Hari itu, langit mendung menyelimuti kota, seolah turut merasakan beban di hati Zahira. Langkahnya terasa berat saat ia meninggalkan ruang sidang, pandangannya kosong menatap jalanan yang basah oleh hujan. Tiada satu pun suara yang terdengar selain deru angin yang berbisik lembut, seakan mengingatkan akan kesedihan yang membayangi langkahnya.
Setibanya di rumah, Zahira membuka pintu dengan tangan gemetar. Udara dalam rumah terasa dingin, seakan menyambut kepulangannya dengan kesunyian. Ia melangkah perlahan menuju kamarnya, langkahnya tak sekuat sebelumnya. Setiap langkah seolah mengingatkan pada kenangan yang kini berakhir. Dengan pelan, ia menutup pintu kamar dan membiarkan air mata mengalir di pipinya.
“Zahira, sayang …” suara lembut ibunya terdengar dari luar pintu. Zahira bisa merasakan kekhawatiran dalam nada ibunya.
Ketika pintu dibuka, ibu berdiri di sana, wajahnya penuh kasih, berusaha menahan kesedihan yang juga menghampiri. “Sudah Nduk, biar ibu nanti carikan pria yang lebih baik dari Zayyan,” ujarnya, mencoba memberikan semangat meskipun suaranya bergetar. Namun, Zahira hanya menunduk, tidak mengangkat wajahnya. Jari-jarinya mencengkeram ujung bajunya, menggenggam erat seolah mencari pegangan dalam lautan kesedihan.
Senyum lembut sang ibu tak berhasil menjangkau hati Zahira. Ia terdiam, larut dalam pikirannya sendiri. Semua kenangan, semua harapan yang hancur, membuatnya merasa seperti terjebak dalam ruangan yang terlalu sempit untuk menampung rasa sakitnya. Dalam keheningan itu, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah isak tangisnya, meresap ke dalam dinding-dinding rumah yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan.
Hari terus berganti, beberapa kali setelah selesai masa iddah sang ibu mengenalkan Zahira pada beberapa pria pilihan sang ibu namun Zahira selalu menolaknya namun suatu hari Zayyan datang menemuinya dan mengajak Zahira untuk rujuk kembali.
Zahira jelas ingin, bagaimanapun Zahira masih mencintai Zayyan namun karna sudah jatuh talak tiga di pernikahan mereka sebelumnya maka Zahira harus menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain, bagai angin segar sang ibu kembali menawarkan Zahira untuk menikah dengan laki-laki yang bernama Adnan, tentu Zahira mau karna ia menganggap bahwa itu bisa menjadi batu loncatannya menikah kembali dengan Zayyan, tanpa Zahira tau bahwa ternyata ada banyak sekali syarat agar mereka bisa kembali rujuk bukan hanya sekedar menikah dengan pria lain .
“Kamu liat ini, masih bujang anaknya temen deket ibu baik banget pekerjaan nya juga sudah mapan, kalau kamu nikah sama Nak Adnan kamu bakalan dapet mertua yang baik banget gak kaya mantan mertuamu dulu yang baru jadi bandar aja sombongnya udah naudzubillah,”ucap sang ibu.
“Terserah ibu aja, kali ini Zahira enggak bakalan protes,” ucap Zahira .
Tentu mendengat itu ibunya Zahira begitu bahagia, bagaimanapun sebagai seorang ibu ia juga sangat sedih melihat sang anak yang berubah menjadi pendiam setelah berpisah dengan Zayyan, sang ibu berharap pernikahan Zahira dengan Adnan bisa membawa kebahagiaan untuk Zahira.
-----
Pernikahan Adnan dan Zahira sudah disepakati, tak ada pernikahan mewah sesuai permintaan Zahira mereka akan mengusung konsep intimide wedding, Zahira fikir pernikahannya juga tak akan lama dengan Adnan tak perlu mengadakan pesta mewah sebenarnya Zahira ingin menikah dengan lebih sederhana, akad nikah di KUA pun tak apa tapi Zahira tetap harus menghargai keluarga calon suaminya.
Selesai acara lamaran itu semua disibukan dengan acara pernikahan Zahira, kabar rencana pernikahan Zahira pun sudah sampai di telinga Zayyan, ia tersenyum tak lama lagi ia akan kembali bersama Zahira, baginya Zahira memang sosok wanita terbaik, ia sempat menyesali keputusannya untuk menceraikan Zahira dan menikahi perempuan pilihan sang mamah, bahkan dari hasil pernikahannya dengan wanita pilihan sang mamah Zayyan tetap tak memiliki keturunan.
Adnan lah yang paling sibuk mengurus pernikahannya dengan Zahira sedangkan Zahira tak mau tau jelas ini bukan lah pernikahan yang ia mau beberapa kali Adnan menanyakan perihal konsep pernikahan yang Zahira mau tapi Zahira selalu menjawabnya dengan kata terserah.
“Kamu beneran gak mau ada konsep pernikahan yang kamu mau gitu? kamu tiap ditanya jawabannya pasti selalu terserah,” tanya Adnan melalui sambungan teleponnya.
“Kalau kamu mau mundur silahkan aku gak masalah, lagian pernikahan ini juga bukan pernikahan impian aku,” jawab Zahira ketus .
“Yaudah biar aku aja yang urus semua kamu terima beres aja,” jawab Adnan pasrah.
Adnan tidak akan menyerah ia akan menaklukan hati calon istrinya ini, dia sudah bertanya pada seorang Ustadz tentang bagaimana itu tentang talak tiga dan mereka harus menjalani pernikahan sebagaimana mestinya. Zahira harus tetap menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.
