Saat memasuki kamar Zahira langsung meminta Adnan menurunkan dirinya dari gendongannya sebenarnya sudah dari tadi Zahira merasa risih di gendong Adnan, setelah turun lantas Zahira langsung melihat sekeliling rupanya koper yang kemarin ia bawa sudah berada di kamar tersebut, Zahira membawa koper tersebut dan memilih satu stel pakaian, ia akan mandi dan mengganti pakaiannya.
Adnan menunggu sang istri selesai mandi, dan setelah Zahira selesai mandi kini gilirannya yang membersihkan diri. Setelah keduanya selesai mereka duduk di tepi tempat tidur dengan saling berjauhan .
“Mas inget ya perjanjian kita,” ucap Zahira .
“Perjanjian apa Sayang?” tanya Adnan .
Mendengar Adnan menanggil nya sayang, Zahira mendelik tidak suka.
“Yang mana lagi kalau bukan masalah kontrak pernikahan kita,” jawab Zahira ketus.
“Mas udah tanya ke salah satu Ustadz yang Mas kenal, kamu mau denger gak penjelasan dia?” tanya Adnan .
“Emang apa katanya?” tanya Zahira yang sebenarnya penasaran.
“Kata Ustadz tersebut begini,” Adnan pun menerangkan ketentuan, permasalahan dan hukum-hukum mengenai talak tiga.
perempuan yang telah ditalak tiga (ba’in kubra) tidak boleh dirujuk oleh suami yang mencerainya kecuali setelah dinikah oleh laki-laki lain, berdasarkan firman Allah, “Kemudian jika si suami menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga ia menikah dengan laki-laki lain,” (Q.S. al-Baqarah [2]: 230).
“Laki-laki lain” tersebut kemudian disebut dengan muhallil. Dengan kata lain, muhallil adalah laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan menghalalkan (tahlil) suami pertama untuk menikah kembali dengan perempuan tersebut.
Pernikahan muhallil yang bertujuan untuk membangun kehidupan suami-istri yang wajar dan langgeng tentunya tidak ada masalah, sebab itu pula yang dikehendali ayat di atas, hingga ia menikah dengan laki-laki lain. Namun, pernikahan muhallil yang singkat, sementara, bahkan disyaratkan harus bercerai setelah si perempuan dicampuri, inilah yang dipermasahkan. Sebab, masuk ke dalam kecaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat muhallil dan muhallal lah, (HR Ibnu Majah).
Jika muhallil adalah laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan menghalalkan suami pertama untuk menikah kembali dengan perempuan tersebut, maka muhallal lah adalah bekas suami yang menyuruh muhallil untuk menikahi mantan istrinya agar istri tersebut boleh dinikahinya lagi. Karenanya, supaya pernikahan muhallil ini sah, para ulama telah merinci syarat dan ketentuannya. Antara lain 5 syarat yang dikemukakan oleh para ulama Syafi’iyah.
“Jika sang suami telah menalaknya dengan talak tiga, maka tidak boleh baginya (rujuk/nikah) kecuali setelah ada lima syarat: (1) sang istri sudah habis masa iddahnya darinya, (2) sang istri harus dinikah lebih dulu oleh laki-laki lain (muhallil), (3) si istri pernah bersenggama dan muhallil benar-benar penetrasi kepadanya, (4) si istri sudah berstatus talak ba’in dari muhallil, (5) masa iddah si istri dari muhallil telah habis,” (Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, Terbitan: Alam al-Kutub, tanpa tahun, hal. 33).
Sementara itu, Syekh al-Zuhaili menyebutkan, ada tiga syarat jika seorang suami ingin menikah kembali dengan perempuan atau mantan istrinya yang telah ditalak tiga. Pertama, si perempuan telah dinikah oleh laki-laki yang lain. Kedua, pernikahan si perempuan dengan suami keduanya haruslah pernikahan yang sah. Karena, jika pernikahannya rusak, kemudian si suami kedua menggaulinya, maka tetap tidak halal bagi suami pertama. Pasalnya, pernikahan yang rusak pada hakikatnya bukan pernikahan. Ketiga, suami kedua harus menggaulinya dengan cara penetrasi pada kemaluan. Andai digauli pada selain itu, seperti pada anus, maka tetap tidak halal bagi suami pertama. Untuk itu, disyaratkan suami kedua mampu bersenggama, yakni penetrasi atau bertemunya kedua khitan, walaupun tidak sampai keluar sperma, menurut jumhur ulama.
