Bang Akram rautnya tidak mengenakan, apa dia mengira aku macam-macam?"Nanti Indri bicarakan di rumah ya, Bang," ucapku dengan santai. "Bagaimana, Kak Daffa? Kita langsung pulang, atau mamir beli mainan sementara adikmu sudah tertidur kelelahan?" tanya Bang Akram sama Daffa dan mengabaikan ucapanku. Ah ... ternyata kamu marah. "Kita langsung pulang tapi, bunda harus janji besok beneran belikan mainan buat Daffa," ucapannya masih menganduk rajukan."Anak pintar, bunda sayang sama kamu. Iya, insyaAllah bunda akan beli besok," ucapku gemas sambil mengacak rambutnya."Bunda, berantakan. Nanti jadi tidak tampan lagi," ucapnya.Ban Akram tertawa melihat duplikat kecilnya."Gengsi gede dan narsis, mirip siapa ya, Bang?" tanyaku sambil tertawa."Kamu! Kalau aku tidak begitu," jawabnya sambil terkekeh.Setelah mencapai kesepakatan Hilda di gendong Ayahnya, sementara aku membawa perlengkapan di tas ransel. Baginilah bepergian anak masih kecil-kecil, perlengkapannya banyak."Sayang, kunci di s
Bang Akram yang bisa membaca keraguanku langsung tersenyum. Bang Akram mengelus rambutku dengan lembut."Kenapa? Untuk urusan seperti itu tentu saja Abang mengijinkan, apalagi menyangkut masa depan kakakmu," ucap Bang Akram."Bang, ... ," ucapanku terkatung mendapat perlakuan lembutnya hatiku menghangat. Sikapnya kembali ke Akramku yang dulu. Seketika aku mengingat sesuatu yang menggelitik untuk di bicarakan, namun ia urungkan. Toh belum tentu terjadi, dan aku juga tidak yakin dia punya nyali mengingat pernikahannya hanya siri."Kenapa, Sayang. Masih ingat bukan, kalau Abang mau menghukummu," ucapnya sambil tersenyum mesum."issh ... Abang," aku memasang wajah cemberut. Bukannya kesal malah justru membuat Bang Akram terbahak.Sentuhan lembut dan penuh kehati-hatian darinya membuatku melayang ke langit ketujuh. ****"Sayang, ... bangun!Bisikan mengalun indah di telinga. Aku hanya menggeliat sebentar untuk kemudian tertidur kembali. Rasanya baru saja tertidur, Bang Akram benar-benar
"Kenapa semuanya tegang begitu, Bunda mau bicara hal tidak begitu penting. Meskipun tidak penting tapi, kalian perlu mengetahuinya," aku menjeda kalimatku beberapa saat. "Bunda tidak ingin kita salah paham dengan Ayah lagi seperti kemarin, jika Bunda yang berbicara tentu kalian lebih percaya bukan?" aku mengamati kedua anakku tampak mulai memahami arah bicaraku. Sementara Bang Akram semakin penasaran, dia tampak begitu fokus menatapku. Aku sengaja menggigit pelan lidahku sendiri agat tawaku tidak keluar, senyum manis terpampang di wajahku. "Jika suatu saat kalian melihat mama Lulu datang menemui Ayah maka jangan langsung menyimpulkan sendiri. Tanyakan kebenarannya kepada Bunda terlebih dahulu. Bagaimana apa kalian sudah paham?" tanyaku kepada mereka. Jangan tanya bagaimana kondisi Bang Akram saat ini, pias seakan tawanan yang sedang tertangkap. "Bang, nanti aku jelaskan mengapa aku bicara seperti ini kepada anak-anak," kali ini perlahan ekpresi pria itu kembali normal. "Maksud bu
Seteleh siluet suaminya menghilang, Fitri berpindah ke kursi kemudi di pencetnya nomor ponsel laki-laki yang sangat menginginkan Indah saat dulu maupun masa kini. Setelah mendapat di capai kesepakatan wanita ini menutup sambungan teleponnya, dia tersenyum puas. Di pakainya seat belt menoleh ke belakang memastikan balitanya baik-baik saja dan menjalankan mobil perlahan keluar area parkir. Sengaja memperlambat laju kendaraan untuk menyaksikan pertunjukan kecil yang sudah ia susun tadi bersama lawan bicara.Dia tersenyum simpul melihat mobil yang terasa asing merwarna hitam itu memasuki gerbang perusahaan, dan berhenti tepat di depan Indah yang saat ini sedang duduk termenung sendirian.Indah menongak ke arah mobil, mendadak terlihat pias. Nampak kekesalan terambar begitu nyata. Pria di dalam menurunkan kaca mobil perlahan, lamat-lamat terdengar penolakan dari mulut mantan Akram. Seorang laki-laki bertubuh tegap di perkirakan usia tiga puluhan keluar dari mobil dan membuka kabin depan