***
BERSAMBUNG
Di kamar hotel yang terang benderang itu, Zahira duduk termenung di tepi jendela. Kamar yang mewah itu tiba-tiba terasa sempit baginya. Kilasan cahaya lampu kota dari luar menyinari wajahnya yang murung. Besok, ia akan menikah dengan Adnan, pria yang diperkenalkan oleh orangtuanya sebagai calon suami yang ideal. Namun, di balik keputusannya yang berani, hatinya masih terbelah. Ia masih mencintai Zayyan, mantan suaminya, cinta pertamanya yang telah meninggalkan luka mendalam di hatinya.Di sudut kamar, gaun pengantin putih tergantung dengan indah, seolah menantikan momen bahagia. Namun, bagi Zahira, gaun itu lebih mirip dengan kafan yang menyelimuti jiwa raganya. Adnan adalah pria baik, tetapi hati Zahira tahu bahwa ia bukan Zayyan. Zayyan, dengan segala kekurangannya, masih memegang ruang terdalam di hati Zahira.Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang Zayyan yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia menutup mata, kenangan tentang Zayyan kembali mengalir sep
Ruang itu penuh dengan aroma bunga yang segar, setiap sudut dipenuhi dengan karangan bunga yang indah, membuat suasana menjadi semarak namun juga sakral. Adnan, dengan setelan jas tradisional yang gagah, duduk dengan tegap di hadapan calon ayah mertuanya yang memegang buku nikah. Wajah Adnan tampak tenang namun cahaya lampu yang amat terang memperlihatkan sedikit keringat yang mengalir di pelipisnya.Calon ayah mertua itu memandang Adnan dengan pandangan yang menggambarkan campuran antara kebanggaan dan tanggung jawab. "Adnan, kamu sudah siap?" tanyanya dengan suara yang berat namun lembut. Adnan mengangguk, menelan ludah, mencoba menyembunyikan gugup yang mulai memuncak.Zahira sendiri juga sudah diapit oleh dua orang wanita yang merupakan saudara nya berjalan menuju meja akad, memang akad nikah itu sendiri akan disaksikan langsung oleh Zahira yang duduk disamping calon suami nya , mata Adnan terbelalak saat melihat begitu cantik dan anggun nya Zahira dengan balutan kebaya berwarna p
Saat memasuki kamar Zahira langsung meminta Adnan menurunkan dirinya dari gendongannya sebenarnya sudah dari tadi Zahira merasa risih di gendong Adnan, setelah turun lantas Zahira langsung melihat sekeliling rupanya koper yang kemarin ia bawa sudah berada di kamar tersebut, Zahira membawa koper tersebut dan memilih satu stel pakaian, ia akan mandi dan mengganti pakaiannya.Adnan menunggu sang istri selesai mandi, dan setelah Zahira selesai mandi kini gilirannya yang membersihkan diri. Setelah keduanya selesai mereka duduk di tepi tempat tidur dengan saling berjauhan .“Mas inget ya perjanjian kita,” ucap Zahira .“Perjanjian apa Sayang?” tanya Adnan .Mendengar Adnan menanggil nya sayang, Zahira mendelik tidak suka.“Yang mana lagi kalau bukan masalah kontrak pernikahan kita,” jawab Zahira ketus.“Mas udah tanya ke salah satu Ustadz yang Mas kenal, kamu mau denger gak penjelasan dia?” tanya Adnan .“Emang apa katanya?” tanya Zahira yang sebenarnya penasaran.“Kata Ustadz tersebut begi
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
“Menikahlah dengan orang lain untuk beberapa bulan saja setelah itu menikah kembali denganku,” titah Zayyan. Pagi itu Zayyan tiba-tiba saja datang ke rumah Zahira, ia ingin kembali rujuk dengan Zahira namun dirinya sudah mentalak tiga Zahira. Zayyan sendiri sudah pernah menikah setelah bercerai dengan Zahira, itu semua berawal dari keinginan sang ibu, saat itu Zahira tak kunjung hamil dan ibu Zayyan ingin segera memiliki cucu. Maka dari itu ibu Zayyan meminta Zayyan menceraikan istrinya dan menikah dengan wanita pilihannya .Dari awal pernikahan Zayyan dan Zahira memang kurang mendapat restu ibu Zayyan, namun Zayyan bersikeras untuk menikahi Zahira. Saat sang ibu terdiagnosa kanker payudara dan meminta dirinya menceraikan Zahira, Zayyan pun menuruti keinginan sang ibu karna ternyata Zayyan mulai tertarik pada wanita yang dijodohkan sang ibu dengan dirinya.“Siapa tadi yang datan, Zah?” tanya sang ibu.“Zayyan, Bu,” jawab Zahira.Nampak raut wajah tak suka dari sang ibu. “Ngapain dia
Mengingat pernikahan nya dengan Zayyan kembali, Zahira dan Zayyan sama-sama saling mencintai, namun pernikahan mereka memang kurang direstui oleh ibunda Zayyan karna Zahira berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, berbeda dengan Zayyan yang orang tuanya saja memiliki kerajaan bisnis dengan skala besar .Pernikahan itu terlaksana karna Zayyan yang mengancam ibunya akan pergi meninggalkan sang ibu jika hubungannya dengan Zahira tidak direstui.Setelah resmi menikah Zayyan diminta ibundanya tinggal bersama mereka, walau sikap ibunya Zayyan ini jelas tidak ramah tapi selama tidak ada kekerasan fisik maka Zahira berusaha untuk bersikap biasa saja pada sang mertua karna bagaimanapun mertuanya itu adalah orang yang melahirkan dan membesarkan sang suami .Awal semua terasa bahagia Zayyan memang begitu mencintai Zahira sehingga Zayyan sangat meratukan Zahira, Ibu Erni, ibunda Zayyan itu juga tidak pernah protes hanya sindiran-sindiran halus saja yang terdengar namun semua berubah saat sang