Home / Romansa / Penulis Cantik Mantan Napi / Orang yang Selalu Berada di Sisimu

Share

Orang yang Selalu Berada di Sisimu

Selama menghabiskan beberapa hari dalam sel isolasi, Ariel akhirnya mendapatkan ketenangannya kembali. Ia memang membutuhkan ruang untuk sendiri dan mengekspresikan perasaannya. Setelah keluar, ia diberitahu kalau ada dua kali permintaan kunjungan untuknya. Tetapi karena ia kemarin berbuat ulah, kunjungan bulan ini dibatasi menjadi seminggu sekali.

Ariel tidak banyak berharap kali ini. Kalau saja yang datang wanita itu lagi, ia akan langsung keluar ruangan tanpa sepatah kata pun.

Tapi kali ini ia dibawa ke tempat yang berbeda. Ini bukan ruangan luas dengan meja dan kursi, ini ruangan dengan pembatas kaca. Dan di luar kaca transparan itu, ia bisa melihat sosok yang paling ia rindukan tengah menyambutnya dengan senyuman hangat.

"Mama?" Ariel langsung menghambur, menempelkan telapak tangannya di kaca. Ia sangat ingin memeluk sosok itu, merasakan harum aroma tubuhnya, merasakan usapan kasih sayangnya, tapi kaca ini sungguh batas yang menyiksa.

Mamanya melakukan hal yang sama. Telapak tangannya terulur seakan ingin meraih Ariel, merengkuh putri kecilnya dalam dekapan hangatnya. Tidak peduli seberapa besar seorang anak tumbuh, di mata ibu, seorang anak tetaplah anak, makhluk kecil yang pernah lahir dari tubuhnya. Makhluk kecil yang ia hanya yakin keamanannya dengan berada dalam perlindungannya. Sebesar itu perasaan seorang ibu, perasaan melindungi dan mencintai.

Mama Ariel bernama Maryam. Wanita berusia empat puluhan tahun itu segera mengendalikan perasaannya, menekan butir-butir air mata yang sebenarnya siap tumpah kapan saja.

"Bagaimana kabarmu? Apa kamu makan dengan baik? Apa tempat istirahatmu cukup nyaman? Tidak ada yang mengganggumu kan?"

Ariel tersenyum karena pertanyaan beruntun itu. Ia tahu mamanya sangat khawatir akan keadaanya. Dan itu membuatnya lega luar biasa. Mamanya masih ada di sisinya. Tiba-tiba ia merasa semua prasangka hilang dan pikirannya tenang. Melihat wajah mamanya, ia merasa aman.

"Ariel baik kok, ma. Jangan khawatir. Gak ada yang berani gangguin Ariel. Mama tahu kan Ariel sabuk hitam karate, Ariel bisa jaga diri." Entah kenapa, berada di hadapan mamanya kini, Ariel tidak sanggup menunjukkan kerapuhannya. Atau apakah karena ada mamanya, semua kerapuhannya menjadi transparan?

Maryam mengangguk. "Pasti, pasti. Anak mama memang hebat."

"Ma... maafin Ariel ya. Ariel pasti buat susah mama sama papa." Jauh di lubuk hatinya, penyesalan terdalam yang ia rasakan tentang seluruh kejadian ini hanya satu, bahwa ia menjadi sumber kesulitan untuk orangtuanya.

Jika biasanya Maryam akan menanggapi dengan setengah bercanda, sedikit memprovokasi Ariel dengan kalimat bernada keluhan untuk membuat anak itu kembali manja dan merajuk padanya. Namun kali ini, melihat bagaimana sinar di mata Ariel meredup dan rautnya yang lesu, ia tahu, anak itu berada dalam keadaan yang benar-benar sulit untuk ia tangani sendiri.

"Hush, ngomong apa kamu." Maryam segera menampik perkataan Ariel sebelum pemikiran anaknya semakin liar. "Kamu gak bikin sulit papa mama sama sekali. Papa mama, adik kamu juga, kita semua percaya sama kamu."

Ariel menatap mamanya, melihat kesungguhan dan ketulusan yang terpancar dari dua manik yang bersinar di hadapannya. Dan seketika, tangis yang ia tahan sejak tadi pecah tanpa aba-aba.

Melihat sisi lain anaknya yang tidak pernah ditunjukkan kepadanya sebelumnya membuat hati Maryam tersengat. Bulir-bulir air mata berjatuhan tanpa mampu dibendung. Perasaannya ikut merasakan bagaimana sakit hati, kesulitan, dan keputusasaan Ariel. Oh anak yang malang, mengapa dunia begitu tidak adil padamu?

Dua orang yang terpisah kaca tebal transparan itu hampir menghabiskan seluruh waktu kunjungan dengan menangis. Sadar akan durasi yang terbatas, Maryam segera mengatakan apa yang perlu ia sampaikan. "Jangan terlalu menghawatirkan kami, papa mamamu ini baik-baik saja. Kamu harus fokus jaga diri di sini. Tidak usah memikirkan hal-hal lain. Papa dan mama pasti cari cara yang terbaik untuk bebasin kamu."