"Hai ... kenapa?" tanya Fitri penasaran melihat perubahan sahabatnya, lawan bicaranya terlihat murung."Maaf, jika ini terkesan mendadak, Rin. Sungguh niatku tulus, aku hanya ingin menjadi perantara sahabat baikku dan kakakku merajut kebahagiaan di masa depan," ucap Fitri tulus.Arina tersentak, ternyata ekspresinya melukai perasaan sahabatnya. Dia tidak ada maksud, hanya kaget dengan situasi, meski mereka sering bergurau namun rasanya berbeda manakala menjadi serius."Bukan begitu, Fit. Aku hanya terharu, ini merupakan bagian dari impianku. Tapi, ketika sesuatu yang menjadi impian ada di hadapanku di situ aku ragu melangkah," jawab Arina gugup. Mendadak suasana menjadi canggung, Arina menatap Fitri dengan pandangan cemas serta gelisah."Apa yang membuatmu ragu, Sahabat?" tanya Fitri begitu tulus."Aku takut, hanya aku yang menginginkan pernikahan ini. Kak Farid belum pernah sekalipun menghubungiku," ucapnya malu dan pipi sudah merona."Haha ... Arin. Ayolah, bukankah kamu tau Papa Ma
"Enak saja. Makanya cepat kasih jawaban kapan siap di lamar, nanti bikin sendiri," ledek Fitri sembari berbalik dan mendudukan anaknya di kursi khusus."Bawaannya kalau sudah nikah beda bicaranya ya, Fit. Apalagi anak sudah tiga, sudah mastah pembuat anak," Arin terbahak. Fitri menutup kabin belakang dan berjalan ke arah kabin depan dan duduk di kursi kemudi. Sebelum menutup pintu di bicara lagi dengan Arin."Lekas pulang temui Ayah ibumu, sampaikan salamku sama Om!" ucapnya lalu menutup pintu sambil terbahak."Dasar bawel!" Umpatan keluar dari wanita cantik di basmant.Fitri melambai ke arah sahabatnya, ada perasaan lega dan bahagia. Kakaknya istimewa, sulit sekali untuk menerima perjodohan dari Papa Mamanya. Tidak menyangka, Farid menyambut niat baik Fitri saat itu.Bibirnya terus memamerkan senyum yang tidak berkesudahan. Di perjalanan Fitri terus ngobrol dengan anak gadisnya yang belum genap tiga tahun, seolah anaknya paham dengan obrolan ibu tiga anak itu.Ponsel terpampang di de
Dengan tatapan kebingungan Indah menuruti ajakan mantan kakak madunya. Fitri sudah memindahkah HIlda ke gendongan suami. Dan kini ia menggandeng Indah dengan hangat. Wanita tiga anak itu hanya ingin menyampaikan apa yang diharapkannya. Tak akan habis perkara jika terus dibumbui dendam, ia ingin menyampaikan kedamaian dalam hidupnya. Ia hanya ingin Indah wanita yang sesungguhnya sangat rapuh di balik sikapnya yang menyebalkan ini mendapatkan kebahagiaan. Sampailah mereka pada private room yang sangat nyaman. Tanpa di persilahkan semua sudah menempatkan diri pada kursi masing-masing dengan canggung. Saat semua larut dalam keheningan. Ponsel Fitri tiba-tiba berdering. Dengan sigap wanita itu mengangkatnya. "Halo?" sapa Fitri. Orang yang melelpon Fitri segera berbicara. Entah apa yang di bicarakan mereka, yang jelas raut wajah Fitri langsung berubah bersemangat. "Kami akan menunggumu, datanglah ketika urusanmu sudah selesai," ucapnya sembari tersenyum. Kedua orang yang berada di s
Jika boleh meminta, Indah saat ini ingin sekali berlari menjauh dari laki-laki yang saat ini ada di hadapannya. Fitri menggenggam erat tangan Indah, ia paham saat ini Indah butuh dukungan dan kekuatan. Tangan dingin Indah perlahan menghangat dalam genggaman Fitri. Indah menoleh dan Fitripun mengangguk. "Duduklah Aldo!" Farid angkat bicara melihat euforia menegangkan di ruangan. Laki-laki yang bernama Aldo mengangguk. "Wanita di samping adikku ini yang bernama Indah bukan?" Indah mengangguk dan tersenyum kikuk, ada perasaan malu. Tak menyangka keluarga Fitri menerima dia dengan lapang tanpa cacian."Pantas saja, Aldo terus merancau tentang namamu," ucap Farid lalu menepuk pundak Aldo yang berada di sampingnya. "Kali ini ijinkan aku bicara dulu, Al. Aku paling senior di sini," kelekar Farid sembari memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi."Silahkan, Pak," ucap Aldo tegas dan sopan."Sudah di bilang kalau di luar kantor kamu panggil Kak seperti yang lainnya. Kamu sudah aku angga
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve