Jika boleh meminta, Indah saat ini ingin sekali berlari menjauh dari laki-laki yang saat ini ada di hadapannya. Fitri menggenggam erat tangan Indah, ia paham saat ini Indah butuh dukungan dan kekuatan. Tangan dingin Indah perlahan menghangat dalam genggaman Fitri. Indah menoleh dan Fitripun mengangguk. "Duduklah Aldo!" Farid angkat bicara melihat euforia menegangkan di ruangan. Laki-laki yang bernama Aldo mengangguk. "Wanita di samping adikku ini yang bernama Indah bukan?" Indah mengangguk dan tersenyum kikuk, ada perasaan malu. Tak menyangka keluarga Fitri menerima dia dengan lapang tanpa cacian."Pantas saja, Aldo terus merancau tentang namamu," ucap Farid lalu menepuk pundak Aldo yang berada di sampingnya. "Kali ini ijinkan aku bicara dulu, Al. Aku paling senior di sini," kelekar Farid sembari memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi."Silahkan, Pak," ucap Aldo tegas dan sopan."Sudah di bilang kalau di luar kantor kamu panggil Kak seperti yang lainnya. Kamu sudah aku angga
"Hilda, kita pulang yuk! Kakak sudah menunggu kita," kata Fitri dengan gemas, berdiri ngeulurkan kedua tangannya untuk menggendongnya. Dengan wajah lucu dia menolak dengan gelengan. "Gendong Ayah," celoteh Hilda menggemaskan. "Lihat tuh, Akram. Anakmu di kasih jampi-jampi apa bisa-bisanya lengket seperti itu?" tawa Farid menggelegar melihat kelakuan keponakan kecilnya. "Entahlah, Kak. Dia yang selama ini mengikatku dan menyadarkanku. Mereka membutuhkanku, aku merasa beruntung di butuhkan mereka. Kepergian kedua anakku kemarin sudah mengajarkan banyak hal terutama tentang kasih sayang dan kepercayaan," jawab Akram menerawang. "Issh ... sudah kakak hanya bercanda, kenapa jadi mengingat kenangat tak mengenakan. Songsonglah masa depan dan masa lalu dijadikan sebagai pembelajaran. Pulang yuk, sudah hampir maghrib. Indah tanggung jawabmu, Al," ucap Farid. Farid menyerahkan tubuh mungil Hida ke Akram, dan kini mulutnya mendekat tepat di telinga Aldo sambil berbisik, "Ingat, dia saat ini
Kelima orang dewasa meninggalkan kafe beriringan, Fitri masih terus bergandengan dengan Fitri. Baik Indah maupun Fitri enggan melepaskan. Betapa Allah dengan mudah membolak balikan hati manusia. Sebelumnya keduanya seakan bermusuhan, kini saling menenangkan.Tautan keduanya terlepas saat menuju mobil masing-masing. Indah masuk mobil bersama Aldo. Fitri masuk terlebih dahulu, Akram mendudukan Hilda di pangkuan istrinya di tutup kabin dengan pelan. Akram berjalan mengitari mobil kursi kemudi menjadi tempat tujuannya."Sayang, sabuk pengaman sudah terpasang?" tanya Akram dengan tatapan penuh cinta.Fitri tersenyum hangat menatap pria di sampingnya, "Abang yang pasangin, aku repot pegang Hilda," jawab Fitri terkekeh, merasa aneh dengan pertanyaannya sang suami. Setelah memastikan semua Akram mulai melajukan kendaraa meninggalkan kafe."Kita nanti berhenti sebentar beli oleh-oleh dulu buat anak-anak, Sayang," ungkap Akram. Hati Fitri menghangat mendapatkan perlakuan seperti ini kembali.
"Aku takut, Kak," rengek Fitri. "Jangan berlebihan, kakak juga di telpon. Sini ponselnya," Farid merebut dari tangan adiknya. "Kelamaan," gerutunya. "Assalamu'alaikum, Pa," sapa Farid. "Wa'alaikum sallam, syukurlah ternyata kalian sedang berkumpul. Farid, mama mengkhawatirkanmu. Tadi telpon ke kantor kamu sudah pulang, telepon ponselmu tidak di angkat," gerutu papa namun terlihat lega. "Iya, Papa. Farid baik-baik saja. Mama sehat kan?" tanya Farid. "Mama sehat, hanya saja hari ini terlihat uring-uringan semenjak pulang arisan. Teman-temannya di temani menantu perempuan katanya," ujar Papa sebari terkekeh. "Itu lagi pembahasannya, Farid bosan, Pa," keluh Farid, mendengar kelakuan mamanya yang seperti ini ujungnya menjodohkan dengan anak teman arisan. "Jangan begitu, Farid. Mamamu sangat ingin kamu bahagia," "Papa, Farid sudah sangat bahagia dengan begini, Mama saja yang berlebihan," sahut Farid sambil duduk dengat tatapan melirik, tertuju pada adiknya yang menguping di samping k
"Arin, dalam menjalani sebuah rumah tangga butuh yang namanya komitmen, itu syarat mutlak. Tak peduli dia perjaka ataupun duda," ucap Ayah Arin dengan menggenggam tangan anak perempuannya. "Bukan berarti Ayah mengobral anak gadisku, asal dia laki-laki. Anak ayah belum menikah sampai saat ini karena istimewa. Allah sudah menyiapkan jodoh terbaik buat anak ayah. Ayah akan tanya dulu sama kamu, apakah kamu sudah pernah bertemu sebelumnya? Apa kamu merasa nyaman? Nama orang tuanya boleh ayah tau? Sebelumnya kamu hanya cerita tentang Fitri," lanjut Ayah dengan tegas dan lembut.Arin menceritakan dengan detail siapa nama papa Fitri berikut latar belakang. Ayah mengangguk senang, ternyata mereka sudah saling kenal. "Sayang, orang tua menanyakan latar belakang bukan berarti karena menginginkan menantu kaya, namun ingin yang terbaik untuk anaknya. Bagaimana memperlakukan istrinya kelak, bagaimana dengan keluarganya tentu berpengaruh dengan karakter seorang anak. Jangan salah paham ya, Sayang,
Fitri mengulas senyum terbaiknya. Dia menggenggam erat kedua tangan suaminya, di tatapnya kedua mata dengan teduh. "Bang, Allah menilai setiap proses yang kita jalani. Apapun itu hasilnya InsyaAllah itu yang terbaik, Allah Maha adil. Tidak mungkin mendzolimi hamba-Nya. Apapun keputusan pimpinan aku selalu mendukungmu," kata-kata Fitri begitu menenangkan. "Bang, jalani pekerjaan dengan profesional seperti sebelumnya, perbaiki kinerja beberapa bulan ini. Kerja itu sebuah ibadah, jadikan ladang pahala di dalamnya. Ketika kita mempunyai niat terbaik maka Allah juga akan memberikan yang terbaik," imbuhnya. "Terimakasih, Sayang. Abang tak akan mengecewakanmu lagi," "Maksudnya?" tanya Fitri."Rasa penasaran Abang sudah tak ada lagi, dulu Abang berfikir memiliki istri satu yang sempurna seperti ini pahala akan melimpah, keluarga kita bahagia bukankan impian setiap orang. Abang menikah lagi dan membuat keluarga seperti yang kita jalani, jadi Abang punya dua keluarga yang di bina mengalir p
Paginya keluarga Fitri sudah bersiap. Pukul 05.30 mereka sudah memasuki mobil untuk ke rumah Papa terlebih dahulu. "Bang, nanti ingat sarapan. Aku taruh di ransel bagian tengah," titah Istrinya sambil menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman. Hilda duduk bersama kakak-kakaknya di belakang.Tidak sulit membangunkan mereka, karena sudah terbiasa bangun gasik. Mereka akan sarapan di rumah mama kecuali Akram."Nanti pulangnya jangan kelupaan ke rumah, Abang bakalan kaget tidak ada orang di rumah," ucap Fitri terkekeh di tengah keheningan. Anak-anak masih malas untuk bicara kelihatannya. Tidak ada satupun yang berbicara."Nggak dong, Sayang. Jantung hati Abang di rumah mama, tentu abang pulangnya ke sana," jawab Akram. Mobil melaju dengan lancar masih terlalu pagi untuk orang meraktivitas. Fitri menoleh ke belakang ternyata Hilda tertidur kembali, Syifa memberi kode sama bundanya untuk diam. "Rupanya kalian diam karena Hilda tertidur lagi," bisik Fitri. Syifa dan Daffa mengangguk
Fitri tampak geram melihat respon kakaknya. Ia sudah bersiap melontarkan kata-kata untuk Kak Farid. Mama bisa membaca pikiran Fitri lantas mencegah dengan tatapan memohon, mengingat masih ada anak-anak tidak baik berdebat, apalagi di hadapan makanan."Farid, ... ," panggil Mama sangat lembut."Mama ...," Farid mendongak dan menatap ke arah mamanya."Hari ini kamu ke kantor siang saja. Habis sarapan antar keponakanmu sekolah langsung kembali ke rumah," titah Mama.Farid ingin sekali membantah namun dia tidak akan menang jika lawannya adalah sang Mama. Fitri tersenyum puas jika sang Mama sudah bertindak. "Ma, bagaimana dengan meeting pagi ini?" sahut Farid lemah."Ada Aldo kan? Jangan banyak alasan jika ingin Mama tetap sehat," sergah Mama dengan wajah garangnya. Jika yang melihat Papa maka komentarnya garang tapi menggemaskan."Hem, ... ," hanya anggukan kecil yang dia lakukan. "Uncle, ...," panggil Syifa lembut."Iya, Sayang," jawab Farid segera."Jika Uncle tidak bisa mengantar kam
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve