Selama menghabiskan beberapa hari dalam sel isolasi, Ariel akhirnya mendapatkan ketenangannya kembali. Ia memang membutuhkan ruang untuk sendiri dan mengekspresikan perasaannya. Setelah keluar, ia diberitahu kalau ada dua kali permintaan kunjungan untuknya. Tetapi karena ia kemarin berbuat ulah, kunjungan bulan ini dibatasi menjadi seminggu sekali.
Ariel tidak banyak berharap kali ini. Kalau saja yang datang wanita itu lagi, ia akan langsung keluar ruangan tanpa sepatah kata pun.
Tapi kali ini ia dibawa ke tempat yang berbeda. Ini bukan ruangan luas dengan meja dan kursi, ini ruangan dengan pembatas kaca. Dan di luar kaca transparan itu, ia bisa melihat sosok yang paling ia rindukan tengah menyambutnya dengan senyuman hangat.
"Mama?" Ariel langsung menghambur, menempelkan telapak tangannya di kaca. Ia sangat ingin memeluk sosok itu, merasakan harum aroma tubuhnya, merasakan usapan kasih sayangnya, tapi kaca ini sungguh batas yang menyiksa.
Mamanya melakukan hal yang sama. Telapak tangannya terulur seakan ingin meraih Ariel, merengkuh putri kecilnya dalam dekapan hangatnya. Tidak peduli seberapa besar seorang anak tumbuh, di mata ibu, seorang anak tetaplah anak, makhluk kecil yang pernah lahir dari tubuhnya. Makhluk kecil yang ia hanya yakin keamanannya dengan berada dalam perlindungannya. Sebesar itu perasaan seorang ibu, perasaan melindungi dan mencintai.
Mama Ariel bernama Maryam. Wanita berusia empat puluhan tahun itu segera mengendalikan perasaannya, menekan butir-butir air mata yang sebenarnya siap tumpah kapan saja.
"Bagaimana kabarmu? Apa kamu makan dengan baik? Apa tempat istirahatmu cukup nyaman? Tidak ada yang mengganggumu kan?"
Ariel tersenyum karena pertanyaan beruntun itu. Ia tahu mamanya sangat khawatir akan keadaanya. Dan itu membuatnya lega luar biasa. Mamanya masih ada di sisinya. Tiba-tiba ia merasa semua prasangka hilang dan pikirannya tenang. Melihat wajah mamanya, ia merasa aman.
"Ariel baik kok, ma. Jangan khawatir. Gak ada yang berani gangguin Ariel. Mama tahu kan Ariel sabuk hitam karate, Ariel bisa jaga diri." Entah kenapa, berada di hadapan mamanya kini, Ariel tidak sanggup menunjukkan kerapuhannya. Atau apakah karena ada mamanya, semua kerapuhannya menjadi transparan?
Maryam mengangguk. "Pasti, pasti. Anak mama memang hebat."
"Ma... maafin Ariel ya. Ariel pasti buat susah mama sama papa." Jauh di lubuk hatinya, penyesalan terdalam yang ia rasakan tentang seluruh kejadian ini hanya satu, bahwa ia menjadi sumber kesulitan untuk orangtuanya.
Jika biasanya Maryam akan menanggapi dengan setengah bercanda, sedikit memprovokasi Ariel dengan kalimat bernada keluhan untuk membuat anak itu kembali manja dan merajuk padanya. Namun kali ini, melihat bagaimana sinar di mata Ariel meredup dan rautnya yang lesu, ia tahu, anak itu berada dalam keadaan yang benar-benar sulit untuk ia tangani sendiri.
"Hush, ngomong apa kamu." Maryam segera menampik perkataan Ariel sebelum pemikiran anaknya semakin liar. "Kamu gak bikin sulit papa mama sama sekali. Papa mama, adik kamu juga, kita semua percaya sama kamu."
Ariel menatap mamanya, melihat kesungguhan dan ketulusan yang terpancar dari dua manik yang bersinar di hadapannya. Dan seketika, tangis yang ia tahan sejak tadi pecah tanpa aba-aba.
Melihat sisi lain anaknya yang tidak pernah ditunjukkan kepadanya sebelumnya membuat hati Maryam tersengat. Bulir-bulir air mata berjatuhan tanpa mampu dibendung. Perasaannya ikut merasakan bagaimana sakit hati, kesulitan, dan keputusasaan Ariel. Oh anak yang malang, mengapa dunia begitu tidak adil padamu?
Dua orang yang terpisah kaca tebal transparan itu hampir menghabiskan seluruh waktu kunjungan dengan menangis. Sadar akan durasi yang terbatas, Maryam segera mengatakan apa yang perlu ia sampaikan. "Jangan terlalu menghawatirkan kami, papa mamamu ini baik-baik saja. Kamu harus fokus jaga diri di sini. Tidak usah memikirkan hal-hal lain. Papa dan mama pasti cari cara yang terbaik untuk bebasin kamu."
Ariel berusaha menekan tangisnya, tapi tidak berhasil. Setiap kali ia menahannya, ia justru semakin ingin menangis. Jadi ia hanya mengangguk, menuruti nasihat mamanya.
"Mama sama papa mungkin akan jarang kemari. Kamu tahu kan, jarak rumah ke kota tidak dekat. Jadi jangan terlalu dipikirkan, oke? Lain kali mama akan bawakan kamu selimut hangat dan makanan yang enak. Mama akan sering kirim surat. Tapi kamu gak harus balas secepatnya, luangkan waktu secukupnya, mama sama papa selalu bisa menunggu kabar dari kamu."
Ariel sekali lagi mengangguk, membiarkan mamanya mengungkapkan semua yang ingin dikatakan.
"Membela diri itu penting, tapi jangan sering berkelahi. Bertemanlah baik dengan orang-orang di sekitar, mereka pasti akan menjagamu. Ya?"
Ariel mengangguk sambil tersenyum. Ini adalah kata-kata yang sama yang mamanya ucapkan saat mengirimnya masuk kampus pertama kali.
Tepat saat Maryam mengucapkan selamat tinggal, seorang penjaga masuk dan memberi tahu bahwa waktu kunjungan telah habis kemudian membawa Ariel keluar dari ruangan.
Maryam masih duduk di tempatnya, melambaikan tangan, menyuruh anaknya untuk menurut dan menjadi baik. Ia terus melakukannya tiap kali Ariel menengok menunjukkan ketidakrelaan untuk berpisah. Sampai punggung Ariel benar-benar tidak terlihat di pandangannya, barulah Maryam beranjak dari sana.
Di luar lapas, ada seseorang yang rela bermandikan terik siang untuk menunggu istrinya selesai melakukan kunjungan. Itu adalah Bima, papanya Ariel.
"Bagaimana keadaannya?" Ia bertanya begitu Maryam tiba.
"Anak kita orang yang kuat. Dia akan baik-baik saja. Harus."
"Sudah seharusnya. Lalu apa saja yang kamu bilang padanya?"
Maryam menatap suaminya. Di balik sikap acuh tak acuh ini, sebenarnya ada hati yang lembut. Jika ada orang yang lebih mengkhawatirkan dan peduli kepada Ariel melebihinya, itu pasti papanya Ariel, suaminya.
Maryam memberikan senyuman menenangkan sebelum menjawab. "Jangan khawatir, aku sudah menasihatinya untuk tidak mencemaskan hal-hal lain dan hanya fokus menjaga dirinya."
Meraih lengan suaminya, Maryam memberikan tepukan lembut meyakinkan. Bima membalasnya dengan hal yang sama.
"Bagus. Dengan begitu, dia akan baik-baik saja. Setelah kita mengurus semua kepindahan kita ke kota, kita pasti akan mencari cara untuk membebaskan putri kita. Aku akan mencari bagaimana pun caranya. Pasti." Begitu, tepukannya mendarat di punggung tangan Maryam yang merangkul lengannya.
Cara ini yang mereka gunakan untuk meneguhkan tekad dan saling menguatkan. Apapun demi keluarga mereka, demi anak mereka.
Dan Ariel yang kembali ke selnya tidak tahu tentang itu.
Setelah menghabiskan beberapa waktu berbicara dengan mamanya, perasaan Ariel jauh membaik dan lebih ringan dari sebelumnya walau awalnya ia punya perasaan tidak rela ketika harus berpisah dari mamanya. Tapi mengetahui mamanya masih peduli dan bahkan keluarganya mempercayainya, itu membuat seakan-akan ia tidak takut lagi melihat ke depan. Karena moodnya cukup bagus, ia bisa duduk dan menyiapkan alas tidur dengan baik.
Namun di mata empat orang lainnya dalam sel itu, perubahan aura yang dipancarkan Ariel justru membuat mereka merinding. Mereka mengira, hawa senang yang dimiliki orang baru ini didapat setelah membuat beberapa tahanan kemarin dikirim ke rumah sakit. Mereka juga mendengar gosip kalau orang baru bernama Ariel ini dipenjara karena kasus pembunuhan. Dan itu membuat mereka secara otomatis tidak ingin mencari masalah dengannya. Sebisa mungkin mereka akan menghindari perselisihan, mencoba tidak terlihat walau dari ujung matanya. Sebab mereka punya satu pemikiran yang sama, orang baru di sel mereka ini berbahaya. Mereka telah memutuskan melabeli Ariel dengan kata kunci itu.
Sementara itu, Ariel yang tidak tahu isi pikiran mereka menjalani hari dengan lebih hidup dari sebelumnya. Menuruti kata-kata mamanya, ia makan dengan baik, istirahat dengan baik pula. Ia benar-benar fokus menjaga dirinya. Bahkan untuk kegiatan di luar ruangan, ia juga berolahraga untuk menjaga kekuatan ototnya. Ia tahu, cepat atau lambat, ia pasti akan menggunakannya.
Karena orang-orang yang dikirim ke rumah sakit belum kembali, untuk sementara ini ia seharusnya bisa tenang kan?
Atau tidak.
Bersambung
Huh, Ariel menghembus napas jengah. Iklim sosial semacam ini pasti ada di mana saja. Di sekolah, di tempat tinggalnya, di tempat kuliah, di lingkungan mana pun itu ia selalu menemui jenis ekosistem seperti ini. Orang-orang membentuk kelompok, membangun kawanannya sendiri-sendiri dan bersaing untuk posisi tertentu dalam arena.Satu kelompok memastikan ia menguasai kantin, mereka bebas menyerobot antrian yang lain, menjahili orang-orang di luar kelompoknya, menciptakan hierarki transparan bahwa mereka berada di atas yang lainnya.Kelompok lainnya memiliki pemimpin yang tampak berkuasa dan berwibawa dengan seorang wanita bertubuh kekar dan tampak garang berada di sisinya. Mereka disegani dan selalu berjalan bersamaan, memastikan semua orang tunduk pada mereka.Kelompok lainnya lebih tenang, mengamati. Ia tidak menakuti siapa pun, tapi ada semacam peraturan tak tertulis yang membuat semua orang di sini akan segan. Mereka seperti sesepuh yang keramat untuk diusik.
Satu kelompok dan beberapa orang acak mengganggunya, Ariel kira itu hanya bagian dari sistem sosial di sini, yang kuat menindas yang lemah. Tapi nampaknya itu bukan yang terjadi padanya belakangan ini. Sekali dua kali, tidak masalah. Mungkin sebuah kebetulan ketika mereka bosan dan ia sedang berada dalam jangkauan mata mereka, mereka mengganggunya. Tapi bahkan saat mereka tidak melihatnya, mereka masih mengeluarkan tenaga untuk mencarinya. Tidakkah artinya mereka sengaja menargetkannya?Ariel mulai menerka sesuatu. "Tentu saja mereka tidak berinisiatif sendiri. Ada orang yang menyuruh mereka."Jadi hari ini ketika ia diganggu, Ariel tidak akan tinggal diam.Dan benar. Siang ini, pemimpin dari kelompok penguasa kantin datang ke mejanya hanya untuk menumpahkan teh ke piring makannya. Orang itu dengan santai berkata tidak sengaja lalu pergi dengan gembira bersama para pengikutnya.Apanya yang tidak disengaja, orang itu jelas-jelas menuangkan isi gelasnya! Hu
Menyaksikan dua kontras situasi ini, satu orang yang masih mengambang di muka pintu lekas kembali ke tempat tiga temannya berada. Dengan linglung ia berkata. "Lihat, bukan masalah besar.""Ya, itu bukan masalah besar.""Masalah apa? Kita tidak melihat apa-apa. Tidak ada yang terjadi.""Tentu saja, haha. Bukankah kita masih punya pekerjaan di dapur? Kita belum mencuci peralatan makan."Dan begitu, empat orang dengan pemikiran liarnya memutuskan untuk menunda urusannya di kamar mandi dan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.Empat orang pergi dengan tenang. Delapan orang mengeluh karena kehilangan lauk makan siang dan satu orang berbahagia karena keterjaminan makanan yang akan ia dapatkan besok.Ariel tidak tahu akan taruhan yang orang-orang lakukan, juga tidak tahu tentang pemikiran empat orang yang melayang semakin liar. Ia hanya tahu ketika kembali ke sel, empat orang lainnya di dalam sama sekali tidak mau menatapnya bahkan menghindar
Handoko baru saja keluar dari pintu lapas, berjalan menyusuri halaman gersang sebelum sampai ke mobilnya. Ia merebahkan kepalanya di sandaran kursi, mengingat pertanyaan Ariel yang terngiang di pikirannya, kenapa melakukan semua ini?Ini kali kedua ia datang menjenguk anak itu dan mendapat pertanyaan yang sama, tapi tetap saja, ia tidak terbiasa.Memejamkan mata, mencari ke kedalaman pikirannya. Untuk apa semua hal yang ia lakukan? Murni kemanusiaan? Rasa tanggung jawab? Prinsip? Bukan semua itu!Membuka kembali kelopak matanya, Handoko tidak menemukan jawaban. Ia tidak tahu alasan mengapa ia segigih ini untuk orang asing yang baru beberapa kali ia temui. Ia tidak tahu, mungkin lebih tepatnya tidak punya. Ia tidak memiliki alasan apa pun.Handoko meraih sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya, dan membiarkan asap mengepul keluar dari jendela mobil yang terbuka. Ia kemudian membuka laci mobil dan mengeluarkan selembar foto dari sana. Foto dirinya yang t
