Seteleh siluet suaminya menghilang, Fitri berpindah ke kursi kemudi di pencetnya nomor ponsel laki-laki yang sangat menginginkan Indah saat dulu maupun masa kini. Setelah mendapat di capai kesepakatan wanita ini menutup sambungan teleponnya, dia tersenyum puas. Di pakainya seat belt menoleh ke belakang memastikan balitanya baik-baik saja dan menjalankan mobil perlahan keluar area parkir. Sengaja memperlambat laju kendaraan untuk menyaksikan pertunjukan kecil yang sudah ia susun tadi bersama lawan bicara.Dia tersenyum simpul melihat mobil yang terasa asing merwarna hitam itu memasuki gerbang perusahaan, dan berhenti tepat di depan Indah yang saat ini sedang duduk termenung sendirian.Indah menongak ke arah mobil, mendadak terlihat pias. Nampak kekesalan terambar begitu nyata. Pria di dalam menurunkan kaca mobil perlahan, lamat-lamat terdengar penolakan dari mulut mantan Akram. Seorang laki-laki bertubuh tegap di perkirakan usia tiga puluhan keluar dari mobil dan membuka kabin depan
"Hai ... kenapa?" tanya Fitri penasaran melihat perubahan sahabatnya, lawan bicaranya terlihat murung."Maaf, jika ini terkesan mendadak, Rin. Sungguh niatku tulus, aku hanya ingin menjadi perantara sahabat baikku dan kakakku merajut kebahagiaan di masa depan," ucap Fitri tulus.Arina tersentak, ternyata ekspresinya melukai perasaan sahabatnya. Dia tidak ada maksud, hanya kaget dengan situasi, meski mereka sering bergurau namun rasanya berbeda manakala menjadi serius."Bukan begitu, Fit. Aku hanya terharu, ini merupakan bagian dari impianku. Tapi, ketika sesuatu yang menjadi impian ada di hadapanku di situ aku ragu melangkah," jawab Arina gugup. Mendadak suasana menjadi canggung, Arina menatap Fitri dengan pandangan cemas serta gelisah."Apa yang membuatmu ragu, Sahabat?" tanya Fitri begitu tulus."Aku takut, hanya aku yang menginginkan pernikahan ini. Kak Farid belum pernah sekalipun menghubungiku," ucapnya malu dan pipi sudah merona."Haha ... Arin. Ayolah, bukankah kamu tau Papa Ma
"Enak saja. Makanya cepat kasih jawaban kapan siap di lamar, nanti bikin sendiri," ledek Fitri sembari berbalik dan mendudukan anaknya di kursi khusus."Bawaannya kalau sudah nikah beda bicaranya ya, Fit. Apalagi anak sudah tiga, sudah mastah pembuat anak," Arin terbahak. Fitri menutup kabin belakang dan berjalan ke arah kabin depan dan duduk di kursi kemudi. Sebelum menutup pintu di bicara lagi dengan Arin."Lekas pulang temui Ayah ibumu, sampaikan salamku sama Om!" ucapnya lalu menutup pintu sambil terbahak."Dasar bawel!" Umpatan keluar dari wanita cantik di basmant.Fitri melambai ke arah sahabatnya, ada perasaan lega dan bahagia. Kakaknya istimewa, sulit sekali untuk menerima perjodohan dari Papa Mamanya. Tidak menyangka, Farid menyambut niat baik Fitri saat itu.Bibirnya terus memamerkan senyum yang tidak berkesudahan. Di perjalanan Fitri terus ngobrol dengan anak gadisnya yang belum genap tiga tahun, seolah anaknya paham dengan obrolan ibu tiga anak itu.Ponsel terpampang di de
Dengan tatapan kebingungan Indah menuruti ajakan mantan kakak madunya. Fitri sudah memindahkah HIlda ke gendongan suami. Dan kini ia menggandeng Indah dengan hangat. Wanita tiga anak itu hanya ingin menyampaikan apa yang diharapkannya. Tak akan habis perkara jika terus dibumbui dendam, ia ingin menyampaikan kedamaian dalam hidupnya. Ia hanya ingin Indah wanita yang sesungguhnya sangat rapuh di balik sikapnya yang menyebalkan ini mendapatkan kebahagiaan. Sampailah mereka pada private room yang sangat nyaman. Tanpa di persilahkan semua sudah menempatkan diri pada kursi masing-masing dengan canggung. Saat semua larut dalam keheningan. Ponsel Fitri tiba-tiba berdering. Dengan sigap wanita itu mengangkatnya. "Halo?" sapa Fitri. Orang yang melelpon Fitri segera berbicara. Entah apa yang di bicarakan mereka, yang jelas raut wajah Fitri langsung berubah bersemangat. "Kami akan menunggumu, datanglah ketika urusanmu sudah selesai," ucapnya sembari tersenyum. Kedua orang yang berada di s