Tidak termasuk ke dalam syarat ini jika si perempuan bersenggama dengan cara berzina. Sebab, perzinaan bukan pernikahan dan laki-laki yang menyenggama bukan suaminya. Menurut Imam asy-Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan al-Auza‘i, senggama suami kedua (muhallil) dianggap sah walaupun dilakukan pada waktu-waktu yang tidak diperbolehkan, seperti sedang haid atau nifas. Juga tidak dipermasalahkan status suami yang menggaulinya: apakah ia sudah baligh dan berakal, anak yang hampir dewasa, atau orang tunagrahita. Hanya saja syarat ini bertolak belakang dengan syarat ulama Maliki dan Hanbali.
Menurut mereka, senggama yang dilakukan harus pada waktu yang diperbolehkan. Selain itu, menurut Maliki, suami muhallil-nya harus baligh. Sementara menurut Hanbali, suaminya harus berumur 12 tahun. Alasannya, senggama yang tidak diperbolehkan haram bagi hak Allah. Adapun pernikahan muhallil yang dianggap batal, menurut mazhab Syafi‘i, adalah pernikahan yang disyaratkan terputusnya saat akad.
Seperti persyaratan: apabila si muhallil telah menggauli si perempuan, maka tidak ada lagi pernikahan antara keduanya. Atau, apabila si muhallil telah menikahinya hingga halal bagi suami pertama, maka ia harus menceraikannya. Ini mirip dengan pernikahan mut‘ah, yakni sebuah pernikahan bersifat sementara dan dipersyaratkan terputusnya, bukan tujuannya. Ini pula pernikahan muhallil yang dikecam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana hadits di atas. Lain halnya jika si muhallil menikahinya dengan niat akan mencerainya setelah menggaulinya, maka pernikahan ini hanya makruh. Sementara, jika ia menikahinya dengan niat agar menghalalkan suami pertama, bukan dengan syarat menceraikannya setelah senggama, maka akadnya tetap sah. Sebab, yang membatalkan pernikahan adalah syarat, bukan tujuan atau motifnya. Walhasil, pernikahan muhallil yang diperbolehkan adalah pernikahan tanpa syarat cerai sewaktu akad. Adapun pernikahan muhallil dengan niat atau motif tersembunyi untuk menceraikan, tetap dihukumi sah hanya saja makruh menurut Syafi‘i.
Pasalnya, secara zahir akad nikah sudah memenuhi syarat dan rukun. Makruh karena pernikahan bukan untuk membangun rumah tangga yang wajar, langgeng, berketurunan, bergaul secara ma’ruf, dan seterusnya. Tidak ada pengaruhnya motif yang tersimpan di belakang akad. Singkatnya, pernikahan muhallil yang secara terang-terangan disyaratkan sewaktu akad untuk menghalalkan suami pertama, tidak diperbolehkan, bahkan haram menurut jumhur ulama—Malikiyyah, Syafi‘iyyah, Hanbaliyyah, Zhahiriyyah—dan makruh tahrim menurut ulama Hanafi.
Sedemikian gambling Adnan menjelaskan tentang hukum talak tiga sementara Zahira terpaku mendengar penjelasan sang suami tentang talak tiga ini , itu artinya dirinya harus menjalani pernikahan pada umumnya dengan Adnan bahkan mereka harus melakukan hubungan suami istri seperti layak nya suami istri, itu cukup berat bagi Zahira yang tidak memiliki perasaan pada Adnan.