Suatu hari, Handoko mendapat kabar bahwa adiknya ditahan di kantor polisi karena kasus penyerangan. Adiknya dituduh melakukan penyerangan menusuk mata kiri teman kerjanya sampai cacat. Dan adiknya bersikeras menjelaskan bahwa kejadiannya tidak seperti apa yang dikatakan oleh temannya itu.Indriana mengatakan bahwa ia tidak dengan sengaja melakukannya. Teman-temannya, termasuk orang yang mengaku sebagai korban, telah menindasnya di tempat kerja. Ia hanya melakukan pembelaan diri. Dan bahwa orang itu tertusuk akibat ulah orang itu sendiri, bukan karenanya. Tetapi teman-teman yang lain memberikan kesaksian yang berbeda. Tidak ada yang percaya kata-katanya.Handoko dan ibunya percaya, adiknya tidak akan pernah melakukan hal buruk itu. Namun, kepercayaan itu sama sekali tidak berguna di mata hukum.Karena korbannya adalah anak dari seorang pejabat politik, adiknya dengan seksama diproses tanpa penyelidikan. Handoko dan ibunya yang hanya orang biasa tak berdaya. Merek
Langit hari ini cerah. Sepanjang mata memandang hanya ada biru. Ariel menyipitkan matanya merasakan silau matahari menyapa begitu ia menginjakkan kaki di halaman. Ia menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara yang hangat memenuhi paru-parunya kemudian menghembuskannya dengan ringan. Ah, ini aroma kebebasan.Di depan gerbang yang terbuka itu, seseorang berdiri di samping mobil, menikmati setiap sesapan tembakau dari bibirnya."Ck, polusi udara." Ariel heran, apa enaknya menghirup asap? Sudut bibirnya melengkung tipis, ia memang gagal memahami orang itu sejak awal. Mengapa masih heran lagi?Menyampirkan tasnya di pundak, Ariel mengambil langkah menghampiri orang itu.Handoko selesai dengan rokoknya, membuang batangnya ke bawah lalu menginjaknya. "Selamat atas kebebasanmu.""Um." Ariel menanggapi seadanya. "Terima kasih.""Aneh. Kau tidak senang keluar dari penjara?"Tidak hanya bisa keluar dari penjara, ia bahkan dibebaskan dari tunt
Dari dalam kamar terdengar suara keras. "Kau anak sialan tidak tahu diuntung! Tidak tahu berterima kasih! Berani membandingkanku dengan ibumu? Ibumu sudah mati, apa kau juga ingin mengikutinya ke alam baka? Berani-beraninya melawanku! Aku ayahmu!""Kau bukan ayahku! Aku tidak punya ayah!""Bilang apa kau, ha? Dasar anak kurang ajar!" Suara barang pecah terdengar. "Aku yang merawatmu sejak kecil, menghidupimu. Ibumu itu tidak berguna. Kau pikir siapa yang memberimu uang selama ini. Aku!""Persetan! Aku akan keluar dari rumah ini. Aku hanya tinggal karena ibuku. Sekarang ibuku sudah tidak ada, aku akan segera angkat kaki dari sini.""Dasar anak berandalan! Masih berani melawan? Mau ke mana kau?"Pintu kamar terbuka memperlihatkan satu remaja tanggung dengan kondisi berantakan dan beberapa goresan kecil di wajahnya tengah berusaha keluar, tapi ditahan oleh laki-laki setengah baya di belakangnya.Handoko segera bertindak, melepaskan cengkeraman
Lintang tidak memiliki keluarga lain selain ibu dan ayahnya. Keluarga inti dari ibunya sudah tidak ada, hanya tinggal kerabat jauh yang semuanya berada di luar pulau dan kondisinya tidak terlalu baik. Mereka semua menolak hak asuh atas Lintang. Sementara itu, keluarga dari pihak ayahnya tidak ada yang dapat diandalkan. Pamannya belum menikah dan terlilit hutang. Bibinya berkeluarga, tapi kemudian berpisah, dan sekarang hidup berpindah-pindah tempat dan pekerjaan. Neneknya sudah tinggal di panti jompo sejak tiga tahun lalu.Tidak ada harapan. Lintang sempat berpikir bahwa memang ia ditakdirkan untuk hidup sendiri dan menjadi dewasa lebih cepat daripada orang lain. Ia sudah menyiapkan diri dan mental kalau-kalau pada akhirnya ia akan putus sekolah, lekas mencari kerja untuk menyambung hidup, dan meraba masa depan yang tidak pasti.Lintang tiba-tiba merasa dirinya berada di ruang terkunci yang gelap, terjebak di sana sendirian dan kesepian. Ia tidak memiliki harapan.