Ariel berusaha menekan tangisnya, tapi tidak berhasil. Setiap kali ia menahannya, ia justru semakin ingin menangis. Jadi ia hanya mengangguk, menuruti nasihat mamanya.

"Mama sama papa mungkin akan jarang kemari. Kamu tahu kan, jarak rumah ke kota tidak dekat. Jadi jangan terlalu dipikirkan, oke? Lain kali mama akan bawakan kamu selimut hangat dan makanan yang enak. Mama akan sering kirim surat. Tapi kamu gak harus balas secepatnya, luangkan waktu secukupnya, mama sama papa selalu bisa menunggu kabar dari kamu."

Ariel sekali lagi mengangguk, membiarkan mamanya mengungkapkan semua yang ingin dikatakan.

"Membela diri itu penting, tapi jangan sering berkelahi. Bertemanlah baik dengan orang-orang di sekitar, mereka pasti akan menjagamu. Ya?"

Ariel mengangguk sambil tersenyum. Ini adalah kata-kata yang sama yang mamanya ucapkan saat mengirimnya masuk kampus pertama kali.

Tepat saat Maryam mengucapkan selamat tinggal, seorang penjaga masuk dan memberi tahu bahwa waktu kunjungan telah habis kemudian membawa Ariel keluar dari ruangan.

Maryam masih duduk di tempatnya, melambaikan tangan, menyuruh anaknya untuk menurut dan menjadi baik. Ia terus melakukannya tiap kali Ariel menengok menunjukkan ketidakrelaan untuk berpisah. Sampai punggung Ariel benar-benar tidak terlihat di pandangannya, barulah Maryam beranjak dari sana.

Di luar lapas, ada seseorang yang rela bermandikan terik siang untuk menunggu istrinya selesai melakukan kunjungan. Itu adalah Bima, papanya Ariel.

"Bagaimana keadaannya?" Ia bertanya begitu Maryam tiba.

"Anak kita orang yang kuat. Dia akan baik-baik saja. Harus."

"Sudah seharusnya. Lalu apa saja yang kamu bilang padanya?"

Maryam menatap suaminya. Di balik sikap acuh tak acuh ini, sebenarnya ada hati yang lembut. Jika ada orang yang lebih mengkhawatirkan dan peduli kepada Ariel melebihinya, itu pasti papanya Ariel, suaminya.

Maryam memberikan senyuman menenangkan sebelum menjawab. "Jangan khawatir, aku sudah menasihatinya untuk tidak mencemaskan hal-hal lain dan hanya fokus menjaga dirinya."

Meraih lengan suaminya, Maryam memberikan tepukan lembut meyakinkan. Bima membalasnya dengan hal yang sama.

"Bagus. Dengan begitu, dia akan baik-baik saja. Setelah kita mengurus semua kepindahan kita ke kota, kita pasti akan mencari cara untuk membebaskan putri kita. Aku akan mencari bagaimana pun caranya. Pasti." Begitu, tepukannya mendarat di punggung tangan Maryam yang merangkul lengannya.

Cara ini yang mereka gunakan untuk meneguhkan tekad dan saling menguatkan. Apapun demi keluarga mereka, demi anak mereka.

Dan Ariel yang kembali ke selnya tidak tahu tentang itu.

Setelah menghabiskan beberapa waktu berbicara dengan mamanya, perasaan Ariel jauh membaik dan lebih ringan dari sebelumnya walau awalnya ia punya perasaan tidak rela ketika harus berpisah dari mamanya. Tapi mengetahui mamanya masih peduli dan bahkan keluarganya mempercayainya, itu membuat seakan-akan ia tidak takut lagi melihat ke depan. Karena moodnya cukup bagus, ia bisa duduk dan menyiapkan alas tidur dengan baik.

Namun di mata empat orang lainnya dalam sel itu, perubahan aura yang dipancarkan Ariel justru membuat mereka merinding. Mereka mengira, hawa senang yang dimiliki orang baru ini didapat setelah membuat beberapa tahanan kemarin dikirim ke rumah sakit. Mereka juga mendengar gosip kalau orang baru bernama Ariel ini dipenjara karena kasus pembunuhan. Dan itu membuat mereka secara otomatis tidak ingin mencari masalah dengannya. Sebisa mungkin mereka akan menghindari perselisihan, mencoba tidak terlihat walau dari ujung matanya. Sebab mereka punya satu pemikiran yang sama, orang baru di sel mereka ini berbahaya. Mereka telah memutuskan melabeli Ariel dengan kata kunci itu.

Sementara itu, Ariel yang tidak tahu isi pikiran mereka menjalani hari dengan lebih hidup dari sebelumnya. Menuruti kata-kata mamanya, ia makan dengan baik, istirahat dengan baik pula. Ia benar-benar fokus menjaga dirinya. Bahkan untuk kegiatan di luar ruangan, ia juga berolahraga untuk menjaga kekuatan ototnya. Ia tahu, cepat atau lambat, ia pasti akan menggunakannya.

Karena orang-orang yang dikirim ke rumah sakit belum kembali, untuk sementara ini ia seharusnya bisa tenang kan?

Atau tidak.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status