***
BERSAMBUNG
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
Cahaya pagi baru saja merayap masuk melalui celah tirai ketika Zahira, dengan gerakan pelan, merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang. Udara segar selepas Subuh terasa nyaman, namun kepalanya masih dipenuhi oleh perasaan yang bergejolak. Selimut ditariknya hingga menutupi setengah wajah, mencoba meredam kegelisahan yang sempat membuatnya terjaga semalaman.Bagi Zahira, jarak antara mereka terasa begitu dekat, meskipun tak ada sentuhan. Hal itu justru membuat dadanya terasa sesak. Meskipun sudah beberapa hari berlalu sejak pernikahan mereka, Zahira masih merasakan ketidaknyamanan yang sulit diabaikan.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan semalam—saat Adnan berbaring hanya beberapa inci darinya—terus menghantui. Setiap gerakan kecil dari Adnan, bahkan hanya desah napasnya, membuat tubuh Zahira kaku. Ia belum terbiasa dengan kehadiran Adnan di sampingnya, rasa risih itu masih kuat, meski ia tak ingin mengakuinya.Zahira menghela napas panjang di bawah sel
Zahira masih bersandar di tempat tidur, matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan adegan film yang sejak tadi ia tonton. Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, mencoba mencari kenyamanan di antara tumpukan bantal. Angin sore yang sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat suasana kamar semakin tenang.Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar ketika terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Telinga Zahira menangkap bunyi yang familiar—mobil yang ia tahu benar adalah milik Adnan. Matanya langsung teralih dari layar, alisnya mengerut. "Jam tiga?" gumamnya, kebingungan. Pagi tadi, Adnan bilang akan pulang sekitar jam enam, tapi kini sudah ada di rumah lebih awal.Kaget bercampur dengan rasa gugup menyerbu dadanya. Sekilas, Zahira melirik ke arah dapur yang kosong, belum ada tanda-tanda kegiatan masak-memasak di sana. Ia teringat bahwa sejak tadi ia hanya sibuk menonton, membiarkan waktu berlalu tanpa memikirkan apa yang harus disiapkan untuk Adnan. Buru-buru ia m
Di balkon kecil yang diterangi cahaya temaram, Adnan mengisyaratkan Zahira untuk bergabung dengannya. Tak lama, ia muncul dengan segelas jus di tangan, langkahnya tenang saat menyerahkan minuman itu pada Adnan. Dengan gerakan sederhana namun penuh perhatian, ia menghirup jus segar yang dingin, tidak ada jejak asap rokok atau aroma kopi yang biasanya mengisi udara malam. Hanya kesegaran buah yang menyatu dengan kesejukan malam.Keheningan menyelimuti mereka, sesekali angin malam menyapu lembut wajah Zahira, membuat rambutnya sedikit bergetar. Di antara desah angin yang lembut, tak ada suara lain. Tapi keheningan itu tak terasa canggung, melainkan penuh arti, seakan mereka berdua terhubung dengan cara yang lebih dalam tanpa perlu kata-kata.Akhirnya, Adnan meletakkan gelasnya di meja kecil di sampingnya. Dengan tatapan penuh kasih, ia menoleh pada Zahira, suaranya memecah keheningan, membawa percakapan yang sudah lama ingin ia mulai.“Gimana betah gak di Ban
“Menikahlah dengan orang lain untuk beberapa bulan saja setelah itu menikah kembali denganku,” titah Zayyan. Pagi itu Zayyan tiba-tiba saja datang ke rumah Zahira, ia ingin kembali rujuk dengan Zahira namun dirinya sudah mentalak tiga Zahira. Zayyan sendiri sudah pernah menikah setelah bercerai dengan Zahira, itu semua berawal dari keinginan sang ibu, saat itu Zahira tak kunjung hamil dan ibu Zayyan ingin segera memiliki cucu. Maka dari itu ibu Zayyan meminta Zayyan menceraikan istrinya dan menikah dengan wanita pilihannya .Dari awal pernikahan Zayyan dan Zahira memang kurang mendapat restu ibu Zayyan, namun Zayyan bersikeras untuk menikahi Zahira. Saat sang ibu terdiagnosa kanker payudara dan meminta dirinya menceraikan Zahira, Zayyan pun menuruti keinginan sang ibu karna ternyata Zayyan mulai tertarik pada wanita yang dijodohkan sang ibu dengan dirinya.“Siapa tadi yang datan, Zah?” tanya sang ibu.“Zayyan, Bu,” jawab Zahira.Nampak raut wajah tak suka dari sang ibu. “Ngapain dia
