Di kamar hotel yang terang benderang itu, Zahira duduk termenung di tepi jendela. Kamar yang mewah itu tiba-tiba terasa sempit baginya. Kilasan cahaya lampu kota dari luar menyinari wajahnya yang murung. Besok, ia akan menikah dengan Adnan, pria yang diperkenalkan oleh orangtuanya sebagai calon suami yang ideal. Namun, di balik keputusannya yang berani, hatinya masih terbelah. Ia masih mencintai Zayyan, mantan suaminya, cinta pertamanya yang telah meninggalkan luka mendalam di hatinya.
Di sudut kamar, gaun pengantin putih tergantung dengan indah, seolah menantikan momen bahagia. Namun, bagi Zahira, gaun itu lebih mirip dengan kafan yang menyelimuti jiwa raganya. Adnan adalah pria baik, tetapi hati Zahira tahu bahwa ia bukan Zayyan. Zayyan, dengan segala kekurangannya, masih memegang ruang terdalam di hati Zahira.
Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang Zayyan yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia menutup mata, kenangan tentang Zayyan kembali mengalir seperti air bah. Nasihat ayah dan ibunya, serta janji Adnan bahwa ia akan menjadi suami yang setia, tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang Zahira rasakan.
Ketika malam semakin larut, Zahira berjalan menghampiri gaun pengantinnya. Dia menyentuh kainnya yang lembut, namun dalam hati, sentuhan itu terasa dingin dan hampa. Apa benar Zahira harus menjalankan pernikahan seperti pada umumnya, padahal niat Zahira menikah dengan Adnan hanyalah agar ia bisa kembali bersama Zayyan tapi ia tak menyangka bahwa ternyata serumit ini.
Saat tengah melamun tiba-tiba ponsel nya bordering, Zahira membawa ponsel tersebut dan ternyata yang menghubunginya larut malam seperti ini adalah Zayyan.
“Kamu belum tidur? “ tanya Zayyan pada Zahira .
“Enggak bisa tidur Mas,” jawab Zahira .
“Kamu ingat ya janji kita , kamu hanya akan menikah dengan suamimu itu tiga bulan saja dan mari kita menikah lagi,” ucap Zayyan .
Namun Zahira diam tak menjawab, ntah mengapa hatinya menjadi ragu untuk kembali rujuk dengan Zayyan mengingat bagaimana orangtuanya sudah tak akan lagi merestui hubungannya dengan Zayyan dan jika kedua orangtuanya tau perihal niat nya menikah dengan Adnan ini tentu kedua orang tuanya akan marah besar .
Keesokan paginya sekitar jam lima pagi tim MUA sudah datang untuk menyulap Zahira tampil istimewa di hari specialnya ini, Zahira sendiri lebih banyak diam, dia lebih banyak merenung, perkataan semua orang berputar-putar di kepalanya dan Zahira harus benar-benar memantapkan hati menikah dengan Adnan hari ini, perihal bagaimana kehidupan rumah tangganya itu Zahira akan fikirkan nanti saja, biar sekarang dirinya menikah dengan Adnan terlebih dahulu.
Ponsel Zahira terus bordering rupanya itu adalah Zayyan yang terus berusaha menghubungi Zahira lama kelamaan Zahira malah mulai risih dengan sikap Zayyan yang semakin overprotektif, yang sangat sering menghubungi dirinya, Zahira takut sang ibu mengetaui bahwa dirinya masih sering berkomunikasi dengan Zayyan dan Zahira takut sang ibu marah besar .
“Aduh Mbak belum full aja ini make up udah keliatan banget cantiknya,” puji salah satu tim MUA .
“Iya ini pasti calon suaminya bakalan seneng , ahh beruntung sekali ya Mas-nya itu nikah sama Mbak Zahira,” puji kembali mereka.
Dua jam berlalu, dan suara riuh rendah terdengar di sebuah ruangan tempat akad nikah dan resepsi pernikahan mereka berlangsung. Sedangkan di dalam ruangan kecil yang penuh dengan cermin dan kosmetik, tim MUA bekerja dengan cekatan merapikan kebaya putih yang anggun membalut tubuh Zahira. Zahira duduk tenang di atas kursi, menahan napas saat sentuhan lembut kuas merias wajahnya.
Cermin di depannya memantulkan sosok yang tampak menawan, wajahnya bersinar dengan riasan yang mempesona. Setiap detail terlihat sempurna—dari bibir merah merona hingga mata yang dikelilingi eyeliner tajam yang menekankan keindahannya. Namun di balik senyumnya, ada ketegangan yang menyelubungi hatinya, membuat jari-jarinya mengetuk-ngetuk lembut di atas lutut.
