Enam tahun lalu
Suara kecupan dan lenguhan menjadi satu-satunya musik yang mengiringi dua insan memadu nafsu. Bibir saling melumat, gigi bertabrakan, tubuh menempel, dan tangan saling menjelajah, tidak ada yang mampu mengganggu aktivitas mereka sekalipun gang yang sempit atau pejalan yang lewat. Tidak, sampai ujung mata Brian menangkap bayangan seseorang yang tampak familiar.
"Aku tidak tahu kalau skill ciumanmu sehebat itu."
Aktivitas mereka berhenti sepenuhnya. Brian menatap panik sebelum kemudian mendorong dirinya menjauh dari perempuan yang tadi menempel padanya. Ia seakan disambar petir, terkejut. Dari semua orang yang berkemungkinan memergoki dirinya di tempat ini, kenapa harus Ariel?
"A-aku bisa jelaskan."
Ariel melipat kedua tangannya di depan dada, mengangkat dagu seakan menantang seseorang di depannya untuk bicara.
Sepertinya ia ingin mengatakan banyak hal, tapi begitu mulutnya terbuka, ia tiba-tiba lupa ingin mengatakan apa. Brian akhirnya tidak mampu mengeluarkan satu suara pun.
"Tidak bisa mengatakan apa-apa?" Ariel mendengus. Tentu saja, apa yang mampu dijelaskan dari seseorang yang tertangkap basah oleh pacarnya sendiri sedang bercumbu dengan perempuan lain?
"Dua minggu sejak pertengkaran kita, aku bertanya-tanya ke mana perginya pacarku, kenapa dia tidak bisa kuhubungi. Apa dia masih marah? Haruskah aku mencarinya dan meminta maaf? Ah, aku rasa lebih baik membawakannya beberapa makanan dan merencakan liburan, penebusan kencan yang tertunda."
Mendengar kata-kata itu, Brian tidak bisa terus memaku kakinya, ia berusaha mendekat ke arah Ariel. Tetapi langkahnya langsung tertolak oleh satu isyarat tangan.
"Aku belum selesai, Brian." Itu adalah tanda agar Brian tetap berada di tempatnya, mendengarkan sampai kata-katanya selesai. "Aku khawatir apakah pacarku makan dengan baik, apa dia bisa bangun pagi tanpa alarmku, atau apakah dia tidur dengan teratur. Aku memikirkan hal-hal bodoh kalau-kalau dia menjadi kacau karena pertengkaran tempo hari."
Brian masih mendengarkan meski kakinya tidak bisa diam, gatal untuk menghampiri orang di depannya dan mengatakan kalau perempuan lain tidak sebanding dengannya. Dirinya tidak tahan dengan cara Ariel menempatkannya menjadi tokoh ketiga, padahal dirinyalah yang dibicarakan. Tapi, orang di depannya bahkan tidak membiarkannya bergerak seinchi pun.
"Aku sangat bodoh karena berpikir kamu mungkin akan setidaknya terganggu atau memikirkanku. Tapi ternyata kamu bahkan tidak repot-repot terusik akan hal itu."
"Gak kaya gitu, Yang."
"Yang? Sayang? Kamu masih berani memanggilku sayang setelah berselingkuh terang-terangan di depanku?" Suara yang tadinya berusaha ditekan akhirnya lolos. "Brian, sebrengsek-brengseknya kamu, aku pikir setidaknya kamu masih peduli dengan hubungan kita. Kalau kamu menyukai perempuan lain, setidaknya kamu akan memberiku kata putus sebelumnya. Tapi bahkan kamu tidak mau repot mengabariku dan langsung berhubungan dengan orang lain. Bukan PDKT tapi bahkan langsung berciuman? Apa kalau aku tidak datang sekarang, aku akan melihatmu keluar dari kamar seorang perempuan di lain waktu?"
Ariel mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka, mencoba mengurangi panas akibat emosi yang meledak. Kenapa kisah percintaannya jadi sedrama ini?
"Say-" Brian tidak berani menuntaskan katanya begitu mendapat tatapan sengit dari Ariel. "Maksudku, Riel... Aku salah, oke, aku minta maaf. Sungguh, aku gak bermaksud kaya gitu ke kamu. Aku janji ini gak akan terjadi lagi. Sumpah!"
"Stop!" Ariel mengangkat tangannya. "Capek aku denger kamu sumpah-sumpahan terus. Gak ini lagi, gak itu lagi. Kali ini gak ada lain kali, Bri. Kita putus." Putus Ariel dan langsung berbalik, ingin pergi sejauh-jauhnya dari manusia bernama Brian.
"Riel, Ariel." Brian ingin mengejar.
"Gak usah manggil-manggil, berisik!"
"Riel..."
"Jangan sampai aku denger kamu manggil atau ikutin aku. Kamu tahu aku sabuk hitam karate. Aku gak main-main buat mukul orang."
Brian langsung diam, tidak berani membuka mulut walau sedikit. Akhirnya ia hanya membiarkan Ariel pergi begitu saja -Brian masih sayang nyawa-. Ia masih berharap pacarnya, ralat, mantan pacarnya itu mau berbalik sedikit saja dan ia pasti tanpa ragu akan berlari untuk memeluknya, meminta maaf sampai pihak lain bosan mendengarnya. Tapi bahkan sampai sosoknya menghilang di kejauhan, Ariel sama sekali tidak repot-repot untuk menoleh atau memelankan langkah. Sial! Apa mereka benar-benar putus kali ini?
"Bri..." Suara lirih datang dari samping Brian. Oh, ia hampir melupakan perempuan yang sedari tadi masih setia berada di sebelahnya, menyaksikan semuanya. Ia hanya meliriknya sebentar tanpa minat. Ah, kenapa juga ia harus hilang kendali dan lebih parahnya kepergok langsung oleh Ariel. Kenapa ia sangat sial?!
.
.
.
Malam itu Ariel menghabiskan malam di kontrakan Tita, sahabatnya. Meluapkan seluruh patah hatinya dengan menangis, mengumpati Brian, dan menghabiskan sekotak martabak telur yang rencana awalnya dipesan Tita untuk camilan nonton drama.
Memperhatikan wajah yang berderai air mata, hidung meler, bibir berminyak, dan tangan yang sibuk antara mengusap pipi dan memasukkan martabak ke dalam mulut, Tita hanya bisa membiarkan jatah makannya lenyap di hadapannya. Sambil mengelus punggung sempit orang di sebelahnya, ia memberi kata-kata penghiburan.
"Udah, Riel, nangisnya. Orang kaya Brian emang gak pantas buat kamu. Udah paling benar kamu putusin dia."
Sesegukan, Ariel menuntaskan suapan terakhirnya dan menyeka hidung, memasukkan kembali ingus yang hampir meler. "Emang seharusnya! Cuma aku gak nyangka aja kalau Brian setega itu. Dua tahun loh, Ta...."
Suaranya terjeda tangis yang tumpah lagi. "Dua tahun aku jadian, aku kira dia bakal berubah, belajar dari kesalahannya yang dulu-dulu. Aku kira sikap flamboyannya dia cuma karena dia orang yang easy going. Setelah jadian, aku kira dia bakal lebih pengertian buat jaga perasaanku. Aku selama ini udah coba ngertiin dia, Ta... Tapi balasannya?"
Dan setelah kalimat panjang itu, segukan datang lagi. Sekarang giliran sebotol cola yang lenyap diteguk Ariel. -Pakai acara sendawa pula.
"Dia selingkuh! Di depan mataku lagi. Emang buaya si Brian!"
"Sssh... iya-iya, udah jangan nangis lagi dong." Tita masih bersabar untuk menenangkan.
"Makanan sama cola kamu habis, Ta?" Ariel menginterupsi aktivitas curhatnya sendiri.
"Haih, kamu nih!" Tita mendaratkan pukulan ringan di punggung Ariel. "Tahu makan sama minum aja. Martabak punyaku itu!"
