Aku melihat Bang Akmar sangat penasaran dengan apa yang aku lakukan, sebelum keluar pertanyaan dari Bang Akram, buru-buru aku letakan ponsel ke dalam saku tas. "Ke Masjid dulu saja, Bang. Biar aku yang pesankan, temani kakak wudhu dulu. Aku sholat setelah mereka selesai, gantian jaga Hilda," ucapku sambil meletakan ponsel di tas. "Syifa sholat di sini saja kan?" tanya Bang Akram. "Iya, gantian sama aku, Bang. Daffa di ajak ke Masjid, untuk latihan agar terbiasa rajin ke Masjid," cara mendidik yang di lakukan Fitri sangat disiplin. Anak laki-laki di wajibkan sholat di Masjid. "Yuk, Kak. Ayah temani ke toilet dulu!" ajak Bang Akram. "Oke, Ayah," keduanya menggandeng tangan Akram. Seperti inilah gambaran kebahagiaan keluargaku yang menghilang empat bulan, kini sudah mulai kembali. Permasalahan dan pertengkaran menjadi bumbu penyedap dalam pernikahan, namun ketika berkaitan dengan kepercayaan maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengobatinya. "Kakak kembali, Bun," S
Bang Akram rautnya tidak mengenakan, apa dia mengira aku macam-macam?"Nanti Indri bicarakan di rumah ya, Bang," ucapku dengan santai. "Bagaimana, Kak Daffa? Kita langsung pulang, atau mamir beli mainan sementara adikmu sudah tertidur kelelahan?" tanya Bang Akram sama Daffa dan mengabaikan ucapanku. Ah ... ternyata kamu marah. "Kita langsung pulang tapi, bunda harus janji besok beneran belikan mainan buat Daffa," ucapannya masih menganduk rajukan."Anak pintar, bunda sayang sama kamu. Iya, insyaAllah bunda akan beli besok," ucapku gemas sambil mengacak rambutnya."Bunda, berantakan. Nanti jadi tidak tampan lagi," ucapnya.Ban Akram tertawa melihat duplikat kecilnya."Gengsi gede dan narsis, mirip siapa ya, Bang?" tanyaku sambil tertawa."Kamu! Kalau aku tidak begitu," jawabnya sambil terkekeh.Setelah mencapai kesepakatan Hilda di gendong Ayahnya, sementara aku membawa perlengkapan di tas ransel. Baginilah bepergian anak masih kecil-kecil, perlengkapannya banyak."Sayang, kunci di s
Bang Akram yang bisa membaca keraguanku langsung tersenyum. Bang Akram mengelus rambutku dengan lembut."Kenapa? Untuk urusan seperti itu tentu saja Abang mengijinkan, apalagi menyangkut masa depan kakakmu," ucap Bang Akram."Bang, ... ," ucapanku terkatung mendapat perlakuan lembutnya hatiku menghangat. Sikapnya kembali ke Akramku yang dulu. Seketika aku mengingat sesuatu yang menggelitik untuk di bicarakan, namun ia urungkan. Toh belum tentu terjadi, dan aku juga tidak yakin dia punya nyali mengingat pernikahannya hanya siri."Kenapa, Sayang. Masih ingat bukan, kalau Abang mau menghukummu," ucapnya sambil tersenyum mesum."issh ... Abang," aku memasang wajah cemberut. Bukannya kesal malah justru membuat Bang Akram terbahak.Sentuhan lembut dan penuh kehati-hatian darinya membuatku melayang ke langit ketujuh. ****"Sayang, ... bangun!Bisikan mengalun indah di telinga. Aku hanya menggeliat sebentar untuk kemudian tertidur kembali. Rasanya baru saja tertidur, Bang Akram benar-benar
"Kenapa semuanya tegang begitu, Bunda mau bicara hal tidak begitu penting. Meskipun tidak penting tapi, kalian perlu mengetahuinya," aku menjeda kalimatku beberapa saat. "Bunda tidak ingin kita salah paham dengan Ayah lagi seperti kemarin, jika Bunda yang berbicara tentu kalian lebih percaya bukan?" aku mengamati kedua anakku tampak mulai memahami arah bicaraku. Sementara Bang Akram semakin penasaran, dia tampak begitu fokus menatapku. Aku sengaja menggigit pelan lidahku sendiri agat tawaku tidak keluar, senyum manis terpampang di wajahku. "Jika suatu saat kalian melihat mama Lulu datang menemui Ayah maka jangan langsung menyimpulkan sendiri. Tanyakan kebenarannya kepada Bunda terlebih dahulu. Bagaimana apa kalian sudah paham?" tanyaku kepada mereka. Jangan tanya bagaimana kondisi Bang Akram saat ini, pias seakan tawanan yang sedang tertangkap. "Bang, nanti aku jelaskan mengapa aku bicara seperti ini kepada anak-anak," kali ini perlahan ekpresi pria itu kembali normal. "Maksud bu
Seteleh siluet suaminya menghilang, Fitri berpindah ke kursi kemudi di pencetnya nomor ponsel laki-laki yang sangat menginginkan Indah saat dulu maupun masa kini. Setelah mendapat di capai kesepakatan wanita ini menutup sambungan teleponnya, dia tersenyum puas. Di pakainya seat belt menoleh ke belakang memastikan balitanya baik-baik saja dan menjalankan mobil perlahan keluar area parkir. Sengaja memperlambat laju kendaraan untuk menyaksikan pertunjukan kecil yang sudah ia susun tadi bersama lawan bicara.Dia tersenyum simpul melihat mobil yang terasa asing merwarna hitam itu memasuki gerbang perusahaan, dan berhenti tepat di depan Indah yang saat ini sedang duduk termenung sendirian.Indah menongak ke arah mobil, mendadak terlihat pias. Nampak kekesalan terambar begitu nyata. Pria di dalam menurunkan kaca mobil perlahan, lamat-lamat terdengar penolakan dari mulut mantan Akram. Seorang laki-laki bertubuh tegap di perkirakan usia tiga puluhan keluar dari mobil dan membuka kabin depan
"Hai ... kenapa?" tanya Fitri penasaran melihat perubahan sahabatnya, lawan bicaranya terlihat murung."Maaf, jika ini terkesan mendadak, Rin. Sungguh niatku tulus, aku hanya ingin menjadi perantara sahabat baikku dan kakakku merajut kebahagiaan di masa depan," ucap Fitri tulus.Arina tersentak, ternyata ekspresinya melukai perasaan sahabatnya. Dia tidak ada maksud, hanya kaget dengan situasi, meski mereka sering bergurau namun rasanya berbeda manakala menjadi serius."Bukan begitu, Fit. Aku hanya terharu, ini merupakan bagian dari impianku. Tapi, ketika sesuatu yang menjadi impian ada di hadapanku di situ aku ragu melangkah," jawab Arina gugup. Mendadak suasana menjadi canggung, Arina menatap Fitri dengan pandangan cemas serta gelisah."Apa yang membuatmu ragu, Sahabat?" tanya Fitri begitu tulus."Aku takut, hanya aku yang menginginkan pernikahan ini. Kak Farid belum pernah sekalipun menghubungiku," ucapnya malu dan pipi sudah merona."Haha ... Arin. Ayolah, bukankah kamu tau Papa Ma
"Enak saja. Makanya cepat kasih jawaban kapan siap di lamar, nanti bikin sendiri," ledek Fitri sembari berbalik dan mendudukan anaknya di kursi khusus."Bawaannya kalau sudah nikah beda bicaranya ya, Fit. Apalagi anak sudah tiga, sudah mastah pembuat anak," Arin terbahak. Fitri menutup kabin belakang dan berjalan ke arah kabin depan dan duduk di kursi kemudi. Sebelum menutup pintu di bicara lagi dengan Arin."Lekas pulang temui Ayah ibumu, sampaikan salamku sama Om!" ucapnya lalu menutup pintu sambil terbahak."Dasar bawel!" Umpatan keluar dari wanita cantik di basmant.Fitri melambai ke arah sahabatnya, ada perasaan lega dan bahagia. Kakaknya istimewa, sulit sekali untuk menerima perjodohan dari Papa Mamanya. Tidak menyangka, Farid menyambut niat baik Fitri saat itu.Bibirnya terus memamerkan senyum yang tidak berkesudahan. Di perjalanan Fitri terus ngobrol dengan anak gadisnya yang belum genap tiga tahun, seolah anaknya paham dengan obrolan ibu tiga anak itu.Ponsel terpampang di de
Dengan tatapan kebingungan Indah menuruti ajakan mantan kakak madunya. Fitri sudah memindahkah HIlda ke gendongan suami. Dan kini ia menggandeng Indah dengan hangat. Wanita tiga anak itu hanya ingin menyampaikan apa yang diharapkannya. Tak akan habis perkara jika terus dibumbui dendam, ia ingin menyampaikan kedamaian dalam hidupnya. Ia hanya ingin Indah wanita yang sesungguhnya sangat rapuh di balik sikapnya yang menyebalkan ini mendapatkan kebahagiaan. Sampailah mereka pada private room yang sangat nyaman. Tanpa di persilahkan semua sudah menempatkan diri pada kursi masing-masing dengan canggung. Saat semua larut dalam keheningan. Ponsel Fitri tiba-tiba berdering. Dengan sigap wanita itu mengangkatnya. "Halo?" sapa Fitri. Orang yang melelpon Fitri segera berbicara. Entah apa yang di bicarakan mereka, yang jelas raut wajah Fitri langsung berubah bersemangat. "Kami akan menunggumu, datanglah ketika urusanmu sudah selesai," ucapnya sembari tersenyum. Kedua orang yang berada di s