkan diri. “Istirahatlah, Kak.” Airin tersenyum, lalu membalikkan badan, memunggungi Adrian. Laki-laki itu pun mulai mematikan lampu besar dan menggantinya dengan lampu meja yang lebih temaram. Sebelum ia kembali merebahkan diri. Airin sebentar menoleh ke arah Adrian yang mulai kembali tertidur, lalu kembali menatap ke arah dinding di hadapannya. Air matanya leleh. Ia benci harus mengingat kejadian itu. **** Cahaya bulan