Home / Romansa / Perempuan Kopi / Lanjut Berjalan atau Mati Perlahan (16)

Share

Lanjut Berjalan atau Mati Perlahan (16)

last update Last Updated: 2021-09-30 08:40:24
“Apa yang membuatmu lari dari Airin?”

“Karena aku lelah menghadapi perilakunya,”

“Tapi, kamu adalah seorang dokter? Seharusnya kamu tahu, Airin itu bipolar?”

“Dokter pun manusia. Aku bukan dewa maupun Tuhan yang memahami segalanya.”

“Kamu gila Sandy. Airin itu perempuan yang luar biasa!”

“Ya. Dia perempuan yang luar biasa. Dan, aku adalah lelaki yang gagal melindungi jiwanya!”

Sandy terbangun dari tidur dengan keringat mengucur deras. Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang selalu mengingatkan bahwa Airin mengidap bipolar. Dan, lari darinya merupakan satu kesalahan besar.

“What the hell,” desah laki-laki tampan itu, lalu bangkit menuju kamar mandi. Mengguyur kepalanya dengan shower. Hingga 45 menit pun berlalu. Itu adalah waktu terlama yang ia habiskan di dalam kamar mandi.

Sandy keluar dari kamar mandi, setelah menutupi tubuhnya dengan baju mandi berwarna coklat muda. Laki-laki itu tertegun, tatkala melihat Hanna telah duduk manis di atas sofa berwarna putih tulang yang berada tepat
Erlina P. Lestari

Maafkan untuk beberapa hari yang terlewat, ya ^-^

| Like
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Perempuan Kopi   Sebuah Masa yang Ingin Dilupakan (17)

    Seorang gadis kecil berlari di sekitar halaman rumah, lalu masuk ke dalam gudang kosong, meringkuk di sana dengan wajah ketakutan. Bunyi berderit terdengar dari daun pintu gudang yang dibuka dari luar. Gadis kecil itu mulai membekap mulutnya sendiri, berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. “Airin… di mana kamu?” Bocah yang dipanggil Airin itu nampak gemetar. Itu adalah suara pamannya. “Ayolah, berhenti main petak umpet. Bibimu sebentar lagi datang. Kenapa kamu harus membuang waktu paman.” Laki-laki itu bergerak mendekat dan semakin mendekat. “Ayolah, Bi…” bisik Airin dalam hati. “Segeralah pulang…” “Airin…Airin… ayolah!” Ketakutan Airin semakin membuncah. Namun, gadis cilik itu terus mencoba menahan tangisnya sendiri. Tubuh mungilnya pun gemetar sedemikan rupa. Ia seperti terayun-ayun. “Airin… Airin…. Kak Rin…” Tiba-tiba, sebuah suara yang berbeda memanggilnya dari tempat yang sangat jauh. “Ah!” Airin bangun dari tidurnya dengan air mata dan keringat ya

    Last Updated : 2021-10-03
  • Perempuan Kopi   Kegilaan Airin (18)

    Adrian menghabiskan waktu untuk merenung di sepanjang perjalanannya pulang. Mengapa ia cemas terhadap Airin. Benarkah tersiram air panas hanyalah kecelakaan kecil yang tidak sengaja dilakukannya. Atau, itu salah satu bentuk dari self harm? Dan, Tania. Ia benar-benar kesal pada perempuan itu. Bukankah kecemburuannya tidak beralasan sama sekali. Namun, setelah mengumpati perempuan itu dalam hati, Adrian mulai melakukan proyeksi diri. Tentang apa yang dilihat Tania darinya. Apa Tania membaca kekhawatiran yang tak selayaknya. Ah! Ingatan Adrian terlempar pada beberapa masa ke belakang. Saat itu, Adrian masih SMA. Dan, Sandy pulang ke rumah untuk memperkenalkan Airin pada kedua orang tuanya. Di mata Adrian saat itu, Airin adalah perempuan tercantik yang pernah dilihatnya, walaupun ia tengah menjalin cinta monyet dengan salah satu teman SMA-nya, yang hingga detik ini, ia lupa siapa nama perempuan yang suka menuntut dibelikan whitening itu. Pernikahan Sandy dan Airin, benar-benar membuat A

    Last Updated : 2021-10-06
  • Perempuan Kopi   Sebuah Pengakuan (19)

    Airin terbaring di atas ranjang tanpa daya ketika Adrian masuk sembari membawakannya segelas air mineral dan beberapa pil di atas piring kecil. Laki-laki itu menghampirinya dan membantu mendudukan Airin, lalu menyerahkan piring tersebut kehadapan Airin. “Minumlah, Kak. Kakak akan membutuhkannya,” ujar Adrian. Airin pun menurut. Diminumnya pil-pil itu dan didorongnya dengan air. Lalu, kembali perempuan jelita itu berbaring. Adrian menarik selimut tipis di bawah kaki Airin untuk menutupi tubuh mantan kakak iparnya itu. “Istirahatlah,” ujarnya sambil menatap Airin yang tengah menatap kosong ke arah langit-langit kamar. “Adrian… apa aku sudah benar-benar gila sekarang?” tanya Airin pelan. Adrian tersenyum dengan ragu ia meletakkan telapak tangannya di kening Airin, lalu membelai kepala perempuan yang umurnya cukup terpaut jauh darinya itu. “Kau hanya marah, Kak,” terang Adrian, “jadi sebaiknya sekarang, tenangkan dirimu dan tidurlah,” sambungnya lagi. “Aku takut…,” desah Airin, “San

    Last Updated : 2021-10-10
  • Perempuan Kopi   Sebuah Kejutan di Pagi Hari (20)

    Adrian tersenyum melihat Airin tertegun. Pernyataan spontan yang dilemparnya sebenarnya bukan tanpa alasan. “Dasar konyol…” rutuk Airin kemudian. Berusaha mengalihkan pembicaraan dan juga menguasai debaran jantungnya sendiri. Adrian tertawa, “Kak, aku serius…” godanya lagi. “Kalau kamu mulai ngaco seperti itu, sebaiknya kamu cari tempat tinggal lain,” ujar Airin sembari meninggalkan laki-laki itu yang terus meledeknya. Airin memasuki kamar kerjanya. Setelah perpisahannya dengan Sandy, perempuan itu jarang sekali tidur di kamar utama. Ia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerja yang dipenuhi oleh rak-rak buku serta ranjang berukuran kecil itu. Ia menyalakan komputernya. Namun, tidak melakukan apa-apa di sana. Matanya hanya menatap lurus-lurus ke arah layar komputer, lalu menarik napas panjang. Di tempat lain, Adrian terdiam di bawah shower yang mengguyur tubuh polosnya. “Bagaimana jika aku jatuh cinta?” desahnya dalam hati. “Sepertinya, aku mulai terbawa suasana. Dan, bersa

    Last Updated : 2021-10-11
  • Perempuan Kopi   Adrian dan Kekasihnya (21)

    Hujan deras mengguyur ketika hari merangkak gelap. Adrian duduk di sebuah kafe menikmati secangkir espresso sendirian. Kedatangan Tania serta pertengkaran kecil yang terjadi di antara dia dan Sandy di ruang prakteknya siang tadi, membuat otaknya mengusut seketika. Sebuah notifikasi pesan terpampang di layar ponselnya. “Adrian, apa kamu masih di rumah sakit?” Sebuah pesan dari Airin. Adrian tersenyum, lalu mulai membalasnya, “Aku sudah di luar rumah sakit, Kak. Di sini hujan.” Ponselnya berdering. Airin melakukan panggilan. “Halo, Kak.” “Kamu di mana, Yan? Aku ada di depan rumah sakitmu,” suara Airin terdengar dari ujung sana. “Untuk apa Kakak di sana?” “Hmm… aku baru saja bertemu dengan Juli.” “Ah! Aku sudah tidak di sana. Aku ada di kafe tidak jauh dari rumah sakit, Kak.” “Oh begitu.” “Aku akan menyusulmu ke sana,” ujar Adrian. “Tidak perlu. Biar aku yang menemuimu di sana. Kamu share saja lokasinya , ya? Bye!” “Tapi, Kak…” Airin telah mematikan ponselnya. “Bukan Airin

    Last Updated : 2021-10-12
  • Perempuan Kopi   Penolakan Airin (22)

    Adrian menatap Airin yang masih terbengong-bengong setelah mereka berciuman. “Kak, aku ingin bersamamu…” ujar Adrian kemudian. Airin tidak bisa memikirkan apa pun kecuali berusaha keras menurunkan degub jantungnya sendiri. Debaran itu terlalu kuatnya, hingga mampu mengosongkan pikiran dan membungkam mulutnya. “Adrian, apa yang kamu lakukan?” Hanya itu, sepenggal kalimat yang mampu diucapkan oleh Airin. “Aku ingin bersamamu, Kak. Mari kita menikah…” “Kamu pasti mabuk?” Airin menggelengkan kepala. “Untuk kali ini, aku memaafkan perbuatanmu…” ujar Airin kemudian berlalu meninggalkan Adrian yang terpaku di tempatnya. **** Airin kembali duduk di depan komputer dalam ruang kerjanya. Perempuan itu menyentuh bibirnya dengan jemari tangan. Ia merasakan jantungnya seolah akan meledak. Debarannya begitu kuat. Airin mulai menangis. Kesedihan bergelayut begitu dalam dalam palung hatinya. Ia mulai meragu dengan segala yang terhampar di hadapannya. Sandy yang menghancurkannya dan Adrian yang

    Last Updated : 2021-10-13
  • Perempuan Kopi   Masa Lalu Airin (1) (23)

    Pagi itu Adrian bangun lebih awal. Ia ingin mantan kakak iparnya tidak melakukan apa-apa, kecuali menjalankan beberapa daftar list yang sudah dibuatnya. Hari ini, Adrian akan mengajaknya keluar rumah untuk melakukan perjalanan. Ia benar-benar ingin membuat Airin lebih rileks. Airin terheran-heran, ketika Adrian sudah menyiapkan segalanya. Sarapan dalam kotak piknik, setermos kopi dan yang lebih mengherankan lagi, Adrian telah membereskan rumah. “Kakak hanya butuh membereskan diri Kakak saja,” ujarnya sembari memasukan beberapa camilan ke dalam ransel. “Kita mau ke mana?” tanya Airin bingung seraya garuk-garuk kepala. “Ada sesuatu yang akan kita lakukan, Kak.” Airin masih bergeming ditempatnya. “Jangan terlalu lama. Nanti kita bisa terjebak macet di jalan.” Airin pun menurut. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Perempuan itu tak perlu menghabiskan waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Lalu, segera bersia-siap. “Bawalah beberapa pakaian, Kak.” Suara Adrian dari lantai bawah t

    Last Updated : 2021-10-23
  • Perempuan Kopi   Masa Lalu Airin (2) (24)

    Seorang bocah cilik menatap kosong ke arah pemakaman yang masih nampak basah. Taburan bunga setaman meninggalkan aroma yang masih terendus kuat dalam silia hidung. “Ayah, katakan! Apa yang harus Airin lakukan sekarang,” desah bocah cilik berkulit putih itu. “A-Airin takut, Yah. Airin bingung. Airin benar-benar ingin menangis, Yah. Tapi, sampai sekarang, air mata Airin tidak juga bisa keluar. Airin pun ingin seperti anak-anak lain, saat mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, mereka punya ayah dan ibu yang akan memberitahu mereka harus berbuat apa…” “Ayah selalu berkata, kalau Ayah tak ingin punya anak cengeng, kan? Tapi Ayah, untuk kali ini, izinkan Airin menjadi anak cengeng. Izinkan Airin menangis. Izinkan Airin untuk menjadi anak manja yang ingin dipeluk oleh ibu dan ayahnya. Airin ingin seperti itu, Yah…” Nyatanya, bocah Airin memang telah berusaha keras untuk meneteskan air mata. Tapi, butiran bening itu pun tak kunjung leleh dari netranya. Dan, apakah dengan begitu ia harus

    Last Updated : 2021-10-26

Latest chapter

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

  • Perempuan Kopi   Ulang Tahun Moza (72)

    Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar

  • Perempuan Kopi   Perempuan yang Berbeda (71)

    Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kendali (70)

    Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status