Mengingat pernikahan nya dengan Zayyan kembali, Zahira dan Zayyan sama-sama saling mencintai, namun pernikahan mereka memang kurang direstui oleh ibunda Zayyan karna Zahira berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, berbeda dengan Zayyan yang orang tuanya saja memiliki kerajaan bisnis dengan skala besar .Pernikahan itu terlaksana karna Zayyan yang mengancam ibunya akan pergi meninggalkan sang ibu jika hubungannya dengan Zahira tidak direstui.Setelah resmi menikah Zayyan diminta ibundanya tinggal bersama mereka, walau sikap ibunya Zayyan ini jelas tidak ramah tapi selama tidak ada kekerasan fisik maka Zahira berusaha untuk bersikap biasa saja pada sang mertua karna bagaimanapun mertuanya itu adalah orang yang melahirkan dan membesarkan sang suami .Awal semua terasa bahagia Zayyan memang begitu mencintai Zahira sehingga Zayyan sangat meratukan Zahira, Ibu Erni, ibunda Zayyan itu juga tidak pernah protes hanya sindiran-sindiran halus saja yang terdengar namun semua berubah saat sang
Di balkon kecil yang diterangi cahaya temaram, Adnan mengisyaratkan Zahira untuk bergabung dengannya. Tak lama, ia muncul dengan segelas jus di tangan, langkahnya tenang saat menyerahkan minuman itu pada Adnan. Dengan gerakan sederhana namun penuh perhatian, ia menghirup jus segar yang dingin, tidak ada jejak asap rokok atau aroma kopi yang biasanya mengisi udara malam. Hanya kesegaran buah yang menyatu dengan kesejukan malam.Keheningan menyelimuti mereka, sesekali angin malam menyapu lembut wajah Zahira, membuat rambutnya sedikit bergetar. Di antara desah angin yang lembut, tak ada suara lain. Tapi keheningan itu tak terasa canggung, melainkan penuh arti, seakan mereka berdua terhubung dengan cara yang lebih dalam tanpa perlu kata-kata.Akhirnya, Adnan meletakkan gelasnya di meja kecil di sampingnya. Dengan tatapan penuh kasih, ia menoleh pada Zahira, suaranya memecah keheningan, membawa percakapan yang sudah lama ingin ia mulai.“Gimana betah gak di Ban
Zahira masih bersandar di tempat tidur, matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan adegan film yang sejak tadi ia tonton. Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, mencoba mencari kenyamanan di antara tumpukan bantal. Angin sore yang sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat suasana kamar semakin tenang.Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar ketika terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Telinga Zahira menangkap bunyi yang familiar—mobil yang ia tahu benar adalah milik Adnan. Matanya langsung teralih dari layar, alisnya mengerut. "Jam tiga?" gumamnya, kebingungan. Pagi tadi, Adnan bilang akan pulang sekitar jam enam, tapi kini sudah ada di rumah lebih awal.Kaget bercampur dengan rasa gugup menyerbu dadanya. Sekilas, Zahira melirik ke arah dapur yang kosong, belum ada tanda-tanda kegiatan masak-memasak di sana. Ia teringat bahwa sejak tadi ia hanya sibuk menonton, membiarkan waktu berlalu tanpa memikirkan apa yang harus disiapkan untuk Adnan. Buru-buru ia m
Cahaya pagi baru saja merayap masuk melalui celah tirai ketika Zahira, dengan gerakan pelan, merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang. Udara segar selepas Subuh terasa nyaman, namun kepalanya masih dipenuhi oleh perasaan yang bergejolak. Selimut ditariknya hingga menutupi setengah wajah, mencoba meredam kegelisahan yang sempat membuatnya terjaga semalaman.Bagi Zahira, jarak antara mereka terasa begitu dekat, meskipun tak ada sentuhan. Hal itu justru membuat dadanya terasa sesak. Meskipun sudah beberapa hari berlalu sejak pernikahan mereka, Zahira masih merasakan ketidaknyamanan yang sulit diabaikan.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan semalam—saat Adnan berbaring hanya beberapa inci darinya—terus menghantui. Setiap gerakan kecil dari Adnan, bahkan hanya desah napasnya, membuat tubuh Zahira kaku. Ia belum terbiasa dengan kehadiran Adnan di sampingnya, rasa risih itu masih kuat, meski ia tak ingin mengakuinya.Zahira menghela napas panjang di bawah sel
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb
Saat memasuki kamar Zahira langsung meminta Adnan menurunkan dirinya dari gendongannya sebenarnya sudah dari tadi Zahira merasa risih di gendong Adnan, setelah turun lantas Zahira langsung melihat sekeliling rupanya koper yang kemarin ia bawa sudah berada di kamar tersebut, Zahira membawa koper tersebut dan memilih satu stel pakaian, ia akan mandi dan mengganti pakaiannya.Adnan menunggu sang istri selesai mandi, dan setelah Zahira selesai mandi kini gilirannya yang membersihkan diri. Setelah keduanya selesai mereka duduk di tepi tempat tidur dengan saling berjauhan .“Mas inget ya perjanjian kita,” ucap Zahira .“Perjanjian apa Sayang?” tanya Adnan .Mendengar Adnan menanggil nya sayang, Zahira mendelik tidak suka.“Yang mana lagi kalau bukan masalah kontrak pernikahan kita,” jawab Zahira ketus.“Mas udah tanya ke salah satu Ustadz yang Mas kenal, kamu mau denger gak penjelasan dia?” tanya Adnan .“Emang apa katanya?” tanya Zahira yang sebenarnya penasaran.“Kata Ustadz tersebut begi
Ruang itu penuh dengan aroma bunga yang segar, setiap sudut dipenuhi dengan karangan bunga yang indah, membuat suasana menjadi semarak namun juga sakral. Adnan, dengan setelan jas tradisional yang gagah, duduk dengan tegap di hadapan calon ayah mertuanya yang memegang buku nikah. Wajah Adnan tampak tenang namun cahaya lampu yang amat terang memperlihatkan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya.Calon ayah mertua itu memandang Adnan dengan pandangan yang menggambarkan campuran antara kebanggaan dan tanggung jawab. "Adnan, kamu sudah siap?" tanyanya dengan suara yang berat namun lembut. Adnan mengangguk, menelan ludah, mencoba menyembunyikan gugup yang mulai memuncak.Zahira sendiri juga sudah diapit oleh dua orang wanita yang merupakan saudara nya berjalan menuju meja akad, memang akad nikah itu sendiri akan disaksikan langsung oleh Zahira yang duduk disamping calon suami nya , mata Adnan terbelalak saat melihat begitu cantik dan anggun nya Zahira dengan balutan kebaya berwarna p
Di kamar hotel yang terang benderang itu, Zahira duduk termenung di tepi jendela. Kamar yang mewah itu tiba-tiba terasa sempit baginya. Kilasan cahaya lampu kota dari luar menyinari wajahnya yang murung. Besok, ia akan menikah dengan Adnan, pria yang diperkenalkan oleh orangtuanya sebagai calon suami yang ideal. Namun, di balik keputusannya yang berani, hatinya masih terbelah. Ia masih mencintai Zayyan, mantan suaminya, cinta pertamanya yang telah meninggalkan luka mendalam di hatinya.Di sudut kamar, gaun pengantin putih tergantung dengan indah, seolah menantikan momen bahagia. Namun, bagi Zahira, gaun itu lebih mirip dengan kafan yang menyelimuti jiwa raganya. Adnan adalah pria baik, tetapi hati Zahira tahu bahwa ia bukan Zayyan. Zayyan, dengan segala kekurangannya, masih memegang ruang terdalam di hati Zahira.Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang Zayyan yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia menutup mata, kenangan tentang Zayyan kembali mengalir sep