"Ya sorry, habisnya kesel aku." Ariel berkilah sambil menggali kembali simpati dari sahabatnya. "Harusnya aku gampar dulu mukanya. Ah! Awas aja kalau dia berani muncul di depanku, aku gak akan segan-segan ngehajar dia!"
Untuk kesekian kali, Tita hanya bisa memberikan persetujuan atas semua keluh kesah Ariel. Well, setidaknya anak itu sudah bisa mengomel bahkan memikirkan makan artinya perasaannya sudah lebih baik.
"Terus rencana kamu selanjutnya gimana, Riel?"
Ariel membuang napas, mengembalikan ketenangan emosinya. Ia tahu konteks pertanyaan Tita. Sebenarnya ia berencana mengajak Brian untuk bertemu keluarganya, hitung-hitung memperkenalkan mereka satu sama lain karena ia pikir hubungannya dengan laki-laki itu akan serius dan bisa maju ke tahap berikutnya. Bagaimana pun, ia bukan lagi remaja labil yang menjalani hubungan cinta sesaat. Ia sudah berada di semester akhir kuliahnya, sudah berada di usia yang cukup untuk memikirkan hubungan yang serius.
Awalnya begitu, tapi semuanya hancur dalam sekejap mata di perjalanan saat mencari pacarnya -yang sekarang menjadi mantan pacarnya.
"Ya mau gimana lagi, gak jadilah. Lagi pula aku juga belum ngomong apa-apa sama papa mamaku. Biarin ajalah."
"Tapi rencana kamu buat tinggal di sini jadi kan?" Tita membicarakan tentang rencana Ariel setelah lulus, mencari kerja dan menetap di kota.
"Well, itu aku pikirin lagi nanti. Buat sekarang, aku mau fokus ngelarin skripsi dulu."
"Oke. Apa pun keputusan kamu, aku dukung."
Setelah hari itu, Ariel selalu menghindar dari Brian. Menjauhkan semua hal yang berkaitan dengan laki-laki itu. Sesuai rencanya, ia hanya akan fokus mengerjakan skripsi. Menjadwalkan bimbingan dengan dosen pembimbing sampai dirasa tidak ada masalah yang perlu dikonsultasikan, Ariel memutuskan untuk membawa pekerjaan skripsinya pulang ke rumah keluarganya yang berada di provinsi lain.
Brian terus menghubunginya, tapi ia hiraukan. Sampai malam ketika ia kembali dari acara pulang kampungnya, laki-laki itu masih mengirimi pesan dan panggilan. Hanya Ariel tidak pernah menyangka, notifikasi dari kontak bernama Brian itu tidak akan pernah ada lagi setelahnya. Sebab ketika ia membuka pintu apartemennya di pagi hari, sosok Brian ada di dalam tanpa diduga. Yang lebih mengejutkan, laki-laki itu sudah tidak bernyawa.
Bersambung
Sudah makan?Apa kamu masih di kampus?Hei, kamu di mana? Aku beliin menu ayam baru dari warung langganan kita.Riel?Ariel?Bisa kita bicara?Aku telpon kamu ya?Riel?Kok gak diangkat?Ketemuan yuk?Kamu gak di apartemen?Kamu ke mana?Maafin aku, aku salah.Jawab, plis.Ariel meletakkan ponselnya di meja, mengabaikan semua pesan masuk dari Brian. Ia tidak ingin terganggu oleh masalah yang menurutnya sudah final terselesaikan.Ia beranjak dari kamar ke dapur untuk mengambil minum, tapi perhatiannya teralihkan oleh suara yang datang dari celah pintu kamar orang tuanya. Ya, sekarang ia berada di rumah orang tuanya, di kampung.Samar-samar Ariel mendengar percakapan papa dan mamanya yang intinya kondisi keuangan mereka sedang tidak baik. Dan bagaiman
Langit berkelambu awan dan bekas hujan semalam masih segar. Pagi ini, satu kehidupan berpulang ke pangkuan Tuhan.Ariel duduk menangkup wajah. Ia masih ingat ketika ujung jarinya tidak lagi merasakan hembusan napas Brian, ketika matanya tidak menangkap pergerakan naik turun di dada orang itu, Ariel tahu bahwa orang itu sudah tiada. Segalanya menjadi samar sejak ia memaksa pikirannya yang macet untuk bekerja, menelpon nomor darurat dengan tangan gemetar hebat hingga polisi datang dan dirinya di bawa ke kantor.Pintu ruangan itu dibuka dan dua orang laki-laki berjaket hitam masuk."Ariel Valeria Barsha?" Mendengar namanya disebut, Ariel mengangkat kepalanya dan dua orang itu duduk di seberang meja."Tentang kejadian pagi ini, kami akan mengambil keterangan darimu. Mohon kerja samanya." Salah satu yang lebih muda bicara."Kapan kau pertama kali menemukan mayat korban?"Mayat? Korban? Brian benar-benar sudah mati? Tapi bagaimana bisa? Dia dibunu
"Aku tidak membunuhnya, aku tidak melakukan apa-apa.""Lalu ke mana kau dari jam dua sampai jam lima? Apa yang kau lakukan?"Ariel mendesah frustasi. Sudah beberapa waktu dan dua orang di depannya terus menanyakan pertanyaan yang sama. Mereka terus mengulanginya seakan jawaban yang ia berikan sebelumnya salah. Apa yang sebenarnya mereka ingin ia katakan?"Sudah kubilang, aku terjatuh di tangga dan berbaring di sana."Orang itu berdecak. "Kau pikir kami akan percaya? Tidak ada bukti yang dapat mengonfimasi kebenaran kata-katamu. Katakan saja yang sejujurnya. Kau tahu, terus berbohong seperti ini tidak akan menguntungkanmu."Ariel menekan seluruh emosinya ke dalam, berusaha keras untuk tidak melayangkan tendangan kepada dua orang di depannya. "Sudah kukatakan, aku jatuh di tangga. Aku tidak peduli apakah kalian percaya atau tidak, tapi itulah kebenarannya. Dan tentang bukti. Kalian bilang aku tidak bisa membuktikan perkataanku. Lalu, apa kalian punya
Suatu hari, ada permintaan kunjungan untuknya. Setelah menelan banyak prasangka, dari lubuk hatinya ia berharap orang tuanyalah yang datang.Namun ia salah.Dalam ruangan ini, ia hanya melihat satu sosok. Wanita dengan setelan formal yang rapi dan itu jelas bukan mamanya. Cahaya yang sempat berkilau di matanya kembali redup, ekspresinya berubah semakin dingin.Wanita ini, ia tahu. Seorang pengacara terkenal, Kamila Erdogan, ibunya Brian.Tatapan mereka segera bertemu. Dari Ariel masuk ke ruangan sampai duduk di depannya, ia tidak melepaskan pandangannya. Pandangan dari dua manik tajam itu menguarkan tatapan mencemooh, benci, geram. Tapi jelas, dengan postur tubuh dan ekspresi wajah itu, ia masih menjaga ketenangan dan martabatnya dari menyerang orang di hadapannya."Kau tidak tampak terkejut? Kau pasti tahu siapa aku."Ariel menjawab dengan kebisuannya. Ya, ia tahu. Ia pernah melihat foto wanita ini di ponsel Brian. Brian pernah membicarakan
Selama menghabiskan beberapa hari dalam sel isolasi, Ariel akhirnya mendapatkan ketenangannya kembali. Ia memang membutuhkan ruang untuk sendiri dan mengekspresikan perasaannya. Setelah keluar, ia diberitahu kalau ada dua kali permintaan kunjungan untuknya. Tetapi karena ia kemarin berbuat ulah, kunjungan bulan ini dibatasi menjadi seminggu sekali.Ariel tidak banyak berharap kali ini. Kalau saja yang datang wanita itu lagi, ia akan langsung keluar ruangan tanpa sepatah kata pun.Tapi kali ini ia dibawa ke tempat yang berbeda. Ini bukan ruangan luas dengan meja dan kursi, ini ruangan dengan pembatas kaca. Dan di luar kaca transparan itu, ia bisa melihat sosok yang paling ia rindukan tengah menyambutnya dengan senyuman hangat."Mama?" Ariel langsung menghambur, menempelkan telapak tangannya di kaca. Ia sangat ingin memeluk sosok itu, merasakan harum aroma tubuhnya, merasakan usapan kasih sayangnya, tapi kaca ini sungguh batas yang menyiksa.Mamanya melakuk
Huh, Ariel menghembus napas jengah. Iklim sosial semacam ini pasti ada di mana saja. Di sekolah, di tempat tinggalnya, di tempat kuliah, di lingkungan mana pun itu ia selalu menemui jenis ekosistem seperti ini. Orang-orang membentuk kelompok, membangun kawanannya sendiri-sendiri dan bersaing untuk posisi tertentu dalam arena.Satu kelompok memastikan ia menguasai kantin, mereka bebas menyerobot antrian yang lain, menjahili orang-orang di luar kelompoknya, menciptakan hierarki transparan bahwa mereka berada di atas yang lainnya.Kelompok lainnya memiliki pemimpin yang tampak berkuasa dan berwibawa dengan seorang wanita bertubuh kekar dan tampak garang berada di sisinya. Mereka disegani dan selalu berjalan bersamaan, memastikan semua orang tunduk pada mereka.Kelompok lainnya lebih tenang, mengamati. Ia tidak menakuti siapa pun, tapi ada semacam peraturan tak tertulis yang membuat semua orang di sini akan segan. Mereka seperti sesepuh yang keramat untuk diusik.
Satu kelompok dan beberapa orang acak mengganggunya, Ariel kira itu hanya bagian dari sistem sosial di sini, yang kuat menindas yang lemah. Tapi nampaknya itu bukan yang terjadi padanya belakangan ini. Sekali dua kali, tidak masalah. Mungkin sebuah kebetulan ketika mereka bosan dan ia sedang berada dalam jangkauan mata mereka, mereka mengganggunya. Tapi bahkan saat mereka tidak melihatnya, mereka masih mengeluarkan tenaga untuk mencarinya. Tidakkah artinya mereka sengaja menargetkannya?Ariel mulai menerka sesuatu. "Tentu saja mereka tidak berinisiatif sendiri. Ada orang yang menyuruh mereka."Jadi hari ini ketika ia diganggu, Ariel tidak akan tinggal diam.Dan benar. Siang ini, pemimpin dari kelompok penguasa kantin datang ke mejanya hanya untuk menumpahkan teh ke piring makannya. Orang itu dengan santai berkata tidak sengaja lalu pergi dengan gembira bersama para pengikutnya.Apanya yang tidak disengaja, orang itu jelas-jelas menuangkan isi gelasnya! Hu
Menyaksikan dua kontras situasi ini, satu orang yang masih mengambang di muka pintu lekas kembali ke tempat tiga temannya berada. Dengan linglung ia berkata. "Lihat, bukan masalah besar.""Ya, itu bukan masalah besar.""Masalah apa? Kita tidak melihat apa-apa. Tidak ada yang terjadi.""Tentu saja, haha. Bukankah kita masih punya pekerjaan di dapur? Kita belum mencuci peralatan makan."Dan begitu, empat orang dengan pemikiran liarnya memutuskan untuk menunda urusannya di kamar mandi dan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.Empat orang pergi dengan tenang. Delapan orang mengeluh karena kehilangan lauk makan siang dan satu orang berbahagia karena keterjaminan makanan yang akan ia dapatkan besok.Ariel tidak tahu akan taruhan yang orang-orang lakukan, juga tidak tahu tentang pemikiran empat orang yang melayang semakin liar. Ia hanya tahu ketika kembali ke sel, empat orang lainnya di dalam sama sekali tidak mau menatapnya bahkan menghindar