Jika boleh meminta, Indah saat ini ingin sekali berlari menjauh dari laki-laki yang saat ini ada di hadapannya. Fitri menggenggam erat tangan Indah, ia paham saat ini Indah butuh dukungan dan kekuatan. Tangan dingin Indah perlahan menghangat dalam genggaman Fitri. Indah menoleh dan Fitripun mengangguk. "Duduklah Aldo!" Farid angkat bicara melihat euforia menegangkan di ruangan. Laki-laki yang bernama Aldo mengangguk. "Wanita di samping adikku ini yang bernama Indah bukan?" Indah mengangguk dan tersenyum kikuk, ada perasaan malu. Tak menyangka keluarga Fitri menerima dia dengan lapang tanpa cacian."Pantas saja, Aldo terus merancau tentang namamu," ucap Farid lalu menepuk pundak Aldo yang berada di sampingnya. "Kali ini ijinkan aku bicara dulu, Al. Aku paling senior di sini," kelekar Farid sembari memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi."Silahkan, Pak," ucap Aldo tegas dan sopan."Sudah di bilang kalau di luar kantor kamu panggil Kak seperti yang lainnya. Kamu sudah aku angga
"Hilda, kita pulang yuk! Kakak sudah menunggu kita," kata Fitri dengan gemas, berdiri ngeulurkan kedua tangannya untuk menggendongnya. Dengan wajah lucu dia menolak dengan gelengan. "Gendong Ayah," celoteh Hilda menggemaskan. "Lihat tuh, Akram. Anakmu di kasih jampi-jampi apa bisa-bisanya lengket seperti itu?" tawa Farid menggelegar melihat kelakuan keponakan kecilnya. "Entahlah, Kak. Dia yang selama ini mengikatku dan menyadarkanku. Mereka membutuhkanku, aku merasa beruntung di butuhkan mereka. Kepergian kedua anakku kemarin sudah mengajarkan banyak hal terutama tentang kasih sayang dan kepercayaan," jawab Akram menerawang. "Issh ... sudah kakak hanya bercanda, kenapa jadi mengingat kenangat tak mengenakan. Songsonglah masa depan dan masa lalu dijadikan sebagai pembelajaran. Pulang yuk, sudah hampir maghrib. Indah tanggung jawabmu, Al," ucap Farid. Farid menyerahkan tubuh mungil Hida ke Akram, dan kini mulutnya mendekat tepat di telinga Aldo sambil berbisik, "Ingat, dia saat ini
Kelima orang dewasa meninggalkan kafe beriringan, Fitri masih terus bergandengan dengan Fitri. Baik Indah maupun Fitri enggan melepaskan. Betapa Allah dengan mudah membolak balikan hati manusia. Sebelumnya keduanya seakan bermusuhan, kini saling menenangkan.Tautan keduanya terlepas saat menuju mobil masing-masing. Indah masuk mobil bersama Aldo. Fitri masuk terlebih dahulu, Akram mendudukan Hilda di pangkuan istrinya di tutup kabin dengan pelan. Akram berjalan mengitari mobil kursi kemudi menjadi tempat tujuannya."Sayang, sabuk pengaman sudah terpasang?" tanya Akram dengan tatapan penuh cinta.Fitri tersenyum hangat menatap pria di sampingnya, "Abang yang pasangin, aku repot pegang Hilda," jawab Fitri terkekeh, merasa aneh dengan pertanyaannya sang suami. Setelah memastikan semua Akram mulai melajukan kendaraa meninggalkan kafe."Kita nanti berhenti sebentar beli oleh-oleh dulu buat anak-anak, Sayang," ungkap Akram. Hati Fitri menghangat mendapatkan perlakuan seperti ini kembali.
"Aku takut, Kak," rengek Fitri. "Jangan berlebihan, kakak juga di telpon. Sini ponselnya," Farid merebut dari tangan adiknya. "Kelamaan," gerutunya. "Assalamu'alaikum, Pa," sapa Farid. "Wa'alaikum sallam, syukurlah ternyata kalian sedang berkumpul. Farid, mama mengkhawatirkanmu. Tadi telpon ke kantor kamu sudah pulang, telepon ponselmu tidak di angkat," gerutu papa namun terlihat lega. "Iya, Papa. Farid baik-baik saja. Mama sehat kan?" tanya Farid. "Mama sehat, hanya saja hari ini terlihat uring-uringan semenjak pulang arisan. Teman-temannya di temani menantu perempuan katanya," ujar Papa sebari terkekeh. "Itu lagi pembahasannya, Farid bosan, Pa," keluh Farid, mendengar kelakuan mamanya yang seperti ini ujungnya menjodohkan dengan anak teman arisan. "Jangan begitu, Farid. Mamamu sangat ingin kamu bahagia," "Papa, Farid sudah sangat bahagia dengan begini, Mama saja yang berlebihan," sahut Farid sambil duduk dengat tatapan melirik, tertuju pada adiknya yang menguping di samping k