“Menikahlah dengan orang lain untuk beberapa bulan saja setelah itu menikah kembali denganku,” titah Zayyan.
Pagi itu Zayyan tiba-tiba saja datang ke rumah Zahira, ia ingin kembali rujuk dengan Zahira namun dirinya sudah mentalak tiga Zahira.Zayyan sendiri sudah pernah menikah setelah bercerai dengan Zahira, itu semua berawal dari keinginan sang ibu, saat itu Zahira tak kunjung hamil dan ibu Zayyan ingin segera memiliki cucu. Maka dari itu ibu Zayyan meminta Zayyan menceraikan istrinya dan menikah dengan wanita pilihannya .
Dari awal pernikahan Zayyan dan Zahira memang kurang mendapat restu ibu Zayyan, namun Zayyan bersikeras untuk menikahi Zahira. Saat sang ibu terdiagnosa kanker payudara dan meminta dirinya menceraikan Zahira, Zayyan pun menuruti keinginan sang ibu karna ternyata Zayyan mulai tertarik pada wanita yang dijodohkan sang ibu dengan dirinya. “Siapa tadi yang datan, Zah?” tanya sang ibu. “Zayyan, Bu,” jawab Zahira. Nampak raut wajah tak suka dari sang ibu. “Ngapain dia kesini? diantara kamu dan dia sudah tak ada hubungan apapun lagi bahkan dia sudah mentalak tiga kamu.” “Dia meminta Zahira kembali bersama nya, Bu,” lirih Zahira . “Terus kamu mau kembali pada Zayyan? Kamu bodoh jika kamu menginginkan kembali pada laki-laki toxic seperti Zayyan itu,” cecar sang ibu. “Tapi Zahira masih cinta sama Mas Zayyan , Bu. Bagaimanapun banyak sekali kenangan indah yang pernah kita lalui bersama,” ucap Zahira . “Tidak ibu tidak setuju, lagian Zayyan itu sudah mentalak tiga kamu. Sebelum kamu menikah dengan pria lain kamu tidak dapat kembali pada Zayyan. Lagian Ibu sudah memiliki calon untuk kamu. Seorang laki-laki yang innsyaallah baik untuk menjadi pemimpin rumah tangga, untuk menjadi imam untuk kamu. Dia itu supervisor si sebuah perusahaan besar, dia sudah mapan bahkan dia ini masih berstatus bujang alias belum pernah menikah. Dia sudah mau dijodohkan sama kamu tinggal kamu yang mau menerima dia dan kamu harus mau,” tegas sang ibu . “Ibu ko gitu sih main jodohin Zahira aja. Zahira masih mencintai Mas Zayyan bu,” protes Zahira . “Pokonya kamu harus menerima lamaran nak Adnan dan jangan jadikan Adnan ini batu loncatan agar kamu bisa menikah kembali bersama Zayyan. Sampai mati pun ibu tidak akan pernah kembali merestui hubungan mu dengan Zayyan,” tegas ibu Zahira . Benar saja keesokan harinya sang calon suami Zahira itu datang melamar Zahira. “Assalamualaikum Bu Fitri, Alhamdulillah akhirnya kita akan besanan juga ya,” ucap Ibu Adnan pada Ibu Zahira . “Waalaikumsalam masuk Bu Cica. Iya Alhamdulillah ini bersyukur Nak Adnan mau sama anak saya. Padahal anak saya ini status nya janda loh.” Adnan sendiri hanya bisa tersenyum pada Ibu Zahira, mereka dipersilahkan masuk kedalam tidak ada dekorasi khusus lamaran ini diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan karna memang acara lamaran ini begitu mendadak ditambah Adnan dan Zahira tidak pernah bertemu sebelumnya. “Mana si cantik nya, belum keluar ? ini anak saya sepertinya sudah tak sabar ingin melihat calon istrinya,” ujar Bu Cica . “Astagfirullah sampai lupa saya sebentar ya saya ke kamar Zahira dulu,” pamit ibu Zahira . Yang lain pun akhirnya berbincang ringan termasuk ayah dari keduanya, tak lama Zahira datang dengan mengenakan gamis dan hijab berwarna biru denim ntah lah ini seperti sebuah kebetulan stelan jas yang dikenakan Adnan pun senada dengan warna gamis yang Zahira pakai . “Masyaallah cantik sekali calon mantuku,” puji ibu Adnan. Adnan sendiri pun tak kalah kagum menatap wajah cantik Zahira. “Nah Zahira ini adalah Bu Cica dan ini Pak Aldi mereka berdua adalah orangtua Adnan calon suamimu,” jelas sang ibu. Zahira pun tersenyum pada kedua orang tua Adnan. Dirumah tersebut memang tidak banyak orang hadir hanya keluarga inti dan beberapa orang tetangga saja sebagai saksi . “Jadi Bu Fitri , Pak Iqbal. Kedatangan Saya kesini adalah untuk mengantar anak saya melamar anak bapak yang bernama Zahira. Ini adalah pertemuan pertama mereka jadi alangkah baiknya kita memberi waktu mereka untuk berbincang berdua. Bagaimana?” tanya Pak Aldi ayah dari Adnan . “Silahkan-silahkan kalian bisa berkenalan dan berbincang terlebih dahulu di teras depan rumah,” ucap Pak Iqbal . “Baik , Mbak Zahira bersedia ngobrol dengan saya sebentar sebelum acara lamaran ini dimulai?” tanya Adnan . “Boleh , ayo kita ke teras depan.” Mereka berdua melangkah menuju teras depan rumah dan duduk di kursi yang berada disana . “Mbak kenalkan saya adalah Adnan, Adnan Rasyid Baihaqi. Sebelumnya semalam saya sudah mengirim CV saya pada Bu Fitri dan Bu Fitri juga sudah mengirm CV Mbak Zahira pada saya. Dari saat melihat Mbak Zahira di foto saja jujur saya sudah tertarik sama Mbak Zahira,” jelas Adnan . “Hmm Nama Saya Zahira , Zahira Aruna Dewi. Maaf, Saya ini seorang janda loh, Mas Adnan ini masih bujang kenapa mau menikah dengan saya?” tanya Zahira. “Apa harus ada alasannya untuk menyukai seseorang? ntah lah melihat foto Mbak Zahira dan membaca CV Mbak Zahira saya malah semakin kagum dengan Mbak Zahira. Tentang masa lalu Mbak Zahira yang pernah menikah saya pribadi tidak mempermasalahkan itu,” jawab Adnan . “Lalu bagaimana jika saya masih ingin kembali pada mantan suami saya. Oke saya akan menceritakan ini, mantan suami saya mentalak tiga saya tapi beberapa hari yang lalu ia mengajak saya rujuk tentu salah satu cara agar kami dapat rujuk adalah dengan kami menikah dulu dengan orang lain. Mas Zayyan sudah pernah menikah dan saya akan menerima lamaran kamu. Ayo kita menikah tapi hanya untuk tiga bulan saja, setelah itu mari kita bercerai. Kita menikah kontrak bagaimana?” tawar Zahira . Mendengar itu tentu Adnan kaget, serasa didalam drama menikah kontrak namun sekarang dia merasakan sendiri berada dipiosisi itu . “Kalau selama tiga bulan itu saya dapat meluluhkan hati Mbak Zahira bagaimana?” tanya Adnan . “Tidak mungkin, hati saya sudah tertaut pada mantan suami saya. Sebesar apapun ujian dan badai yang akan saya lalui nantinya saya akan tetap mencintai dia,” tegas Zahira . “Begini saja, jika dalam tiga bulan Mbak Zahira bisa mencintai saya maka kontrak pernikahan kita hangus dan kita akan menjalin pernikahan normal. Tapi jika dalam tiga bulan mbak masih tidak mencintai saya maka saya bersedia bercerai dengan Mbak Zahira bagaimana?” tawar Adnan . “Oke, kita kembali kedalam kita adakan acara lamaran dan pernikahan kita nanti tidak perlu mewah-mewah. Asal sah saja dan lebih cepat itu lebih baik,” ucap Zahira . “Baik, kita kedalam sekarang!” Keduanya pun akhirnya kembali masuk kedalam, bersiap untuk meneruskan rangkaian acara lamaran. *** BERSAMBUNGMengingat pernikahan nya dengan Zayyan kembali, Zahira dan Zayyan sama-sama saling mencintai, namun pernikahan mereka memang kurang direstui oleh ibunda Zayyan karna Zahira berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, berbeda dengan Zayyan yang orang tuanya saja memiliki kerajaan bisnis dengan skala besar .Pernikahan itu terlaksana karna Zayyan yang mengancam ibunya akan pergi meninggalkan sang ibu jika hubungannya dengan Zahira tidak direstui.Setelah resmi menikah Zayyan diminta ibundanya tinggal bersama mereka, walau sikap ibunya Zayyan ini jelas tidak ramah tapi selama tidak ada kekerasan fisik maka Zahira berusaha untuk bersikap biasa saja pada sang mertua karna bagaimanapun mertuanya itu adalah orang yang melahirkan dan membesarkan sang suami .Awal semua terasa bahagia Zayyan memang begitu mencintai Zahira sehingga Zayyan sangat meratukan Zahira, Ibu Erni, ibunda Zayyan itu juga tidak pernah protes hanya sindiran-sindiran halus saja yang terdengar namun semua berubah saat sang
Hari itu, langit mendung menyelimuti kota, seolah turut merasakan beban di hati Zahira. Langkahnya terasa berat saat ia meninggalkan ruang sidang, pandangannya kosong menatap jalanan yang basah oleh hujan. Tiada satu pun suara yang terdengar selain deru angin yang berbisik lembut, seakan mengingatkan akan kesedihan yang membayangi langkahnya.Setibanya di rumah, Zahira membuka pintu dengan tangan gemetar. Udara dalam rumah terasa dingin, seakan menyambut kepulangannya dengan kesunyian. Ia melangkah perlahan menuju kamarnya, langkahnya tak sekuat sebelumnya. Setiap langkah seolah mengingatkan pada kenangan yang kini berakhir. Dengan pelan, ia menutup pintu kamar dan membiarkan air mata mengalir di pipinya.“Zahira, sayang …” suara lembut ibunya terdengar dari luar pintu. Zahira bisa merasakan kekhawatiran dalam nada ibunya.Ketika pintu dibuka, ibu berdiri di sana, wajahnya penuh kasih, berusaha menahan kesedihan yang juga menghampiri. “Sudah Nduk, biar ibu nanti carikan pria yang lebi
Di kamar hotel yang terang benderang itu, Zahira duduk termenung di tepi jendela. Kamar yang mewah itu tiba-tiba terasa sempit baginya. Kilasan cahaya lampu kota dari luar menyinari wajahnya yang murung. Besok, ia akan menikah dengan Adnan, pria yang diperkenalkan oleh orangtuanya sebagai calon suami yang ideal. Namun, di balik keputusannya yang berani, hatinya masih terbelah. Ia masih mencintai Zayyan, mantan suaminya, cinta pertamanya yang telah meninggalkan luka mendalam di hatinya.Di sudut kamar, gaun pengantin putih tergantung dengan indah, seolah menantikan momen bahagia. Namun, bagi Zahira, gaun itu lebih mirip dengan kafan yang menyelimuti jiwa raganya. Adnan adalah pria baik, tetapi hati Zahira tahu bahwa ia bukan Zayyan. Zayyan, dengan segala kekurangannya, masih memegang ruang terdalam di hati Zahira.Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang Zayyan yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia menutup mata, kenangan tentang Zayyan kembali mengalir sep
Ruang itu penuh dengan aroma bunga yang segar, setiap sudut dipenuhi dengan karangan bunga yang indah, membuat suasana menjadi semarak namun juga sakral. Adnan, dengan setelan jas tradisional yang gagah, duduk dengan tegap di hadapan calon ayah mertuanya yang memegang buku nikah. Wajah Adnan tampak tenang namun cahaya lampu yang amat terang memperlihatkan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya.Calon ayah mertua itu memandang Adnan dengan pandangan yang menggambarkan campuran antara kebanggaan dan tanggung jawab. "Adnan, kamu sudah siap?" tanyanya dengan suara yang berat namun lembut. Adnan mengangguk, menelan ludah, mencoba menyembunyikan gugup yang mulai memuncak.Zahira sendiri juga sudah diapit oleh dua orang wanita yang merupakan saudara nya berjalan menuju meja akad, memang akad nikah itu sendiri akan disaksikan langsung oleh Zahira yang duduk disamping calon suami nya , mata Adnan terbelalak saat melihat begitu cantik dan anggun nya Zahira dengan balutan kebaya berwarna p
Saat memasuki kamar Zahira langsung meminta Adnan menurunkan dirinya dari gendongannya sebenarnya sudah dari tadi Zahira merasa risih di gendong Adnan, setelah turun lantas Zahira langsung melihat sekeliling rupanya koper yang kemarin ia bawa sudah berada di kamar tersebut, Zahira membawa koper tersebut dan memilih satu stel pakaian, ia akan mandi dan mengganti pakaiannya.Adnan menunggu sang istri selesai mandi, dan setelah Zahira selesai mandi kini gilirannya yang membersihkan diri. Setelah keduanya selesai mereka duduk di tepi tempat tidur dengan saling berjauhan .“Mas inget ya perjanjian kita,” ucap Zahira .“Perjanjian apa Sayang?” tanya Adnan .Mendengar Adnan menanggil nya sayang, Zahira mendelik tidak suka.“Yang mana lagi kalau bukan masalah kontrak pernikahan kita,” jawab Zahira ketus.“Mas udah tanya ke salah satu Ustadz yang Mas kenal, kamu mau denger gak penjelasan dia?” tanya Adnan .“Emang apa katanya?” tanya Zahira yang sebenarnya penasaran.“Kata Ustadz tersebut begi
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
Di balkon kecil yang diterangi cahaya temaram, Adnan mengisyaratkan Zahira untuk bergabung dengannya. Tak lama, ia muncul dengan segelas jus di tangan, langkahnya tenang saat menyerahkan minuman itu pada Adnan. Dengan gerakan sederhana namun penuh perhatian, ia menghirup jus segar yang dingin, tidak ada jejak asap rokok atau aroma kopi yang biasanya mengisi udara malam. Hanya kesegaran buah yang menyatu dengan kesejukan malam.Keheningan menyelimuti mereka, sesekali angin malam menyapu lembut wajah Zahira, membuat rambutnya sedikit bergetar. Di antara desah angin yang lembut, tak ada suara lain. Tapi keheningan itu tak terasa canggung, melainkan penuh arti, seakan mereka berdua terhubung dengan cara yang lebih dalam tanpa perlu kata-kata.Akhirnya, Adnan meletakkan gelasnya di meja kecil di sampingnya. Dengan tatapan penuh kasih, ia menoleh pada Zahira, suaranya memecah keheningan, membawa percakapan yang sudah lama ingin ia mulai.“Gimana betah gak di Ban
Zahira masih bersandar di tempat tidur, matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan adegan film yang sejak tadi ia tonton. Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, mencoba mencari kenyamanan di antara tumpukan bantal. Angin sore yang sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat suasana kamar semakin tenang.Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar ketika terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Telinga Zahira menangkap bunyi yang familiar—mobil yang ia tahu benar adalah milik Adnan. Matanya langsung teralih dari layar, alisnya mengerut. "Jam tiga?" gumamnya, kebingungan. Pagi tadi, Adnan bilang akan pulang sekitar jam enam, tapi kini sudah ada di rumah lebih awal.Kaget bercampur dengan rasa gugup menyerbu dadanya. Sekilas, Zahira melirik ke arah dapur yang kosong, belum ada tanda-tanda kegiatan masak-memasak di sana. Ia teringat bahwa sejak tadi ia hanya sibuk menonton, membiarkan waktu berlalu tanpa memikirkan apa yang harus disiapkan untuk Adnan. Buru-buru ia m
Cahaya pagi baru saja merayap masuk melalui celah tirai ketika Zahira, dengan gerakan pelan, merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang. Udara segar selepas Subuh terasa nyaman, namun kepalanya masih dipenuhi oleh perasaan yang bergejolak. Selimut ditariknya hingga menutupi setengah wajah, mencoba meredam kegelisahan yang sempat membuatnya terjaga semalaman.Bagi Zahira, jarak antara mereka terasa begitu dekat, meskipun tak ada sentuhan. Hal itu justru membuat dadanya terasa sesak. Meskipun sudah beberapa hari berlalu sejak pernikahan mereka, Zahira masih merasakan ketidaknyamanan yang sulit diabaikan.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan semalam—saat Adnan berbaring hanya beberapa inci darinya—terus menghantui. Setiap gerakan kecil dari Adnan, bahkan hanya desah napasnya, membuat tubuh Zahira kaku. Ia belum terbiasa dengan kehadiran Adnan di sampingnya, rasa risih itu masih kuat, meski ia tak ingin mengakuinya.Zahira menghela napas panjang di bawah sel