“Zahira, kamu cantik sekali!” salah satu MUA berkata, suaranya penuh semangat. Zahira tersenyum, tetapi dalam hatinya bergejolak.
Di luar kamar, suara derap langkah dan tawa tamu-tamu terdengar jelas, menambah suasana meriah. Zahira mendengar suara Adnan berbincang dengan keluarga, suaranya tegas namun hangat, membuatnya merasa lebih tenang. “Ijab qobul,” kata-kata itu terngiang dalam pikirannya, dan seiring dengan detak jantungnya, ia merasakan semangat baru.
Setelah selesai, tim MUA memberikan sentuhan terakhir, menyemprotkan parfum ringan yang membuatnya merasa percaya diri. “Semoga hari ini menjadi awal yang indah untukmu, Zahira,” ucap MUA terakhir sebelum mereka mundur, memberi kesempatan bagi Zahira untuk mempersiapkan diri.
Dengan napas dalam, Zahira menatap cermin sekali lagi, mencari kekuatan di dalam dirinya. Sekarang ia hanya bisa menerima takdir yang telah tuhan tentukan.
***
BERSAMBUNG
Ruang itu penuh dengan aroma bunga yang segar, setiap sudut dipenuhi dengan karangan bunga yang indah, membuat suasana menjadi semarak namun juga sakral. Adnan, dengan setelan jas tradisional yang gagah, duduk dengan tegap di hadapan calon ayah mertuanya yang memegang buku nikah. Wajah Adnan tampak tenang namun cahaya lampu yang amat terang memperlihatkan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya.Calon ayah mertua itu memandang Adnan dengan pandangan yang menggambarkan campuran antara kebanggaan dan tanggung jawab. "Adnan, kamu sudah siap?" tanyanya dengan suara yang berat namun lembut. Adnan mengangguk, menelan ludah, mencoba menyembunyikan gugup yang mulai memuncak.Zahira sendiri juga sudah diapit oleh dua orang wanita yang merupakan saudara nya berjalan menuju meja akad, memang akad nikah itu sendiri akan disaksikan langsung oleh Zahira yang duduk disamping calon suami nya , mata Adnan terbelalak saat melihat begitu cantik dan anggun nya Zahira dengan balutan kebaya berwarna p
Saat memasuki kamar Zahira langsung meminta Adnan menurunkan dirinya dari gendongannya sebenarnya sudah dari tadi Zahira merasa risih di gendong Adnan, setelah turun lantas Zahira langsung melihat sekeliling rupanya koper yang kemarin ia bawa sudah berada di kamar tersebut, Zahira membawa koper tersebut dan memilih satu stel pakaian, ia akan mandi dan mengganti pakaiannya.Adnan menunggu sang istri selesai mandi, dan setelah Zahira selesai mandi kini gilirannya yang membersihkan diri. Setelah keduanya selesai mereka duduk di tepi tempat tidur dengan saling berjauhan .“Mas inget ya perjanjian kita,” ucap Zahira .“Perjanjian apa Sayang?” tanya Adnan .Mendengar Adnan menanggil nya sayang, Zahira mendelik tidak suka.“Yang mana lagi kalau bukan masalah kontrak pernikahan kita,” jawab Zahira ketus.“Mas udah tanya ke salah satu Ustadz yang Mas kenal, kamu mau denger gak penjelasan dia?” tanya Adnan .“Emang apa katanya?” tanya Zahira yang sebenarnya penasaran.“Kata Ustadz tersebut begi
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
Cahaya pagi baru saja merayap masuk melalui celah tirai ketika Zahira, dengan gerakan pelan, merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang. Udara segar selepas Subuh terasa nyaman, namun kepalanya masih dipenuhi oleh perasaan yang bergejolak. Selimut ditariknya hingga menutupi setengah wajah, mencoba meredam kegelisahan yang sempat membuatnya terjaga semalaman.Bagi Zahira, jarak antara mereka terasa begitu dekat, meskipun tak ada sentuhan. Hal itu justru membuat dadanya terasa sesak. Meskipun sudah beberapa hari berlalu sejak pernikahan mereka, Zahira masih merasakan ketidaknyamanan yang sulit diabaikan.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan semalam—saat Adnan berbaring hanya beberapa inci darinya—terus menghantui. Setiap gerakan kecil dari Adnan, bahkan hanya desah napasnya, membuat tubuh Zahira kaku. Ia belum terbiasa dengan kehadiran Adnan di sampingnya, rasa risih itu masih kuat, meski ia tak ingin mengakuinya.Zahira menghela napas panjang di bawah sel
Zahira masih bersandar di tempat tidur, matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan adegan film yang sejak tadi ia tonton. Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, mencoba mencari kenyamanan di antara tumpukan bantal. Angin sore yang sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat suasana kamar semakin tenang.Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar ketika terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Telinga Zahira menangkap bunyi yang familiar—mobil yang ia tahu benar adalah milik Adnan. Matanya langsung teralih dari layar, alisnya mengerut. "Jam tiga?" gumamnya, kebingungan. Pagi tadi, Adnan bilang akan pulang sekitar jam enam, tapi kini sudah ada di rumah lebih awal.Kaget bercampur dengan rasa gugup menyerbu dadanya. Sekilas, Zahira melirik ke arah dapur yang kosong, belum ada tanda-tanda kegiatan masak-memasak di sana. Ia teringat bahwa sejak tadi ia hanya sibuk menonton, membiarkan waktu berlalu tanpa memikirkan apa yang harus disiapkan untuk Adnan. Buru-buru ia m
Di balkon kecil yang diterangi cahaya temaram, Adnan mengisyaratkan Zahira untuk bergabung dengannya. Tak lama, ia muncul dengan segelas jus di tangan, langkahnya tenang saat menyerahkan minuman itu pada Adnan. Dengan gerakan sederhana namun penuh perhatian, ia menghirup jus segar yang dingin, tidak ada jejak asap rokok atau aroma kopi yang biasanya mengisi udara malam. Hanya kesegaran buah yang menyatu dengan kesejukan malam.Keheningan menyelimuti mereka, sesekali angin malam menyapu lembut wajah Zahira, membuat rambutnya sedikit bergetar. Di antara desah angin yang lembut, tak ada suara lain. Tapi keheningan itu tak terasa canggung, melainkan penuh arti, seakan mereka berdua terhubung dengan cara yang lebih dalam tanpa perlu kata-kata.Akhirnya, Adnan meletakkan gelasnya di meja kecil di sampingnya. Dengan tatapan penuh kasih, ia menoleh pada Zahira, suaranya memecah keheningan, membawa percakapan yang sudah lama ingin ia mulai.“Gimana betah gak di Ban
Di balkon kecil yang diterangi cahaya temaram, Adnan mengisyaratkan Zahira untuk bergabung dengannya. Tak lama, ia muncul dengan segelas jus di tangan, langkahnya tenang saat menyerahkan minuman itu pada Adnan. Dengan gerakan sederhana namun penuh perhatian, ia menghirup jus segar yang dingin, tidak ada jejak asap rokok atau aroma kopi yang biasanya mengisi udara malam. Hanya kesegaran buah yang menyatu dengan kesejukan malam.Keheningan menyelimuti mereka, sesekali angin malam menyapu lembut wajah Zahira, membuat rambutnya sedikit bergetar. Di antara desah angin yang lembut, tak ada suara lain. Tapi keheningan itu tak terasa canggung, melainkan penuh arti, seakan mereka berdua terhubung dengan cara yang lebih dalam tanpa perlu kata-kata.Akhirnya, Adnan meletakkan gelasnya di meja kecil di sampingnya. Dengan tatapan penuh kasih, ia menoleh pada Zahira, suaranya memecah keheningan, membawa percakapan yang sudah lama ingin ia mulai.“Gimana betah gak di Ban
Zahira masih bersandar di tempat tidur, matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan adegan film yang sejak tadi ia tonton. Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, mencoba mencari kenyamanan di antara tumpukan bantal. Angin sore yang sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat suasana kamar semakin tenang.Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar ketika terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Telinga Zahira menangkap bunyi yang familiar—mobil yang ia tahu benar adalah milik Adnan. Matanya langsung teralih dari layar, alisnya mengerut. "Jam tiga?" gumamnya, kebingungan. Pagi tadi, Adnan bilang akan pulang sekitar jam enam, tapi kini sudah ada di rumah lebih awal.Kaget bercampur dengan rasa gugup menyerbu dadanya. Sekilas, Zahira melirik ke arah dapur yang kosong, belum ada tanda-tanda kegiatan masak-memasak di sana. Ia teringat bahwa sejak tadi ia hanya sibuk menonton, membiarkan waktu berlalu tanpa memikirkan apa yang harus disiapkan untuk Adnan. Buru-buru ia m
Cahaya pagi baru saja merayap masuk melalui celah tirai ketika Zahira, dengan gerakan pelan, merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang. Udara segar selepas Subuh terasa nyaman, namun kepalanya masih dipenuhi oleh perasaan yang bergejolak. Selimut ditariknya hingga menutupi setengah wajah, mencoba meredam kegelisahan yang sempat membuatnya terjaga semalaman.Bagi Zahira, jarak antara mereka terasa begitu dekat, meskipun tak ada sentuhan. Hal itu justru membuat dadanya terasa sesak. Meskipun sudah beberapa hari berlalu sejak pernikahan mereka, Zahira masih merasakan ketidaknyamanan yang sulit diabaikan.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan semalam—saat Adnan berbaring hanya beberapa inci darinya—terus menghantui. Setiap gerakan kecil dari Adnan, bahkan hanya desah napasnya, membuat tubuh Zahira kaku. Ia belum terbiasa dengan kehadiran Adnan di sampingnya, rasa risih itu masih kuat, meski ia tak ingin mengakuinya.Zahira menghela napas panjang di bawah sel
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb
Saat memasuki kamar Zahira langsung meminta Adnan menurunkan dirinya dari gendongannya sebenarnya sudah dari tadi Zahira merasa risih di gendong Adnan, setelah turun lantas Zahira langsung melihat sekeliling rupanya koper yang kemarin ia bawa sudah berada di kamar tersebut, Zahira membawa koper tersebut dan memilih satu stel pakaian, ia akan mandi dan mengganti pakaiannya.Adnan menunggu sang istri selesai mandi, dan setelah Zahira selesai mandi kini gilirannya yang membersihkan diri. Setelah keduanya selesai mereka duduk di tepi tempat tidur dengan saling berjauhan .“Mas inget ya perjanjian kita,” ucap Zahira .“Perjanjian apa Sayang?” tanya Adnan .Mendengar Adnan menanggil nya sayang, Zahira mendelik tidak suka.“Yang mana lagi kalau bukan masalah kontrak pernikahan kita,” jawab Zahira ketus.“Mas udah tanya ke salah satu Ustadz yang Mas kenal, kamu mau denger gak penjelasan dia?” tanya Adnan .“Emang apa katanya?” tanya Zahira yang sebenarnya penasaran.“Kata Ustadz tersebut begi
Ruang itu penuh dengan aroma bunga yang segar, setiap sudut dipenuhi dengan karangan bunga yang indah, membuat suasana menjadi semarak namun juga sakral. Adnan, dengan setelan jas tradisional yang gagah, duduk dengan tegap di hadapan calon ayah mertuanya yang memegang buku nikah. Wajah Adnan tampak tenang namun cahaya lampu yang amat terang memperlihatkan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya.Calon ayah mertua itu memandang Adnan dengan pandangan yang menggambarkan campuran antara kebanggaan dan tanggung jawab. "Adnan, kamu sudah siap?" tanyanya dengan suara yang berat namun lembut. Adnan mengangguk, menelan ludah, mencoba menyembunyikan gugup yang mulai memuncak.Zahira sendiri juga sudah diapit oleh dua orang wanita yang merupakan saudara nya berjalan menuju meja akad, memang akad nikah itu sendiri akan disaksikan langsung oleh Zahira yang duduk disamping calon suami nya , mata Adnan terbelalak saat melihat begitu cantik dan anggun nya Zahira dengan balutan kebaya berwarna p
Di kamar hotel yang terang benderang itu, Zahira duduk termenung di tepi jendela. Kamar yang mewah itu tiba-tiba terasa sempit baginya. Kilasan cahaya lampu kota dari luar menyinari wajahnya yang murung. Besok, ia akan menikah dengan Adnan, pria yang diperkenalkan oleh orangtuanya sebagai calon suami yang ideal. Namun, di balik keputusannya yang berani, hatinya masih terbelah. Ia masih mencintai Zayyan, mantan suaminya, cinta pertamanya yang telah meninggalkan luka mendalam di hatinya.Di sudut kamar, gaun pengantin putih tergantung dengan indah, seolah menantikan momen bahagia. Namun, bagi Zahira, gaun itu lebih mirip dengan kafan yang menyelimuti jiwa raganya. Adnan adalah pria baik, tetapi hati Zahira tahu bahwa ia bukan Zayyan. Zayyan, dengan segala kekurangannya, masih memegang ruang terdalam di hati Zahira.Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang Zayyan yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia menutup mata, kenangan tentang Zayyan kembali mengalir sep