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb
Saat memasuki kamar Zahira langsung meminta Adnan menurunkan dirinya dari gendongannya sebenarnya sudah dari tadi Zahira merasa risih di gendong Adnan, setelah turun lantas Zahira langsung melihat sekeliling rupanya koper yang kemarin ia bawa sudah berada di kamar tersebut, Zahira membawa koper tersebut dan memilih satu stel pakaian, ia akan mandi dan mengganti pakaiannya.Adnan menunggu sang istri selesai mandi, dan setelah Zahira selesai mandi kini gilirannya yang membersihkan diri. Setelah keduanya selesai mereka duduk di tepi tempat tidur dengan saling berjauhan .“Mas inget ya perjanjian kita,” ucap Zahira .“Perjanjian apa Sayang?” tanya Adnan .Mendengar Adnan menanggil nya sayang, Zahira mendelik tidak suka.“Yang mana lagi kalau bukan masalah kontrak pernikahan kita,” jawab Zahira ketus.“Mas udah tanya ke salah satu Ustadz yang Mas kenal, kamu mau denger gak penjelasan dia?” tanya Adnan .“Emang apa katanya?” tanya Zahira yang sebenarnya penasaran.“Kata Ustadz tersebut begi
Ruang itu penuh dengan aroma bunga yang segar, setiap sudut dipenuhi dengan karangan bunga yang indah, membuat suasana menjadi semarak namun juga sakral. Adnan, dengan setelan jas tradisional yang gagah, duduk dengan tegap di hadapan calon ayah mertuanya yang memegang buku nikah. Wajah Adnan tampak tenang namun cahaya lampu yang amat terang memperlihatkan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya.Calon ayah mertua itu memandang Adnan dengan pandangan yang menggambarkan campuran antara kebanggaan dan tanggung jawab. "Adnan, kamu sudah siap?" tanyanya dengan suara yang berat namun lembut. Adnan mengangguk, menelan ludah, mencoba menyembunyikan gugup yang mulai memuncak.Zahira sendiri juga sudah diapit oleh dua orang wanita yang merupakan saudara nya berjalan menuju meja akad, memang akad nikah itu sendiri akan disaksikan langsung oleh Zahira yang duduk disamping calon suami nya , mata Adnan terbelalak saat melihat begitu cantik dan anggun nya Zahira dengan balutan kebaya berwarna p
Di kamar hotel yang terang benderang itu, Zahira duduk termenung di tepi jendela. Kamar yang mewah itu tiba-tiba terasa sempit baginya. Kilasan cahaya lampu kota dari luar menyinari wajahnya yang murung. Besok, ia akan menikah dengan Adnan, pria yang diperkenalkan oleh orangtuanya sebagai calon suami yang ideal. Namun, di balik keputusannya yang berani, hatinya masih terbelah. Ia masih mencintai Zayyan, mantan suaminya, cinta pertamanya yang telah meninggalkan luka mendalam di hatinya.Di sudut kamar, gaun pengantin putih tergantung dengan indah, seolah menantikan momen bahagia. Namun, bagi Zahira, gaun itu lebih mirip dengan kafan yang menyelimuti jiwa raganya. Adnan adalah pria baik, tetapi hati Zahira tahu bahwa ia bukan Zayyan. Zayyan, dengan segala kekurangannya, masih memegang ruang terdalam di hati Zahira.Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang Zayyan yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia menutup mata, kenangan tentang Zayyan kembali mengalir sep